Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

Recommend Stories

Empty story

Idea Transcript


Proceeding

PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PEMBANGUNAN INDONESIA

Editor:

Dr.M.R. Khairul Muluk,S.Sos,M.Si

Published by: UB Press and Faculty of Administrative Science University of Brawijaya

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia ISBN : 978-602-203-446-9 Copyright@June, 2013

Dipublikasikan Oleh :

Universitas Brawijaya Press (UB Press) Jalan Veteran Malang 65145 Indonesia Telepon: 0341-551611 Pesawat 376 Fax: 0341-565420 e-Mail: [email protected], [email protected] http://www.ubpress.ub.ac.id

KATA PENGANTAR

Dekan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Prof. Dr. Sumartono, MS

Assalamualaikum Warrahmatullah Wabarakatuh. Puji dan syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas terselesaikannya Proceeding Seminar Nasional dan Konferensi Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia yang diadakan oleh Jurusan Ilmu Administrasi Publik Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya bekerjasama dengan Himpunan Mahasiswa Ilmu Administrasi Publik (Humanistik). Sebagaimana ditetapkan melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2011 Tertanggal 20 Mei 2011, Tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) pada Tahun 2011 – 2025, diperlukan langkah langkah konkrit yang tepat untuk mewujudkan tujuan mulia sebagaimana tertera dalam Master Plan ini. Sesuai dengan Visi dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), maka visi dari MP3EI adalah untuk “Mewujudkan Masyarakat Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil, dan Makmur”. Melalui Instrumen MP3EI diharpkan terjadi percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi sehingga akan menempatkan Indonesia sebagai negara maju pada tahun 2025 dengan pendapatan per kapita yang berkisar antara USD 14.250-USD 15.500 dengan nilai total perekonomian (PDB) berkisar antara USD 4,0-4,5 triliun. Untuk mewujudkannya diperlukan pertumbuhan ekonomi riil sebesar 6,4-7,5 persen pada periode 2011-2014, dan sekitar 8,0-9,0 persen pada periode 2015-2025. Pertumbuhan ekonomi tersebut akan dibarengi oleh penurunan inflasi dari sebesar 6,5 persen pada periode 2011-2014 menjadi 3,0 persen pada 2025. Kombinasi pertumbuhan dan inflasi seperti inilah yang diyakini merupakan cerminan dari Negara maju. Seminar Nasional dan Konferensi ini, merupakan salah satu bentuk wujud Kepedulian Fakultas Ilmu Administrasi, khususnya Jurusan Ilmu Administrasi Publik, untuk terus memberikan kontribusi dan berperan dalam Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia. Saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh Panitia Pelaksana yang telah menyelenggarakan Seminar Nasional dan Konferensi ini. Juga kepada seluruh Narasumber Seminar, Pemakalah Konferensi dan para peserta yang telah meluangkan waktu untuk berpartisipasi dalam kegiatan ini. Tanpa adanya dukungan dan kerja keras dari berbagai pihak, kegiatan ini tidak akan terlaksana dengan baik.

iv

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

Akhirnya, kami berharap ada sumbangsih pemikiran yang dihasilkan, sehingga dapat dimanfaatkan dari terselenggaranya Seminar Nasional dan Konferensi ini. Tentu tak lain, sebagai bagian dari kontribusi dan kecintaan kami terhadap Negeri ini.

Wasalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh.

Malang, 30 Juli 2012

Prof. Dr. Sumartono, MS Dekan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

v

PRAKATA Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh. Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas terselesaikannya Proceeding Konferensi Nasional “Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia” yang diadakan oleh Jurusan Ilmu Administrasi Publik bekerjasama dengan Himpunan Mahasiswa Ilmu Administrasi Publik (Humanistik), Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya. Proceeding yang merupakan kumpulan dari makalah (paper) konferensi ini, merupakan kegiatan yang diselenggarakan dalam rangkaian Seminar Nasional tentang Percepatan dan Perluasan Pembangunan Indonesia. Makalah makalah dalam konferensi ini merupakan karya dari Dosen Jurusan Ilmu Administrasi Publik FIA UB, yang dipersembahkan sebagai bentuk kepedulian akademisi jurusan Ilmu Administrasi Publik FIA UB terhadap proses pembangunan bangsa. Konferensi ini adalah bentuk sumbangsih nyata bagi suksesnya Master Plan Percepatan dan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang merupakan salah satu kebijakan penting yang diambil oleh Pemerintah baru baru ini. Berbeda dengan sudut pandang kajian yang selama ini ada, konferensi ini ingin memberikan perspektif yang berbeda, yaitu perspektif keilmuan Administrasi Publik. Konferensi nasional yang diselenggarakan pada kegiatan kali ini terdiri dari dua Kluster. Kluster pertama bertemakan “Tantangan Bagi Birokrasi untuk Mewujudkan Percepatan dan Perluasan Pembangunan”. Dalam tema ini pemakalah memaparkan tentang bagaimana tantangan berat yang dihadapi oleh birokrasi, untuk mewujudkan Percepatan dan Pembangunan Ekonomi Indonesia. Hal ini mengingat bahwa birokrasi kita masih dirudung berbagai kompleksitas permasalahan. Makalah pertama adalah makalah karya Dr. Chairul Shaleh, M.Si yang merupakan salah satu dosen senior di Jurusan Administrasi Publik FIA UB. Makalah yang berjudul “E-Government sebagai inovasi pelayanan publik di Indonesia : Antara Harapan dan Kenyataan” membahas dan mendiskusikan mengenai sentralnya peran Electronic Government (E-Government) dalam memberikan pelayanan publik yang lebih baik di Indonesia. Makalah kedua yang berjudul “ Implementasi Undang Undang Pelayanan Publik : Siapkah Daerah Otonom” membahas mengenai berbagai permasalahan pelik yang akan dihadapi daerah otonom ketika mengimplementasikan Undang Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Makalah ini merupakan karya dari Prof. Dr. Abdul Hakim yang merupakan Guru Besar FIA UB dan Dr. Siti Rochmah M.Si yang merupakan dosen senior jurusan ilmu administrasi publik FIA UB. Selanjutnya adalah makalah dari Prof. Abdul Yuli Andi Gani yang memaparkan mengenai “Penyelenggaraan Pelayanan Publik yang Berkualitas sebagai upaya Memberikan Pelayanan Prima Kepada Masyarakat”. Makalah ini menekankan begitu penting dan besarnya peran pelayanan prima dalam proses pembangunan. Sedangkan kluster kedua mengambil tema “Pemerintahan yang Inovatif sebagai Kunci Keberhasilan Pengelolaan Sektor Publik”. Tema ini menekankan bahwa Pemerintahan yang inovatif merupakan kunci suksesnya pembangunan. Pengalaman dari

vi

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

berbagai Pemerintah, baik di Pusat maupun daerah, merupakan pelajaran yang nyata, bahwa Inovasi memegang peran yang sangat penting dalam proses pembangunan. Makalah pertama yang didiskusikan dalam konferensi ini adalah makalah dari Guru Besar bidang Pemerintahan Daerah FIA UB, Prof. Dr. Bambang Supriyono, MS dengan judul “Inovasi Pemerintahan Daerah Dalam Rangka Mempercepat Pembangunan Ekonomi Indonesia”. Dalam makalah ini beliau mendiskusikan bagaimana Inovasi yang dilakukan oleh Pemerintahan Daerah merupakan salah satu factor kunci untuk menunjang proses percepatan pembangunan, termasuk percepatan pembangunan di bidang ekonomi. Makalah selanjutnya adalah makalah dari Dr. Hermawan M.Si yang saat ini sedang menjabat sebagai Ketua Program Studi Perencanaan Pembangunan Jurusan Administrasi Publik FIA UB. Makalah yang berjudul “Perencanaan Pembangunan Ekonomi Daerah Melalui Integrasi Sektor Industri Kreatif (Creative Industry) Dengan Sistem Inovasi Daerah (SIDA)” mengelaborasi secara teoritis maupun praktis tentang perencanaan pembangunan di daerah yang seharusnya sudah mulai melirik sektor industri kreatif sebagai tumpuan. Agar lebih optimal, selain dikembangkan sistem inovasi nasional oleh Pemerintah Pusat, perlu pula dikembangkan system inovasi daerah (SIDA) oleh Pemerintah Daerah. Paper selanjutnya yang berjudul “Segitiga Inovasi : Analisis Membangun Inovasi Pada Pemerintah Daerah” merupakan karya Dr. Irwan Noor, MA, yang memang menekuni bidang inovasi Pemerintahan Daerah. Segitiga inovasi yang didisuksikan dalam makalah ini, berusaha mengungkapkan sebuah model di dalam membangun inovasi pemerintahan daerah yang disebut dengan LPC Model, yaitu Leadership, Political and Climate Model. Makalah selanjutnya adalah makalah dengan judul “Kerjasama Antar Daerah dalam perspektif Sound Governance”, ditulis oleh Dr. Tjahjanulin Domai, MS, yang merupakan pakar dari kerjasama antar daerah khususnya dalam perspektif Sound Governance. Kerjasama antar daerah yang dipaparkan dalam makalah ini, menggunakan perspektif Sound Governance, yang akhir akhir ini hangat dibicarakan di kalangan ilmuwan administrasi publik. Masih soal kerjasama antar daerah, makalah selanjutnya adalah makalah yang disampaikan oleh Drs. Abdullah Said, M.Si dengan judul “Kerjasama Pemerintah Daerah dalam Melayani Pengelolaan Sampah (Sebuah Gambaran pada Pemerintah Kota Malang)”, yang mendiskusikan tentang permasalahan sederhana –tapi penting- namun tak pernah selesai : sampah. Dalam makalah ini ditawarkan mekanisme kerjasama antar daerah dalam pengelolaan sampah. Kami menyadari masih terdapat banyak kekurangan, baik dalam proses seminar maupun penyusunan proceeding ini. Namun, kami berharap perspektif keilmuan Administrasi Publik ini, dapat memperkaya dan ikut berkontribusi dalam proses Percepatan dan Pembangunan Ekonomi Negara ini. Semoga.

Wassalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh Malang, 30 Juli 2012 Ketua Jurusan Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya

Dr. M. R. Khairul Muluk, M.Si

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

vii

Daftar Isi Kata Pengantar ...................................................................................................iv Prakata ...............................................................................................................vi Daftar Isi ..........................................................................................................viii Tantangan Bagi Birokrasi Untuk Mewujudkan Percepatan Dan Perluasan Pembangunan Kerjasama Pemerintah Daerah Dalam Melayani Pengelolaan Sampah (Sebuah Gambaran Pada Pemkot Malang) Abdullah Said.................................................................................................... 2 e-Government Sebagai Inovasi Pelayanan Publik Di Indonesia Antara Harapan Dan Kenyataan Choirul Saleh................................................................................................... 14 Implementasi undang-undang pelayanan publik: siapkah daerah otonom? Abdul Hakim dan Siti Rochmah ................................................................... 23 Penyelenggaraan Pelayanan Publik Yang Berkualitas Sebagai Upaya Memberikan Pelayanan Prima Kepada Masyarakat Abdul Yuli Andi Gani..................................................................................... 34 Komparasi Konsep Demokrasi Dengan Konsep Syuro Dalam Islam: Pengambilan Keputusan Trisnawati........................................................................................................ 44 Kompleksitas Kerjasama Antar Daerah M.R. Khairul Muluk....................................................................................... 60 Pemerintahan Yang Inovatif Sebagai Kunci Keberhasilan Pengelolaan Sektor Publik Perencanaan Pembangunan Ekonomi Daerah Melalui Integrasi Sektor Industri Kreatif (Creative Industry) Dengan Sistem Inovasi Daerah (Sida) Hermawan ....................................................................................................... 70 Kerjasama Antar Daerah Dalam Perspektif Sound Governance Tjahjanulin Domai.......................................................................................... 79 Segitiga Inovasi: Analisis Membangun Inovasi Pada Pemerintahan Daerah Irwan Noor ...................................................................................................... 96 Inovasi Pemerintahan Daerah Dalam Rangka Mempercepat Pembangunan Ekonomi Indonesia Bambang Supriyono ..................................................................................... 108 Profil Penulis.................................................................................................. 126

viii

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

TANTANGAN BAGI BIROKRASI UNTUK MEWUJUDKAN PERCEPATAN DAN PERLUASAN PEMBANGUNAN

KERJASAMA PEMERINTAH DAERAH DALAM MELAYANI PENGELOLAAN SAMPAH (SEBUAH GAMBARAN PADA PEMKOT MALANG)

Abdullah Said

PENDAHULUAN Sampai saat ini sampah merupakan masalah serius di negeri ini. Kota-kota besar dengan jumlah penduduk yang padat dan lahan yang terbatas tetapi masih mengelola sampah secara tradisional mengakibatkan pengelolaan sampah terbengkalai. Lahan yang dipakai sebagai Tempat Pembuangan Akhir (TPA) seringkali melewati batas kota dan berada di wilayah kabupaten di sekitar kota. Hal ini bisa terjadi bilamana terdapat kerjasama dan pengertian yang baik antara dua institusi atau lebih. Kota yang tidak mempunyai kerjasama dengan kabupaten dalam pengelolaan sampah akan menghadapi keterbatasan lahan yang lambat laun tidak akan mampu menampung produksi sampah setiap harinya. Alternatif pengolahan sampah dengan cara modern harus menjadi pertimbangan seperti penghilangan/pemusnahan sampah dengan incinerator. Berdasarkan Undang-Undang No. 18 Tahun 2008, sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat. Pengelolaan sampah dimaksudkan adalah kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah. Berdasarkan sifat fisik dan kimianya sampah dapat digolongkan menjadi: 1) sampah ada yang mudah membusuk terdiri atas sampah organik seperti sisa sayuran, sisa daging, daun dan lain-lain; 2) sampah yang tidak mudah membusuk seperti plastik, kertas, karet, logam, sisa bahan bangunan dan lain-lain; 3) sampah yang berupa debu/abu; dan 4) sampah yang berbahaya (B3) bagi kesehatan, seperti sampah berasal dari industri dan rumah sakit yang mengandung zat-zat kimia dan agen penyakit yang berbahaya Keterbatasan dana dapat menjadi penyebab kenapa kebanyakan kota belum/tidak memakai teknologi modern pengelolaan sampah ataupun karena masih berjalannya kerjasama antar dua institusi pemerintah kota dan kabupaten dalam menyediakan TPA. TPA memang menjadi alternatif pengelolaan sampah yang murah akan tetapi apabila tidak ditangani dengan baik akan menjadi sumber penyakit, kotor, sumber bau dan pencemaran lingkungan yang serius. Dengan teknologi yang tepat, sampah yang tadinya menjadi masalah sebagai barang buangan, kotor, berbau, menimbulkan penyakit dan mencemari lingkungan dapat menjadi barang yang bisa dimanfaatkan dan memiliki nilai ekonomi tinggi. Teknologi tersebut bisa berupa pemanfaatan sampah menjadi kompos, daur ulang, maupun

2

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

pemakaian kembali. Hal ini bisa terlaksana apabila terdapat pemisahan sampah dan menjadi semakin efektif apabila pemisahan sampah dipahami dan dilakukan dengan baik oleh penghasil sampah (Rumah Tangga, Industri, Kantor, dll). Pemerintah Kota/Kabupaten dengan kebijakannya dapat mengendalikan polusi melalui pengelolaan sampah yang baik. Instrumen kebijakan tersebut bisa berupa strategi yang dituangkan dalam peraturan sehingga semua pihak terikat untuk melaksanakan hak dan kewajiban serta sanksi yang jelas. Pengelolaan sampah selain didukung oleh instrumen kebijakan, didalamnya mengandung aspek ekonomi, aspek budaya masyarakat dalam memandang sampah dan kebersihan, aspek partisipasi dan aspek manajemen. Global Warming akibat menipisnya lapisan ozon bisa disumbangkan oleh pengelolaan sampah yang buruk seperti pembakaran sampah dalam pemusnahannya tanpa memperhatikan materi sampah. Plastik dan barang kimia lainnya yang dibakar akan menyumbangkan polusinya dalam merusak lingkungan yang akan berakibat jangka panjang. Isu tersebut harus segera ditanggapi untuk mengontrol polusi yang dihasilkan untuk menjaga dan melindungi udara, air, air bawah tanah dan sampah padat yang berbahaya. Buruknya pengelolaan sampah bisa membuat air dan sumber air tidak dapat dipakai karena tercemar oleh sampah industri dan rumah tangga, berbau dan berbahaya seperti yang terjadi di Australia pada tahun 1800an seperti kutipan berikut: By the 1820s, the Tank Stream on which Sydney had depended, had become so polluted that it could not be used for domestic water. In Victoria, Batman’s Swamp—a lake with clear water and abundant wildlife—became “a receptacle for the industrial and household waste of expanding Melbourne” and by the 1860s was foul-smelling and dangerous. (Australian Government, National Waste Report 2010). Sejak lahirnya kebijakan lingkungan di sebagian besar negara-negara industri, pemerintah cenderung untuk menggunakan kekuasaan dan pengawasan, (berupa peraturan yang langsung secara terus-menerus dengan pengawasan dan sistem penyelenggaraan) sebagaimana strategi penguasa dalam pengendalian polusi dan pengelolaan sampah. Pendekatan yang umum ini memerlukan pemerintahan yang sehat berkenaan dengan ketetapan standar dalam pengelolaan sampah. Pada kasus yang lebih umum, pendekatan kekuasaan dan pengawasan juga mempunyai jadwal pertemuan dan standar, memberikan ijin serta prosedur penyelenggaraan untuk fasilitasi, penetapan tanggungjawab, dan hukuman bagi yang tidak memenuhi. Tanggungjawab untuk menetapkan dan menjalankan standar dan persyaratan lain dibagi dalam cara menetapkan perundangan-udangan antara pemerintah pusat, propinsi, dan pemerintah lokal. Pendekatan kekuasaan dan pengawasan memberikan pengaturan kekuasaan yang maksimum untuk mengontrol dimana dan bagaimana sumber-sumber daya akan digunakan untuk mencapai sasaran yang berwawasan lingkungan. Keuntungan utama dari pendekatan ini adalah dengan menyiapkan aturan yang rasional untuk memprediksi tentang berapa banyak tingkat polusi yang bisa dikurangi. Pendekatan ini juga membatasi kompetisi diantara fasilitas-fasilitas yang tidak mangadopsi teknologi ramah lingkungan.

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

3

“Pada kasus-kasus pengendalian polusi udara, sebagai contoh, semua fasilitas baru harus mengadopsi teknologi penyusutan yang seragam. Pada kasus pengendalian polusi air, polusi yang sama di kontrol dengan teknologi yang diterapkan pada kelas industri, dengan mengabaikan usia fasilitas” (Moore 1989). Pada pihak yang mendatangkan pencemaran, prinsip upah-pengguna membayar hukuman yang bersifat finansial untuk tingkat polusi yang lebih tinggi dan membayar hukuman lebih kecil atau menerima hadiah finansial untuk tingkat polusi yang lebih rendah. “Menurut prinsip pengguna-upah, pengguna sumber upah merupakan biaya sosial yang penuh untuk menyediakan sumber-sumber, seperti untuk air dan dihubungkan pada pelayanan-pelayanan termasuk biaya pengurusan pengobatan”. Sementara instrumen ekonomis menerapkan biaya langsung (contoh, dasar tuntutan untuk pembatasan volume dan pencemaran kota, pembayaran-per-sistim per karung untuk buangan limbah padat, biaya izin untuk pengeluaran udara dimana perubahan-perubahan biaya dengan yang dipancarkan, yang disetorkan dibayar ulang, instrumen lain meliputi biayabiaya tidak langsung seperti pajak-pajak polusi yang di masukkan (sebagai contoh, pajak-pajak bahan bakar). (OECD 1990). Secara keseluruhan, pendekatan ekonomis mempunyai beberapa keuntungan:  Hemat biaya promosi yang berarti mencapai tingkat yang dapat diterima tentang polusi;  Pengembangan stimuli terhadap teknologi pengendalian polusi dan keahlian di sektor swasta;  Penyediaan pemerintah dengan sumber pendapatan untuk mendukung program pengendalian polusi;  Menyediakan teknologi pengendalian polusi yang fleksibel;  Mengeliminasi syarat-syarat dari pemerintah untuk memperbesar jumlah informasi detil yang diperlukan untuk menentukan layak dikerjakan dan pengendalian pada tingkat yang tepat untuk setiap tanaman atau produk (OECD 1989). Sebagaimana hal tersebut di atas, instrumen ekonomis sering mempersatukan prinsip-prinsip pembuat pencemaran-upah. Maksudnya prinsip untuk digabungkan, pada biaya sosial yang minim, pengeluaran pada proteksi lingkungan dihubungkan dengan standar atau tuntutan. Menurut Coase dalam Pearce dan Turner: “Hal ini tidak efisien, alasannya bagi pemerintah terhadap peraturan yang berbelit-belit tentang kerusakan polusi, kecuali untuk penyelenggaraan bagi hak milik. Tergantung pada siapa yang memiliki hak milik, salah satu pembuat pencemaran akan membayar korban untuk kerugian sebagai toleransi atau korban akan dibayar oleh pembuat pencemaran yang tidak mencemari” (Pearce dan Turner 1990).

4

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

Keabsahan pendekatan ini, walaupun didasarkan pada dua anggapan yakni: biaya transaksi tidak penting (khususnya, dimana jumlah korban dan pembuat pencemaran tidak besar) dan perundingan berhasil dengan persetujuan yang kuat. Dalam ketiadaan salah satu kondisi, walaupun intervensi publik mungkin hanya satu-satunya solusi yang efektif menurut laporan internal Bank Dunia. Sampah anorganik bisa membantu mengembangkan industri daur ulang (recycling). Kertas bekas akan di daur ulang oleh industri kertas, sampah plastik dan kaca akan di daur ulang menjadi bahan baku industri, sedangkan sampah organik dapat mengembangkan industri pengolah kompos menjadi pupuk organik dan juga dapat diolah menjadi industri energi/industri bahan bangunan. Daur ulang adalah salah satu cara yang digunakan untuk meminimalkan jumlah sampah yang ada untuk meningkatkan nilai ekonomisnya menjadi barang-barang yang berguna. Daur ulang merupakan proses untuk mengurangi penggunaan bahan baku yang baru, mengurangi penggunaan energi, mengurangi polusi, kerusakan lahan, dan emisi gas rumah kaca jika dibandingkan dengan proses pembuatan barang baru. Dari gambaran tersebut di atas perlu kiranya pemerintah untuk melakukan reformasi dalam pelayanan pengelolaan sampah yang merupakan tugas sebagai pelayanan kepada publik. Maksimalisasi pelayanan kepada publik yang diberikan oleh pemerintah akan tercapai jika birokrasi mampu bersifat impersonal, tidak memihak dan berdiri di atas kepentingan demi pemberian layanan yang bersifat rasional dan lepas dari kepentingan sesaat (Usman, 1999:93). Sehingga dalam konteks globalisasi fungsi public service harus diubah dan lebih menekankan pada fungsi kewirausahaan (entrepreneurialship) (Thoha dan Dharma, 1999:39) karena bentuk pemerintahan yang berkembang di era industri dengan birokrasi yang lamban dan terpusat, pemenuhan terhadap ketentuan dan peraturan, serta rantai hirarki komando, tidak lagi berjalan dengan baik (Osborne dan Gaebler, 1992:29). Lontaran yang disampaikan dalam bukunya yang berjudul Reinventing Government tersebut merupakan serangan terhadap prinsip birokrasi yang dikemukakan oleh Weber yang di dalam ideal typenya salah satunya, adalah a hierarchiecal system of authority (sistem kewenangan yang hirarkis), yang terbukti tidak mampu lagi memenuhi tuntutan jaman dalam memberikan layanan yang terbaik kepada publik. Permasalahan sampah merupakan permasalahan yang harus di atasi terutama di kota-kota besar, karena lahan pembuangan sampah semakin menyempit, bisa karena memang ukurannya atau produksi sampah semakin meningkat karena penggunaan barang-barang juga meningkat akibat peningkatan jumlah penduduk. Peningkatan jumlah penduduk ini bisa disebabkan oleh dua faktor di kota besar yaitu tingkat kelahiran dan tingkat urbanisasi. Sampah yang tidak terangkut dari tempat penampungan sementara ke tempat penampungan akhir dapat menyebabkan bau yang tidak sedap dan sumber penyakit, karena biasanya tempat penampungan sementara tidak terlalu jauh jaraknya dengan pemukiman apabila di bandingkan dengan tempat penampungan akhir yang di kondisikan (harusnya) jauh dari lingkungan pemukiman.

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

5

Permasalahan Indonesia khususnya di kota besar Pulau Jawa khususnya Malang Raya di dalam pengelolaan sampah yang seharusnya dengan mudah dilaksanakan adalah transportasi dari tempat penampungan sementara ke tempat penampungan akhir. Data mengenai transportasi sampah dari tempat penampungan sementara ke tempat penampungan akhir dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 1. Pelayanan dan Kuantitas Sampah Padat

Kabupaten/Kota

Kuantitas Sampah (ton/hari)

Sampah yang diangkut dari TPS ke TPA

Prosentase

Kabupaten Serang Kota Tangerang Kota Jakarta Kota Bekasi

170 750 6.000 1.100

45 400 5.300 260

26,47 53,33 88,33 23,64

Kabupaten Bekasi

290

210

72,41

Kota Depok 750 230 30,67 Kota Bogor 520 360 69,23 Kota Bandung 2.000 1.550 77,50 Kabupaten Bandung 2.250 400 17,78 Kota Cirebon 150 130 86,67 Kota Surabaya 2.200 1.300 59,09 16.180 10.185 62,95 Total Sumber: dikutip dan diolah dari Mangkoedihardjo, Journal of Applied Sciences in Enviromental Sanitation, 2007 Tabel.1 menggambarkan bagaimana sampah diangkut dari Tempat Penampungan Sementara (TPS) ke Tempat Penampungan Akhir (TPA) hanya mencapai 62,95% dari 11 kabupaten/kota yang menjadi tempat penelitian. Sebanyak 37,05% sampah tidak terangkut dan terangkut pada keesokan harinya sehingga sampah yang bagian bawah menjadi membusuk dan menyebabkan polusi udara dan bisa menyebabkan penyakit. Kabupaten Bandung menghasilkan 2.250 ton sampah perhari dan hanya 400 ton diantaranya yang mampu dipindahkan ke TPA dari TPS, sisanya mungkin menumpuk dan membusuk di TPS, di bakar, di tanam di lahan kosong. Kinerja Kota Bekasi hanya mencapai 23,64% dalam memindahkan sampah dari TPS ke TPA, untuk ukuran kota maka dapat dipastikan Kota Bekasi tidak mampu memberikan pelayanan kepada penduduknya. Kabupaten Serang mampu mentransportasikan sampah dari TPS ke TPA sebanyak 26,47% perharinya. Kabupaten/kota lainnya juga menunjukkan kinerja yang tidak cukup baik, karena sampah seharusnya diangkut semuanya setiap hari dari TPS ke TPA. Di Kota Malang persoalan sampah dari tahun ke tahun sangat krusial. Volume sampah yang tak terangkut ke LPA (lahan pembuangan akhir) Supit Urang makin banyak. Data tahun 2006, sampah tak terangkut hanya 160 meter kubik. Namun, tahun 2007 volume sampah tak terangkut meningkat sampai 3.240 meter kubik. Itu belum

6

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

termasuk data 2008 dan 2009 hingga Juni. Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Malang mengakui persoalan itu. “Tidak semua sampah bisa terangkut karena jangkauan pengangkutan,” ungkap dia kemarin. Menurut Kepala Dinas (DKP) Kota Malang, produksi sampah di Kota Malang rata-rata menembus 900 meter kubik per hari. Bahkan bisa lebih. Tetapi, yang mampu terangkut ke Supit Urang hanya 700-800 meter kubik. Bahkan, kondisi Supit Urang diprediksi 10-15 tahun lagi tak akan sanggup menampung sampah dari Kota Malang. Pasalnya, dari enam sel yang digunakan untuk menampung sampah, lima sel di antaranya telah penuh. Sel yang masih kosong adalah sel IV. Saat ini, pembuangan sampah terfokus di sel VI. Itu pun akhir 2009 diprediksi sel VI sudah penuh. “Kami berupaya pengangkutan itu tetap stabil. Yang tak terangkut dicarikan jalan alternatif. Salah satunya dengan komposting. Pada tahun ini (2001) Kota Malang menghasilkan sampah cukup tinggi yakni sebesar 400 ton perhari. Sebagian besar sampah tersebut berasal dari rumah tangga. Sedangkan sisanya berasal dari sampah pasar hingga sampah industri yang dikumpulkan dari 75 TPS dari seluruh sudut Kota Malang. Kepala DKP Kota Malang, Drs. Wasto, SH. MH. membenarkan jika volume sampah di Kota Malang sudah mencapai ratusan ton per hari. Melihat volume yang sangat besar ini, sampah menjadi persoalan yang cukup pelik. Bahkan, saat ini dana operasional komposting di sembilan lokasi itu hanya mengandalkan penjualan pupuk. Padahal, harga pupuk kompos per kilogramnya hanya berkisar antara Rp 150-Rp 300. Selain optimalisasi sembilan lokasi sentra pembuatan pupuk kompos, DKP juga gencar melakukan sosialisasi pentingnya pemilahan sampah untuk skala rumah tangga. Sosialisasi ini terkait dengan program penyebaran keranjang takakura kepada penduduk di lima kecamatan Kota Malang. “Dengan membuat kompos sendiri, diharapkan volume sampah yang terangkut tetap stabil. Sedangkan yang tak terangkut bisa diatasi sendiri oleh masyarakat. Permasalahan sampah akan berlanjut apabila sampah yang dikumpulkan tidak dipilah-pilah menurut jenis sampahnya karena apabila dibakar, bahan-bahan anorganik akan menjadi sumber polusi yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan. Sampah yang tidak dipilah dengan benar menjadikan teori 3R mengenai sampah tidak dapat dijalankan dengan baik. Konsep 3R adalah prinsip pengolahan sampah yang terdiri dari Recycle, Reuse dan Reduction. Pengelolaan sampah mengikuti hirarki pertama yaitu reduction, mengurangi sampah yang dihasilkan dengan bijaksana. Hirarki kedua adalah re-use, sebelum membuang barang, kita harus melihat apakah barang tersebut masih bisa digunakan kembali atau tidak baik digunakan sendiri atau oleh orang lain seperti furnitur, komputer, gelas, kaca dan lain-lain dan hirarki terakhir adalah recycle atau daur ulang, barang yang dihasilkan pada zaman sekarang sebisa mungkin adalah barang yang bisa di daur ulang. Menurut Visvanathan (2006), permasalahan penanganan sampah yang didasarkan pada studinya di negara-negara Asia Selatan ada pada aspek teknik, manajemen, keuangan, hukum dan pendukung. Diantaranya yang menjadi permasalahan penanganan

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

7

sampah pada aspek teknik meliputi ketentuan fasilitas penampungan sampah primer, transportasi sampah dan sistem pengelolaan sampah. Pada aspek manajemen terdapat permasalahan diantaranya adalah pelaksanaan masterplan yang tidak sesuai, lemahnya pengawasan penanganan sampah dan kurangnya dukungan LSM dan organisasi berbasis masyarakat. Aspek keuangan mempunyai permasalahan pada transparansi dan belum ada pembedaan biaya pada penghasil sampah yang banyak dan sedikit. Aspek hukum mempunyai masalah pelaksanaan standar polusi dan emisi, zona bebas bangunan sekitar 500m2 di sekitar TPA dan aspek yang terakhir adalah aspek pendukung yang mempunyai permasalahan kurangnya dukungan swasta, pendidikan publik mengenai sampah, dan mendorong pemisahan sampah. Permasalahan yang terjadi di negara-negara Asia Selatan bisa mungkin terjadi di Indonesia karena karakteristiknya tidak terlalu beda baik geografi, penduduk maupun kebudayaan. Permasalahan yang sesuai dengan kondisi di Indonesia merupakan titik masuk untuk melakukan identifikasi masalah dalam membuat model di penelitian ini. Pemerintah melalui aparatnya dalam mengelola sampah harus dengan cara profesional seperti yang telah dilakukan oleh pihak swasta. Menurut Wahab (1999:89) model pelayanan publik yang dianjurkan salah satunya adalah menggunakan model pelayanan yang telah lama berlangsung di sektor bisnis/swasta (market like-modes). Ungkapan ini sejalan dengan pemikiran Osborne dan Gaebler (1992:91) yang mengungkapkan bahwa swasta lebih baik dalam melaksanakan fungsi-fungsi bisnis, meskipun tidak dipungkiri bahwa ada perbedaan antara swasta dan publik. Penggunaan kepada model swasta menyebabkan terjadinya perubahan orientasi yang menurut Wahab : ”Pada dasarnya mencoba menempatkan warga negara sebagai konsumen yang harus dilayani kepentingannya dengan sebaik-baiknya sehingga makna konsumen dalam konteks pelayanan publik yang semula berkiblat pada kepentingan birokrasi (bureaucratic-oriented) atau berorientasi kepada produsen (producer-oriented) berubah kepada orientasi konsumen (consumen-driven approach)”, Wahab (1994:59) Dalam bahasa Tjokrowinoto (1999:28) perubahan dilakukan terhadap birokrasi dengan mengubah corak rule-driven bureaucracy menjadi market-driven bureaucracy. Sehingga dengan pendekatan ini publik tidak lagi diperlakukan sebagai obyek melainkan sebagai warga negara yang aktif (Wahab, 1994:82). Namun demikian model pelayanan sebagaimana yang disarankan oleh Osborne dan Gaebler (2002) tersebut banyak mendapat kritikan. Kettl (1998) mengungkapkan bahwa dalam new public management melahirkan usaha membuat praktek-praktek seperti bisnis dan perubahan yang diarahkan ke pasar merupakan serangan agresif terhadap tradisi akuntabilitas demokratis. Alasan lain yang dikemukakanya adalah: Pertama, privatisasi dan usaha-usaha meniru sektor swasta akan mempersempit cakupan akuntabilitas dan menempatkan perhatian utama pada memenuhi standar dan memuaskan pelanggan. Pendekatan ini tidak merefleksikan aneka ragam, canel-canel akuntabilitas tumpang tindih di dalam sektor publik karena standar-standar dalam sektor swasta kurang kuat.

8

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

Kedua, new public management tidak menempatkan penekanan yang tepat pada undang-undang publik dan norma-norma demokratis. Akuntabilitas publik berkurang bila layanan pemerintah yang dilakukan oleh organisasi swasta atau non profit tidak terikat dengan prinsip-prinsip hukum publik. Ketiga, dalam new public management administrator publik dianggap sebagai wiraswasta, mencari kesempatan untuk menciptakan kemitraan swasta dan melayani pelanggan. Pandangan terhadap peran administrator publik ini adalah sempit, dan disesuaikan untuk mencapai prinsip-prinsip demokratis seperti kewajaran, keadilan, partisipasi, dan artikulasi kepentingan bersama. Kualitas yang membuat administator menjadi wiraswastawan yang baik bisa membuatnya menjadi pelayan publik yang tidak efektif. (Kettl (1998) Kritikan tersebut di atas juga didukung oleh Denhardt dan Denhardt (2003). Oleh karenanya keduanya menyarankan untuk meninggalkan prinsip-prinsip old public administration ataupun new public management dan beralih ke prinsip new public service yang lebih melayani warga masyarakat bukan sebagai pelanggan. Dengan demikian pemerintah akan lebih tanggap terhadap keinginan masyarakat. Di sisi lain, perlu ditinggalkannya prinsip-prinsip old public administration ataupun new public management dan beralih ke prinsip new public service disebabkan karena kinerja birokrasi pelayanan publik saat ini menjadi isu kebijakan yang semakin strategis karena perbaikan kinerja birokrasi memiliki implikasi yang luas dalam kehidupan ekonomi dan politik. Dalam kehidupan ekonomi, perbaikan kinerja birokrasi akan bisa memperbaiki iklim investasi yang amat diperlukan oleh bangsa ini untuk bisa segera keluar dari krisis ekonomi yang berkepanjangan. Buruknya kinerja birokrasi publik sering menjadi determinan yang penting dari penurunan minat investasi. Sayangnya, kinerja birokrasi publik dari berbagai studi dan observasi tidak banyak mengalami perbaikan bahkan cenderung menjadi semakin buruk. Kesan umum (public image) akan rendahnya kinerja birokrasi pemerintahan dalam memberikan kepada publik, yang kental dengan fenomena kurangnya kesadaran pejabat birokrasi, yang dikatakan Amin Rais dalam Islamy (1998) sebagai elitis dan kurang berpihak kepada kepentingan masyarakat, perlu diakhiri. Masih menurut Islamy (1998) masyarakat kini telah kritis dan telah memenuhi kewajiban-kewajibannya. Maka, memenuhi hak-hak masyarakat adalah suatu keharusan, bukan (sebaliknya) memasung hak-haknya seperti yang terjadi sekarang ini. Salah satu prasyarat legitimasi kekuasaan negara yang harus disadari ialah apabila negara, melalui aktivitas pemerintahan dapat mengusahakan kesejahteraan umum bagi seluruh rakyat (Kumorotomo, 1999). Sedangkan Dwiyanto (2002) dalam pengantarnya mengatakan bahwa banyak perhatian diberikan untuk mereformasi sistem dan lembaga politik, tetapi hal yang sama tidak dilakukan dalam birokrasi publik. Reformasi politik yang tidak dikuti oleh reformasi birokrasi ternyata tidak banyak menghasilkan kinerja pelayanan publik. Pelayanan publik yang profesional perlu diwujudkan untuk mengatasi rendahnya kinerja birokrasi pemerintah dalam memberikan pelayanan publik. Hal ini penting mengingat dalam sistem pemberian pelayanan kepada masyarakat akhir-akhir ini

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

9

menunjukkan banyak kemunduran, sebagaimana dinyatakan oleh Sherwood (1997) bahwa : “profesionalisme pemerintah sedang mengalami kemunduran. Saat ini lebih banyak pejabat politik dalam birokrasi, dan lingkungan kerja belum mendukung atau dapat dipercaya. Tetapi pejabat pemerintah mempunyai peran penting untuk memulihkan lingkungan kerja agar sesuai dengan standar profesionalisme. Untuk itu dibutuhkan orientasi layanan yang baru. Demikian juga alternatif struktur formal dan layanan eksekutif yunior mungkin banyak membantu” Ada banyak penjelasan yang bisa digunakan untuk memahami mengapa pemerintah dan birokrasinya gagal mengembangkan kinerja pelayanan yang baik. Osborne dan Plastrik (1997) menggunakan: ”metafora biologi menjelaskan lima DNA, kode genetika, dalam tubuh birokrasi dan pemerintah yang mempengaruhi kapasitas dan perilakunya. Sikap dan perilaku di suatu birokrasi dan pemerintah dalam penyelenggaraan pelayanan publik akan sangat ditentukan oleh bagaimana kelima DNA dari birokrasi yang dikelola, yaitu : misi, akuntabilitas, konsekuensi, kekuasaan, dan budaya”. Kemampuan dari suatu sistem pelayanan publik dalam merespon dinamika yang terjadi dalam masyarakatnya secara tepat dan efisien akan sangat ditentukan oleh bagaimana misi dari birokrasi dipahami dan dijadikan sebagai basis dan kriteria dalam pengambilan kebijakan oleh birokrasi itu. Sehingga kemampuan untuk merespon (responsibilitas) dijadikan sebagai asas etika bagi aparat pemerintah menyangkut hasrat seorang petugas untuk merasa memikul kewajibannya secara penuh dan ikatan yang kuat dalam pelaksanaan semua tugas pekerjaan secara memuaskan. Petugas administrasi pemerintahan harus mempunyai hasrat besar untuk melaksanakan fungsi-fungsi secara efektif, sepenuh kemampuan, dan dengan cara yang paling memuaskan pihak yang menerima pertanggungjawaban. Pertanggung jawaban itu dapat ditujukan kepada masyarakat atau publik, instansi pemerintah maupun kepada pihak atasan langsung. Kebiasaan untuk melepaskan tanggung jawab atau keinginan untuk melempar tanggung jawab kepada pihak lain apapun dalihnya harus disingkirkan dari para petugas pemerintahan. ”Setiap administrator pemerintahan harus bersedia memikul pertanggung jawaban mengenai apa saja yang dilakukannya. Ia tidak boleh terjebak pada alasan bahwa dirinya hanya menjalankan perintah (just following orders), ia hanya menjalankan petunjuk atau melaksanakan kebijakan pemerintah” (Gie, 1987). ”Namun demikian, pada kenyataannya kinerja birokrasi publik di Indonesia seringkali tidak memiliki misi yang jelas sehingga fungsi-fungsi dan aktivitas yang dilakukan oleh birokrasi itu cenderung semakin meluas, bahkan kemudian menjadi semakin jauh dari tujuan yang dimiliki ketika membentuk birokrasi itu” (Tangkilisan, 2005).

10

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

Selain itu ketidakjelasan misi juga membuat orientasi birokrasi dan pejabatnya pada prosedur dan peraturan menjadi amat tinggi. Apalagi dalam birokrasi pelayanan publik di Indonesia yang cenderung menjadikan prosedur dan peraturan sebagai panglima, maka ketidakjelasan misi birokrasi publik mendorong para pejabat birokrasi publik menggunakan prosedur dan peraturan sebagai kriteria utama dalam penyelenggaraan pelayanan. Di Indonesia, secara normatif telah di atur dengan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, tetapi efektifitas implementasinya belum dapat mencapai tujuan yang diharapkan karena adanya persoalan pada masalah substansial, struktural maupun kultural. Kemudian diterbitkan regulasi yang baru yaitu UndangUndang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang baru sebagai instrumen pelaksanaan kebijakan ke depan yang mempunyai peran penting. Dengan peraturan perundang-undangan yang baru disyahkan ini pemerintah pusat dan daerah berkewajiban membuat kajian lingkungan hidup strategis. Kajian itu untuk memastikan pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam kebijakan, rencana, dan program pembangunan. Pemanfaatan sumberdaya alam juga harus didasarkan pada rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (PPLH) yang menjadi dasar penyusunan rencana pembangunan jangka panjang dan menengah. Malang Raya merupakan daerah pertama yang akan dijadikan pilot project penanganan sampah secara regional dan terintegrasi. Apabila berhasil akan diikuti oleh daerah-daerah lain di Jatim. Salah satu solusi untuk menangani permasalahan sampah di Jatim, khususnya di Malang Raya penanganannya harus dilakukan secara regional dan terintegrasi. Hal tersebut sebagai langkah ideal, karena sistem ini terbukti efektif dan efisien ditengah keterbatasan daya dukung lingkungan, keuangan, dan Sumber Daya Manusia (SDM) di masing-masing kabupaten/kota. Penanganan sampah yang efisien dan efektif dimulai dari Kabupaten Malang, Kota Malang dan Kota Batu. Daerah ini didukung SDA dan SDM yang nantinya disusul daerah lain di Jatim.

KESIMPULAN Berdasarkan kenyataan, membuktikan bahwa penanganan sampah yang tidak bagus akan berdampak buruk bagi sebuah wilayah. Bukan hanya secara estetika pada sebuah daerah, tetapi sampah juga bisa menyebabkan penyakit. Dalam menangani dan mengelola sampah, membutuhkan waktu serta memerlukan konsep sinergi antar aspek, seperti aspek hukum, organisasi, teknis operasional, pembiayaan serta peran aktif masyarakat. Selain itu dibutuhkan komitmen beberapa kalangan, dan meniadakan ego sektoral dan ego teritorial. Perlu ada kerjasama dari berbagai pihak baik pemerintah maupun masyarakat dalam menangani sampah ini, karena sudah ada beberapa daerah di Indonesia yang mampu mewujudkan penanganan sampah secara regional dan terintegrasi, antara lain SARBAGITA (Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan).

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

11

DAFTAR PUSTAKA Almond, Gabriel & Bingham Powel, 1996, Comparative Politics Development Approach, Little Brown Company, Bombai, India Caiden, G.E., 1982, Public Administration, Second Edition, California : Palisades Publishers Denhardt, J.V; Denhardt, R.B, 2003, The New Public Service, M.E. Shaper, Inc, 80 Business Park Drive, Armont, New York Donovan, F. dan A.C. Jackson, 1991, Managing Human Service Organization, New York, N.Y. : Prentice Hall Dwiyanto, 2002, Reformasi Birokrasi Publik, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada Effendi, Sofyan, 1990, Kebijaksanaan Publik Berwawasan Pemerataan, Dalam Buku Beberapa Aspek Pembangunan Orde Baru, Rhamadhani, Solo Handayaningrat, Suwarso, 1988, Administrasi Pemerintahan Dalam Pembangunan Nasional, PT. Gunung Agung, Jakarta Henderson Keith, dan Parson, 1947, Bureaucracy and The Alternatives in Owrld Perspective, ST Martin’s Press Inc Hood, 1991, New Public Management Hughess, O., 1994, Public Management and Administration : An Introduction, N.Y., New York : St. Martin Press Islamy, M. Irfan, 1998, Agenda Kebijakan Reformasi Administrasi Negara, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar, Universitas Brawijaya, Malang James, O., 2005, Public Service : Expectations, Performance and Satisfaction, Journal of Economic Social Research Council Kearns, Kevin P., 2000, The Strategic Managemen of Accountability in Nonprofit Organizations ; An Analytical Framework, Public Administration Review March/April, 1994, Vol. 54, No.2 Kettl, D.F., 1998, Public Administration : The State of the Field, dalam Political Science : The State of the Dicipline II, diedit oleh Ada W. Finifter Washington, DC : the American Political Science Association. Korten, David C., 1990, Getting to The 21st Century : Voluntary Action and Global Agenda, USA ; Kumarian Press Lincoln dan Guba, 1985, YS dan Egon GB, 1985, Naturalistic Inquiry, London : Sage Publication Lovelock, Ch Ristoper, 1988, Product Plus : How Product Plus Service = Competitive Advantage, Mc Graw Hill, New York Martin, L.L. dan P.M. Kettner, 1996, Measuring the Performance of Human Service Program, New Delhi : Sage Publications Moenir, H.A.S., 2002, Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia, Bumi Aksara, Jakarta Osborne, D. and Gaebler T., 1992, Reinventing Government : How the Entrepreneurial Spirit is Transforming the Public Sector, Reading, MA : Harvard University Press Pollitt, Christopher, & Geert Bouckaert, 2000, Public Management Reform ; A Comparative Analysis, Oxford University Press, London Salusu, Jonathan, 1997, Pengambilan Keputusan Strategik Dalam Organisasi Publik dan NonProfit, PT. Gramedia, Jakarta Tangkilisan, H.N.S., 2005, Manajemen Publik, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia: Jakarta The Liang Gie, 1987, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia, Jilid III, Liberty Offset, Yogyakarta Thoha, Miftah, 2003, Birokrasi dan Politik di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta Tjokrowinoto, Moeljarto, 1989, Pembangunan : Dilema dan Tantangan, Tiara Wacana, Yogyakarta Townley, B., 1994, Reframing Human Resource Management : Power, Ethics and the Subject at Work, London : Sage Publications

12

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

Wahab, Solichin Abdul, 1999, Globalisasi dan Pelayanan Publik dalam Prespektif Teori Governance, Jurnal Administrasi Negara, Vol. II No. 1, Jurusan Administrasi Negara, FIA, Universitas Brawijaya Malang

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

13

E-GOVERNMENT SEBAGAI INOVASI PELAYANAN PUBLIK DI INDONESIA ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN1

Choirul Saleh2

PENDAHULUAN Penggunaan internet yang diistilahkan sebagai e-commerse yang telah diterapkan secara meluas di dunia bisnis sekitar 10 dasawarsa yang lalu, secara ekonomis telah membawa keberuntungan secara memuaskan bagi mereka. Bertolak daricerita keberhasilan sektor bisnis itulah yang dijadikan sebagai inspirasi baru dan mendorong para policymaker pada organisasi sektor publik di beberapa negara maju untuk melakukan reformasi organisasinya dalam menggunakan Information Communication Tehnology (ICT) sebagai sarana kerjanya, terutama dalam meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja organisasi atau institusi mereka. Beberapa negara yang pertama kali memanfaatkan internet sebagai sarana kerja mereka di antaranya adalah AS dan Singapora (Joseph& Ezzedeen, 2009) serta Inggris (Indrajid; 2002). Bahkan karena ketiga negara tersebut tidak saja menggunakan sarana ICT dalam meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja yang bersifat teknis, lebih dari pada itu mereka juga memanfaatkan ICT tersebut secara intensif dalam rangkameningkatan kualitas pelayanan publik, serta meningkatkan akuntabilitas hampir di seluruh bidang kegiatan mereka, sehingga ketiga negara tersebut dianggap sebagai negara-negara pioner di dalam mengaplikasikan E-Government (E-Gov). Menanggapi tentang besarnya manfaat yang dapat diraih oleh negara-negara maju melalui pengaplikasian E-Gov ini, Farazmand (2004) mengatakan bahwa E-Gov yang sangat sarat dengan ICT itu, di samping mampu meningkatkan kuantitas dan kualitas transaksi, juga merupakan cara jitu yang mampu mengefisienkan waktu, biaya serta dapat menyederhanakan birokrasi berbelit yang sering terjadi di dalam organisasi pemerintahan. Sehubungan dengan berbagai kelebihan dari penerapan E-Gov tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat menumbuhkan tingginya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap negara atau pemerintah.Walaupun berbagai bukti nyata telah memberikan petunjuk bahwa banyak negara maju yang bisa memperoleh manfaat besar dari pengaplikasian E-Gov, tetapi secara umum banyak negara yang terlambat mengadopsi ICT tersebut ke dalam tubuh organisasi pemerintahannya, terutama bagi negara-negara sedang berkembang, sebagaimana halnya yang terjadi di Indonesia hingga di pertengahan tahun 2001 saat ini. Jangankan untuk menyelenggarakan program E-Gov, bahkan untuk mengaplikasikan E-Service pun pada umumnya mereka sangat terlambat, dengan berbagai alasan yang seolah-olah logis, mengapa mereka, segera mengadopsi ICT 1

Disampaikan pada acara Seminar Nasional Jurusan Ilmu Administrasi Publik Dalam Rangka Dies Natalis FIA UB ke 51 pada tanggal; 08 Oktober 2011 2 Dosen Tetap Jurusan Ilmu Administrasi Publik FIA UB Malang.

14

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

secara konsekwen dalam rangka meningkatkan kinerja mereka, terutama dalam melakukan public services delivery bagi warga negaranya. Tidak berbeda dengan negara-negara sedang berkambang pada umumnya, Indonesia hingga saat ini juga masih termasuk sebagai negara yang sangat terlambat dalam mengodopsi ICT sebagai sarana utama dalam pelaksanaan kerjanya. Bahkan berdasarkan UN Goverment Survey (2008) Indonesia belum termasuk sebagai salah satu dari 70 negara di dunia yang memiliki tingkat kesiapan dan kemampuan yang cukup dalam mengimplementasikan prinsip-prinsip E-Govke dalam kehidupan organisasi pemerintahannya.

E-GOVOVERNANCE SEBAGAI TINDAKAN INOVASI PELAYANAN PUBLIK. Sejak penggunaan ICT telah merambah secara luas ke dalam kehidupan organisasi sektor publik, ternyata pemanfaatan teknologi tersebut tidak hanya mampu menggiring atas terjadinya pergeseran yang positif dibidang proses dan prosedur penyusunan kebijakan publik, tetapi juga mampu menciptakan terjadinya peningkatan tranparansi dan akuntabilitas hampir diseluruh fungsi pemerintahan, dan dapat pula meningkatkan jumlah cost saving pada kegiatan administrasi pemerintahan. Bahkan lebih dari pada itu penerapan E-Gov secara kuantitatif mampu memperluas cakupan pelayanan, sedangkan secara kualitatif juga sangat efektif dalam menumbuhkan tingkat kepuasan masyarakat penerima jasa layanan yang disedikan oleh pihak pemerintah. Dengan kata lain dapat pula dikatakan bahwa penerapan E-Gov secara esensial merupakan tindakan inovatif bagi terselenggarakannya pelayanan publik yang dapat menciptakan kepercayaan dan kepuasan masyarakat kepada pemerintah.Dalam hal ini Pathak et al (2008: 68) pernah mengtakan sebagai berikut: E governance, reformers aspire to reincorce the connection between public officials and communities thereby leading to a stronger, more accuntable and inclusive democracy. The success of E-Governance requires fondamental chnges in how goverment works and how people view the provisions throgh which government is helping them. Memperhatikan pendapat yang telah diutarakan oleh Pathak et al tersebut di atas, dapatlah diambil sebuah pemahaman bahwasannya penerapan E-Gov. pada saat ini tidak boleh dipandang hanya sebagai bentuk-bentuk penyelenggaraan pemerintahan berbasis ICT dengan memanfaatkan jaringan internet semata. Ada banyak hal yang lebih penting dan dari pada itu, sehingga E-Gov. harus dipandang sebagai sebuah model aktivitas kepemerintahaan integratif yang dicirikan oleh adanya sebuah proses aktivitas kerja seluruh organisasi sektor publik yang mampu menciptakan terjadinya demokratisasi pemerintahan yang lebih terpercaya, maupun berbagai aspek tindakan pemerintah lainnya yang lebih transparan, akuntabel, cepat, tepat dan akurat melalui aplikasiICT, karena kehadliran E-Gov. ternyata mampu menciptakan serta memperbaiki kualitas interaksi antara pemerintah dengan berbagai pihak. Berbagai interaksi yang lajim dapat ditingkatkan kualitas interaksinya itu diantaranya adalah interaksi antara pemerintah dengan warga negaraatau Government to Citizen (G to C), interaksi pemerintah dengan swastaGovernment to Business (G to B), serta interaksi yang terjadi antara pemerintah dengan pemerintah Government to Government (G to G)maupun bentuk-bentuk interaksi lainnya, baik yang berjalan secara upward interaction,downward interaction maupun

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

15

yang berjalan secara backward interactionserta forward interactionsehingga dapat mengefektifkan dan mengefisienkan kinerja internal organisasi pemerintahan yang lajim disebut sebagai internal government operation (Backus; 20010). Pendek kata,bahwa dengan kehadliran E-Gov. yang diaplikasikan secara konsekwen oleh negara-negara maju ternyata mampu membuka peluang yang seluasluasnya bagi negara itu untuk melakukan perbaikan kinerja mereka. Mereka dengan sangat meyakinkan telah melakukan pergeseran pola kerja yang semula bersiofat negatif dan banyak mendapat kecamanan serta menimbulkan kekecewaan warga negara itu, telah menjelma menjadi pola kerja yang penuh dengan pujian dan kepuasan dari berbagai pihak karena kualitasnya yang menjadi semakin meningkat dengan terciptanya interaksi antara pemerintah dengan masyarakat yang semakin harmonis. Sementara itu kinerja internal organisasi sektor publiknya juga menjadi sangat efektif dan efisien sehingga cost of public service delivery yang ditanggung oleh masyarakat menjadi sangat murah yang berdapak positif pada peningkatan kualitas interaksi yang terjadi antara negara dengan warga masyarakatnya, baik mereka yang berstatus sebagai users,citizenmaupun yang berstatus sebagaicustomer.Menanggapi tentang berbagai manfaat positif yang dapat dirasakan oleh negara-negara maju yang telah mengaplikasikan E-Gov. secara konsekwen tersebut, Bhatnagar dalam Pathak et al (2008) mengatakan “Online system have not only helped achieve efficiency gains by cutting overal time to process applications but also made transactions more traceable, transparent and eaisier to access”. Mengomentari tentangberbagai hasil dan dampak positif yang telah dirasakan oleh berbagai negara maju melalui penerapan E-Gov. tersebut, Organization of Economic Cooperation and Development (OECD) dalam UU Government Survey (2008: 3) mengatakan sebagai berikut: Innovation in information and communication technologies have also provided an apportunity for effective working modalities across government agencies. Whereas at an early stage ICT was viewed as an important tool for improving efficiency, as organizations become more mature and more complex, the role of ICT needs to evolve to enable onter-organizational linkages and, with it, the need for e-government coordination as such, ICT is being viewed as a key tool to bring about a change in service delivery. Menyimak tentang apa yang disampaikan oleh OECD tersebut, memberikan pemahaman yang lengkap bagi kita bahwa kehadliran E-Gov bagi organisasi sektor publik atau organisasi pemerintahan itu adalah merupakan sebuah keniscayaan yang tidak mungkin bisa dihindarkan, apabila negara itu benar-benar memiliki keinginan yang kuat dalam rangka memperbaiki kualitas kinerja mereka. Pada umumnya ada 3 (tiga) aspek dari kinerja organisasi sektor publik yang mampu ditingkatkan kualitasnya melalau penyelenggaraan E-Gov. yang meliputi:

- Penyerahan atau pemberian e-service kepada masyarakat secara efisien, efektif, yang dilakukan oleh pemerintah dengan memegang teguh pada prinsip-prinsip equity, impartiality dan equality. - Peningkatan kepuasan bagi warga negara maupun pihak swasta karena adanya pelayanan pemerintah yang dilakukan secara cepat, tepat dan akurat karena

16

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

proses pelayanan yang diberikan oleh pemerintah selalu didasarkan pada sikap dan perilaku public servants yang penuh semangat, proaktif, progresif dan positif tanpa. - Peningkatan kepercayaan masyarakat kepada organisasi sektor publik, karena adanya interaksi yang berjalan secara lancar, transparan dan akuntabel. Sementara itu menurut hasil survey yang pernah dilakukan oleh Pathak et al (2008) bahwa pengaplikasian program E-Gov yang dilakukan secara konsekwen itu ternyata juga terbukti sangat ampuh dan efektif untuk memberantas korupsi, khususnya korupsi di bidang pemberian atau penyerahan jasa pelayanan publik yang dilakukan olehpihak pemerintah kepada mereka yang membutuhkannya. Salah satu bentuk korupsi bidang pelayanan publik yang bisa diminimalisir secara efektif melalui penyelenggaraan E-Gov itu adalah apa yang lajim disebut sebagai petty bureaucratic corruption maupun yang disebut sebagai low-level administrative corruption (Pathak et al; 2008) yang sering dilakukan oleh kelompok birokrat kelas bawah yang oleh Lipsky (1980) diistilahkan sebagai Street Level Bureaucrats. Berkaca dari berbagai fakta keberhasilan oleh negara-negara maju dalam menerapakan E-Gov tersebut, pada saat ini banyak negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia yang berusaha mengikuti langkah-langkah yang telah diambil oleh berbagai negara maju tersebut, yakni mulai berusaha untuk mengaplikasikan E-Gov di republik tercinta ini. Sudah barang tentu bahwa Indonesia juga memiliki harapan yang besar, bahwa dengan diterapkannyaE-Govini juga akan dapat membawa hembusan angin segar dan kesuksesan yang memuaskan banyak pihak,sebagaimana yang telah diraih oleh berbagai negara maju yang telah lebih dahulu menerapkan E-Gov di negaranya. Dengan kata lain bahwa Indonesia melalui E-Gov. nya juga sangat menaruh harapan untuk dapatmeningkatkan efektivitas kerja, efisiensi biaya, serta bertujuan untuk mempermudah dan memperlancar jalannya proses pelayanan publik bagi warga negaranya, baik bagi mereka yang berstatus sebagai citizens, client, users maupun customers. Bahkan melaluiE-Gov itu juga bahwa Indonesia juga memiliki cita-cita mulia untuk menciptakan tewujudnyaclean government atau menekan terjadinyakorupsi di negeri ini.

MENAKAR KESIAPAN DAN KEMAMPUAN MENGAPLIKASIKAN E-GOVERNANCE.

INDONESIA

DALAM

Sampai dengan selesainya penulisan paper singkat ini, penulis belum berhasil untuk mendapatkan informasi yang akurat, tentang kapan sesungguhnya peletakan fondasi pertama atas penerapan E-Gov maupun E-Service telah dimulai oleh Pemerintah Indonesia. Namun berdasarkan data dari hasil survey yang dilakukan oleh UN Government Survey (2008: 34) menginformasikan bahwa penerapan E-Gov. yang telah dilakukan oleh Indonesia menempati rangking ke 96 ditingkat Asia Tenggara pada tahun 2005. Bertolak dari informasi tersebut menunjukkan bahwa penerapan E-Gov. di Indonesia telah dimulai beberapa tahun sebelum tahun 2005, walaupun tidak dapat menunjukkan secara pasti tahun perapa program tersebut telah dimulai kegiatannya. Ironisnya setelah penilaian atau survey yang dilakukan oleh UN Government Survey tersebut berjalan selama 3 (tiga) tahun, ternyata prestasi Indonesia dalam mengaplikasikan E-Govjustru mengalami penurunan yang sangat tajam, karena

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

17

kedudukan Indonesia pada tahun 2008 hanya berada pada rangking 106, yang berarti dalam kurun waktu sekitar 3 tahun, penerapan E-Gov di Indonesia telah mengalami penurunan sebesar 10 poin. Mengapa prestasi Indonesia dalam mengaplikasikan E-Gov mengalami kemerosotan yang drastis?, sementara itu apabila dilihat secara faktual, bahwa program penggunaan ICT pada berbagai organisasi sektor publik di Indonesia semakin tahun jumlahnya menjadi semakin meningkat. Boleh jadi bahwa secara kuantitatif jumlah organisasi sektor publik di Indonesia yang menerapkan E-Service sebagai embrio dari penerapan E-Gov.memang semakin besar jumlahnya, tetapi apabila dilihat dari segi kualitas penerapannya, sebagian besar dari mereka belum menampakkan kondisidan prestasi yang optimal, apa lagi untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap organisasi sektor publik penyedia jasa layanan pada khususnya maupun kepercayaan publik terhadap negara pada umumnya, ternyata masih jauh dari harapan yang dinginkan. Secara garis besar untuk menakar tingkat kesiapan dan kemampuan Indonesia dalam mengaplikasikan E-Gov. dapat dilihat melalui 3 (tiga) aspek dasar yang terdiri dari: 1. Berdasarkan proses internal atas penyelenggaraan E-Gov. terkait dengan pelaksanaan pekerjaan organisasi sektor publik “tertentu” yang bertujuan to improving of internal government operation yang bermuara pada terciptannya proses kerja yang tebih transparan, efisien dan efektif sehingga dapat menekan biaya operasional sampai pada batas minimal yang paling rendah dengan waktu pelaksanaan yang tercepat. 2. Berdasarkan output yang mampu dihasilkan melalui penyelenggaraan E-Gov.yang dapat menyederhanakan dan mempermudah bagi pihak masyarakat untuk mengakses jasa layanan publik yang disediakan oleh organisasi sektor publik sebagai provider-nya, sehingga dapat mempercepat dan meningkatkan adanya pemerintahan yang demokratis melalui penerapan ICT sebagai basis dari penyelenggaraan E-Gov. 3. Berdasarkan outcome yang dapat dilihat dari munculnya kepuasan masyarakat penerima jasa layanan yang berdampak pada meningkatnya public trustpihak masyarakatterhadap proses penyerahan jasa pelayanan yang diberikan oleh pemerintah, karena penyerahan jasa pelayanan tersebut benar-benar diselenggarakan melalui prinsip a better relationship between citizens and government, yang bermuara padasemakin melemahnya petty bureaucratic corruption sampai pada batas yang paling rendah yang biasa dilakukan oleh lowlevel bureacratic yang berhadapan langsung dengan masyarakat penerima jasa layanan publik. Oleh karena penerapan E-Gov. di negeri ini belum mampu menciptakan atas ke 3 (tiga) aspek dasar tersebut secara optimal apalagi ideal, maka tidaklah berlebihan apabila pihak UN E-Government Surveymenilai bahwa penerapan E-Gov di Indonesia semakin hari kualitasnya tidak menjadi semaikan baik, dan justru berapa pada posisi yang sebaliknya. Hal ini mengandung pengertian bahwa Indonesia belum memiliki kesiapan dan tingkat kemampuan yang optimal dalam menerapkan E-Govsecara konsekwen. Berdasarkan hasil studi pernah dilakukan oleh penulis, tentang kualitas penyelenggaraan E-Passport Servicesyang diasumsikan sebagai langkah awal atas

18

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

terbentuknya E-Gov di negeri ini, dilihat berdasarkan prosesnya, hasilnya maupun dari segi dampaknya juga menunjukkan adanya hasil yang kurang optimal. Ketidak optimalan penyelenggaraan E-Passport Services yang didesakkan oleh International Civil Assosiation Organization kepada Indonesia pada tahun 2006 itu, sampai dengan kondisi awal tahun 2011 ternyata belum bisa dilaksanakan secara tuntas, karena Indonesia belum mampu menyelesaikan aplikasi program E-Passport Services secara menyeluruh sebagaimana tahap-tahap yang telah ditetapkan, sehingga sampai saat ini penerbitan EPassport Books yang berbasis micro chips belum bisa diproduksi secara masal. Oleh sebab itu dapatlah dikatakan bahwa penerbitan E-Passport Book yang dilakukan oleh indoneia hingga saat ini, teknis belum sesuai dengan standard yang telah ditetapkan oleh ICAO. Kendatipun hasil studi ini bukan merupakan representasi dari keseluruhan dari penyelenggaraan E-Service maupun E-Gov. yang telah dilakukan oleh indonesia selama ini, setidaknya data tersebut adalah merupakan salah satu potret wajah dari sebuah proses penyelenggaraan E-Gov yang belum tuntas diimplementasikan secara konsekwen, apabila kurang tepat untuk disebut sebagai penyelenggaraan E-Gov. yang masih dilakukan setengah hati. Adapun indikator yang dijadikan sebagai tolok ukur oleh UN Government Survey dalam menilai tingkat kesiapan dan kemampuan sebuah negara dalam mengimplementasikan E-Gov yang disebut sebagai phases of web measure index UN Government Survey (2008: 17)itu adalah berupa tahapan penerapan E-Gov yang dilakukan oleh sebuah negara yang terdiri dari;a) emerging stage, b) enhance stage, c) interctive stage, d) transactional stage, dan e) connected stage.Sementara itu agak berbeda dengan apa yang disusun oleh pihak UN Goverment Survey, Sakowitcz mengidentifikasi kesiapan dan kemampuan sebuah negara dalam mengimplementasikan E-Govberdasarkan 4 (empat) tahapan yang meliputi;a)information available on-line, b) one-way interaction, c) two way interaction and d) full on-line transactioin, including delivery and payment. Meskipun antaraUN Government Survey dan Sakowitcz menggunakan indikator tahapan penyelenggaraan E-Gov saling berbeda antara satu dengan lainnya, tetapi keduanya memiliki indikator yang hampir sama ketika mereka melihat proses penerapan E-Govyang dilakukan oleh sebuah lembaga atau institusi sektor publik yang bertindak sebagai providers dalam memberikan jasa pelayanan publik kepada pihak-pihak yang membutuhkannya. Beberapa kesamaan process indicatorsyang dimaksud oleh kedua pihak tersebut di antaranya adalah; there are available on-line 24h/7 days, ease of use and one-stop shop (Sakowitcz; 2003) dan (UN Government Survey; 2008).Tanpa harus memaparkan secara rinci dan detil tentang tahapan pelaksanaan E-Gov yang telah dicapai oleh Indonesia, maupun kemampuan Indonesia dalam melakukan proses pemberian jasa yanan berbasis ICT sebagaimana yang disusun dan diutarakan oleh UN Government Survey maupun Sakowitcz, yang jelas Indonesia hanya menempati urutan yang ke 106 di tingkat Asia Tenggara pada tahun 2008 yang lalu. Kondisi yang semacam ini baik secara langsung maupun tidak langsung mengadung pengertian bahwa Indonesia belum bisa mencapai tahapan yang tertinggi dengan proses pemberian jasa pelayanan yang masih relatif sulit, lamban, kurang menyenangkan dan tidak berjalan secara terpadu dalam kurun waktu 24 jam/hari selama 1 (satu) minggu penuh tanpa berhenti. Terlebih lagi apabila penerepan E-Gov. tersebut

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

19

dihubungkan dengan menurunnya angka korupsi sebagaimana yang terjadi di Fiji dan Etiopia ( Pathak; 2008) maka Indonesia masih berada pada kondisi yang sangat memprihatinkan, sebab E-Gov. yang telah diaplikasikan selama ini tidak berdampak sedikitpun terhadap terjadinya penurunan angka korupsi di negeri ini. Oleh sebab itu dilihat dari sisi penerapan E-Gov, masih banyak Pekerjaan Rumah (PR)yang harus segera dilakukan oleh Indonesia agar pelaksanaan E-Gov benar-benar dapat menghasilkan sesuatu yang positif di segala bidang sebagaimana yang telah terjadi diberbagai negara lainnya. Masih relatif rendahnya kemampuan Indonesia dalam mengaplikasikan E-Gov ini salah satu diantaranya adalah diakibatkan oleh rendahnya kualitas Sumber daya aparatur (SDA) yang yang secara teknis diberi kepercayaan atau kewenangan dalam mengoperasional E-Gov dalam menjalankan tugas mereka sehari-hari. Banyak para pemerhati tentang pelaksanaan E-Gov di Indonesia mengambil sebuah kesimpulan bahwa rendahnya kemampuan Indonesia dalam menerapkan E-Govselama ini adalah merupakan akibat dari masih rendahnya ICT literacy yang melekat pada SDA, karena mereka belum memiliki profesionalitas ataupun kompetensi yang cukup memadai dibidang ICT, karena dengan berbekal profesionalitas kompetensi tersebut dapat mengakibatkan seseorang dapat melakukan pekerjaan secara efisien, efektif dan ekonomis. Mungkin saja sinyalemen yang semacam ini tidak terlalu salah, apabila kita melihat kondisi SDA yang bekerja pada organisasi sektor publik di indonesia sekitar 5 tahun atau 10 tahun yang lalu, tetapi sinyalemen yang semacam ini barang kali sudah kurang tepat lagi apabila digunakan untuk menganalisis keadaan SDA yang bekerja pada organisasi sektor publik di indonesia ada pada saat ini. Dalam hal ini Witthon (2007) tidak menafikkan bahwa pelaksanaan kerja secara efisien, efektif dan ekonomis memang bisa diraih oleh para SDA yang memiliki profesionalitas dan kompetensi teknis yang tinggi. Namun demikian, selanjutnya Ia mengatakakan bahwa prinsip 3E yang terdiri dari efisiensi, efektifitas dan ekonomis dalam penyelenggaraan administrasi publik tidaklah cukup, oleh sebab itu harus ditambah dengan 1 prinsi E lagi yang Ia sebut sebagai professional ethic atau ethical competence. Apabila profesionalitas dan kompetensi teknis adalah merupakan prasyarat yang harus dimiliki oleh para SDA dalam mengaplikasikan E-Gov demi terwujudnya kualitas kerja yang dapat menciptakan terjadinya penurunan biaya operasional, percepatan waktu pelayanan dan lain sebagainya, sedangkan professional ethic atau ethical competence sangat mujarab dalam menciptakan attitude dan aptitudeketika mereka menjalin interaksi dengan pihak users, client, customer maupun citizen, sehingga interaksi pemerintah dengan warga negara maupun pihak swasta menjadi lebih baik, yang secara tidak langsung juga dapat menekan terjadinya tindak kejahatan korupsi yang biasa dilakukan oleh para bureacrats yang tidak bertanggungjawab dalam memberikan jasa pelayanan publik bagi mereka yang membutuhkannya. Sehubungan dengan hal tersebut dapatlah diambil sebuah pemahaman bahwa dalam rangka meningkatkan kemampuan Indonesia dalam mengaplikasikan E-Gov tidak saja harus ditempuh melalui peningkatan kompetensi dan profesionalitas teknis bagi SDA-nya saja, melainkan lebih dari itu juga harus ditempuh dengan cara melakukan perbaikanterhadap etika profesionalitas atau perbaikan padakompetensi etik yang telah mereka miliki selama ini.

20

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

KESIMPULAN Dewasa ini intensitas penggunaan ICT di dalam organisasi sektor publik yang diistilahkan sebagai E-Gov. semakin hari menjadi semakin tak terhidarkan. Bahkan penggunaan EGov. sudah dianggap sebagai representasi dari kemampuan organisasi pemerintah di dalam meningkatkan proses pelayanan publik di segala bidang. Oleh sebab itu, sangatlah beralasan apabila penerapan E-Gov. lebih dianggap sebagai proses otomatisasi yang harus dilakukan oleh organisasi pemerintah dalam memberikan jasa pelayanan kepada publik secara lebih efisien, efektif, transparan dan tepat sasaran. Sudah barang tentu bahwa berbagai anggapan tersebut bermuara dari berbagai fakta keberhasilan gemilang yang pernah dicapai oleh negara-negara maju dalam menerapkan E-Gov. diseluruh sektor organisasi pemerintahan yang dimilikinya. Namun demikian, ketika E-Gov. tersebut diimplementasikan di negara-negara sedang berkembang, sebagaimana halnya yang dilakukan oleh Indonesia, ternyata hasilnya tidak se-efektif sebagaimana yang terjadi pada negara-negara maju, apabila kurang tepat untuk dikatakan gagal. Efisiensi, efektivitas dan perbaikan kinerja internal organisasi akibat penerapan E-Gov. sebagaimana yang dirasakan oleh negara-negara maju, ternyata belum bisa diwujudkan akibat diterapkannya E-Gov. Demikian pula hanya dengan perbaikan interaksi antara pemerintah dengan warga negaranya ternyata juga belum tumbuh secara sempurna, dan penurunan tindakan yang bersifat koruptif juga masih belum kentara. Berdasarkan beberapa studi yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa belum optimalnya hasil atas penerapan E-Gov tersebut, salah satu diantaranya adalah disebabkan oleh masih rendahnya profesionalitas dan kompetensi SDA yang ada. Namun yang perlu digaris bawahi di sini adalah profesionalitas dan kompetensi yang dimaksud bukan semata-mata terletak pada kompetensi teknis, melainkan lebih disebabkan oleh rendahnya kompetensi etis yang sangat berpengaruh dalam membentuk perilaku mereka dalam menjalankan sebuah pekerjaan yang menjadi tanggungjawabnya.

DAFTAR PUSTAKA Ancarani, Alessandro, 2005, Towards Quality E-Service In The Public sector, The Evolution of Web Sites In The local Public Sercice Sector, Managing Service Quality, Vol 15 No 1, Pp. 6-23, Emerald Group Publishing Ltd. Backus, M, 2001, E-Governance and Developing Countries – Introduction and Examples, IICD Research Report No 3. Farazman, A, 2004, Innovation In Strategic Human Resource Management, Building Capacity In The Age of Globalization, Public Organization Review, 4, 3-24. Joseph, Rhonda, C, 2009, E-Government And E-HRM In The Public Sector, dalam Enciclopedia of Human Resource Management System,: Challenges in HRM, Hersly New York, Information Science Refference, Publisher. Lipsky, M., 1980, Street Level Bureaucracy, Dilemmas Of Individual In Public Services, Russell Sage Foundation, New York. Pathak, R., D, et al (2008), E-Governance, Corruption and Public Service Delivery: A Comparative Study of Fiji and Ethiopia, JOAAC, Vol 3 No. 1.

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

21

Sakowitcz, Marcin, 2003, How to Evaluate E-Government?, Different Methodologies and Methods, Warsaw School of Economics, Departement of Public Administration, Email: [email protected], downloaded 19 January 2010. United Nation, 2008, UN E-Goverment Survey From E-Government to Connected Governance, UN, Publication

22

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG PELAYANAN PUBLIK: SIAPKAH DAERAH OTONOM?

Abdul Hakim dan Siti Rochmah

PENDAHULUAN Secara hukum Undang-undang No.25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik telah diundangkan pada tanggal 18 Juli 2009 dan dimuat secara resmi dalam Lembaran Negara RI Tahun 2009 Nomor 112. Namun sampai sekarang implementasi undang-undang, yang sangat dinantikan oleh publik tersebut, belum terlaksana karena Peraturan Pemerintah yang menjadi petunjuk pelaksanaannya bagi para penyelenggara dan pelaksana pelayanan publik belum terbit sampai saat ini. Menarik untuk disimak, bahwa undang-undang tersebut lahir atas dasar beberapa pertimbangan sebagai berikut: pertama, bahwa negara berkewajiban melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik. Kedua, untuk membangun kepercayaan publik terhadap penyelenggara pelayanan publik. Ketiga, sebagai upaya untuk mempertegas hak dan kewajiban setiap warga negara dan penduduk serta terwujudnya tanggung jawab negara dan korporasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik; dan keempat, sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas dan menjamin penyediaan pelayanan publik sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik serta untuk memberikan perlindungan bagi setiap warga negara dan penduduk dari penyalahgunaan wewenang di dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Terlepas dari alasan-alasan tersebut, disadari bahwa ada suatu fenomena empirik yang mendorong ke arah pentingnya aturan hukum dan manajemen pelayanan publik, yaitu kondisi kualitas pelayanan publik yang dirasakan buruk, atah bahkan santa buruk, oleh warga negara dan penduduk Indonesia. Menurut Tjokrowinoto (2001), sikap dan perilaku birokrasi publik pada tataran pemerintahan lokal yang berfungsi untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat sebagian besar terkooptasi kepentingankepentingan pribadi dan kelompok yang cenderung vested interest. Birokrasi publik di daerah memiliki jarak sosial yang terlalu jauh dengan masyarakat dan pengguna jasa yang dilayaninya. Pelayanan publik yang diberikan oleh aparatur birokrasi cenderung bersifat sentralistik sehingga banyak pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Rendahnya aksesibilitas dan kualitas pelayanan publik yang terefleksikan melalui akuntabilitas kinerja birokrasi publik dalam berbagai penyelenggaraan pelayanan publik yang terjadi di daerah-daerah telah memunculkan berbagai bentuk protes sosial yang diwujudkan dalam berbagai bentuk, mulai dari tulisan di media, unjuk rasa sampai dengan tindakan anarkis yang merugikan dan mengancam legitimasi pemerintahan. Ketidakmampuan birokrasi publik untuk melaksanakan tugas

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

23

dan fungsinya secara optimal dalam pelayanan publik, antara lain disebabkan oleh faktorfaktor rendahnya kapabilitas, profesionalisme, dan kompetensi pejabat birokrasi publik. Kenyataan ini telah mengakumulasikan ketidakpuasan publik yang selanjutnya menjelma menjadi tuntutan yang terus meningkat menjadi gerakan reformasi pelayanan publik. Kesadaran akan pentingnya payung hukum yang melandasi pelayanan publik yang berkualitas sebenarnya sudah muncul sejak tahun 1993, jauh sebelum undangundang tersebut diundangkan. Misalnya, Keputusan Menpan No. 81/1993 yang dipertegas dengan Inpres No. 1/1995 tentang Peningkatan Kualitas Pelayanan Aparatur Pemerintah. Kemudian Surat Edaran Menko Waspan No. 56/MK/WASPAN/6/1998 tentang Langkah Nyata Memperbaiki Pelayanan Masyarakat, yang intinya meminta agar seluruh Menteri Kabinet Reformasi Pembangunan, Gubernur BI, para Gubernur seluruh Indonesia, para Pimpinan Lembaga Pemerintah Non-Departemen dan para Bupati/Walikota Kepala Daerah di seluruh Indonesia agar dalam waktu secepat-cepatnya mengambil langkah-langkah perbaikan mutu pelayanan masyarakat pada masing-masing unit kerja/kantor pelayanan termasuk BUMN/BUMD. Tidak dapat disangsikan bahwa undang-undang pelayanan publik tersebut memuat banyak hal yang menjadi kewajiban para penyelenggara dan pelaksana pelayanan publik. Dalam Pasal 15 disebutkan sebanyak dua belas kewajiban yang harus dipenuhi oleh Penyelenggara Pelayanan Publik, dan lima kewajiban yang harus dilakukan oleh Pelaksana Pelayanan Publik. Dalam Ketentuan Umum undang-undang tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Penyelenggara Pelayanan Publik atau disebut Penyelenggara adalah setiap institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik. Sedangkan Pelaksana Pelayanan Publik atau disebut Pelaksana adalah pejabat, pegawai, petugas, dan setiap orang yang bekerja di dalam Organisasi Penyelenggara yang bertugas melaksanakan tindakan atau serangkaian tindakan pelayanan publik. Dengan demikian jelas bahwa Pemerintah Daerah adalah Penyelenggara Pelayanan Publik, dan segenap aparatur Pemerintah Daerah adalah Pelaksana Pelayanan Publik. Hal ini sekaligus memperjelas pula bahwa kewajiban-kewajiban yang ada dalam undang-udang tersebut haruslah dilaksanakan sehingga tujuan undang-udang pelayanan publik untuk mewajudkan sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang layak sesuai dengan asas-asas pemerintahan yang baik (good governance) dapat tercapai. Pertanyaannya adalah sejauhmana kesiapan Pemerintah Daerah dan jajaran birokrasinya untuk mengimplementasikan undang-udang tersebut? Tema inilah yang menjadi bahan diskusi dalam artikel ini.

KEWAJIBAN PENYELENGGARA DAN PELAKSANA DALAM PELAYANAN PUBLIK Komitmen untuk melaksanakan pelayanan publik yang berkualitas sebenranya sudah ada sejak dikeluarkannya Surat Edaran Menwaspan No. 56/MK/WASPAN/6/1998 tentang Langkah Nyata Memperbaiki Pelayanan Masyarakat. Dalam surat edaran tersebut dinyatakan tentang kewajiban yang harus dilaksanakan oleh organisasi pemerintah dan juga BUMN/BUMD sebagai berikut:

24

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

1. Menerbitkan pedoman pelayanan, yang antara lain memuat persyaratan, prosedur, biaya/tarif pelayanan dan batas waktu penyelesaian pelayanan, baik yang bentuk buku panduan atau pengumuman maupun melalui media informasi lainnya; 2. Menempatkan petugas yang bertanggung jawab melakukan pengecekan kelengkapan persyaratan permohonan untuk kepastian mengenai diterima atau ditolaknya berkas permohonan tersebut pada saat itu juga; 3. Menyelesaikan permohonan pelayanan sesuai dengan batas waktu yang telah ditetapkan dan apabila batas waktu yang telah ditetapkan terlampaui, maka permohonan tersebut berarti disetujui; 4. Melarang dan atau menghapus biaya tambahan yang dititipkan pihak lain dan meniadakan segalka bentuk pungutan liar di luar biaya jasa pelayanan yang telah ditetapkan; 5. Sedapat mungkin menerapkan pola-pola pelayanan secara terpadu bagi unit-unit kerja kantor pelayanan yang terkait dalam memproses atau menghasilkan satu produk pelayanan; 6. Melakukan penelitian secara berkala untuk mengetahui kepuasan masyarakat atau pelayanan yang telah diberikan, antara lain dengan cara masyarakat atau pelayanan yang telah diberikan, antara lain dengan cara penyebaran kuesioner kepada masyarakat dan hasilnya perlu dievaluasi dan ditindaklanjuti; 7. Menata sistem dan prosedur pelayanan secara berkesinambungan sesuai tuntutan perkembangan dinamika masyarakat. Secara substantif, isi surat edaran tersebut termuat di dalam dua belas kewajiban bagi Penyelenggara Pelayanan Publik, sebagaimana diatur dalam Pasal 15, sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.

Menyusun dan menetapkan standar pelayanan; Menyusun, menetapkan dan memublikasikan maklumat pelayanan; Menempatkan pelaksana yang kompeten; Menyediakan sarana, prasarana, dan/atau fasilitas pelayanan publik yang mendukung terciptanya iklim pelayanan yang memadai; Memberikan pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas penyelenggaran pelayanan publik; Melaksanakan pelayanan sesuai dengan standar pelayanan; Berpartisipasi aktif dan mematuhi peraturan perundang-udangan yang terkait dengan penyelenggaran pelayanan publik; Memberikan pertanggungjawaban terhadap pelayanan yang diseleng-garakan; Membantu masyarakat dalam memahami hak dan tanggung jawabnya; Bertanggung jawab dalam pengelolaan organisasi penyelenggara pelayanan publik; Memberikan pertanggungjawaban sesuai dengan hukum yang berlaku apabila mengundurkan diri atau melepaskan tanggung jawab atas posisi atau jabatan; Memenuhi panggilan atau mewakili organisasi untuk hadir atau melaksanakan perintah suatu tindakan hukum atas permintaan pejabat yang berwenang dari lembaga negara atau instansi pemerintah yang berhak, berwenang, dan sah sesuai dengan perraturan perundang-udangan.

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

25

Sedangkan untuk Pelaksana Pelayanan Publik memiliki lima kewajiban, sebagai berikut: 1. Melakukan kegiatan pelayanan sesuai dengan penugasan yang diberikan oleh Penyelenggara; 2. Memberikan pertanggungjawaban atas pelaksanaan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-udangan; 3. Memenuhi panggilan untuk hadir atau melaksanakan perintah suatu tindakan hukum atas permintaan pejabat yang berwenang dari lembaga negara atau instansi pemerintah yang berhak, berwenang, dan sah sesuai dengan peraturan perundangundangan; 4. Memberikan pertanggungjawaban apabila mengundurkan diri atau melepaskan tanggung jawab sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan 5. Melakukan evaluasi dan membuat laporan keuangan dan kinerja kepada Penyelenggara secara berkala. Uraian tentang kewajiban-kewajiban tersebut menunjukkan betapa banyak dan luasnya aspek yang harus disiapkan oleh daerah otonom dalam rangka implementasi undang-undang pelayanan publik. Untuk pembahasan dalam artikel ini, kita ambil saja sebagai contoh, lima kewajiban pertama dari Penyelenggara, yaitu: (a) menyusun dan menetapkan standar pelayanan; (b) menyusun, menetapkan dan memublikasikan maklumat pelayanan; (c) menempatkan pelaksana yang kompeten; (d) menyediakan sarana, prasarana, dan/atau fasilitas pelayanan publik yang mendukung terciptanya iklim pelayanan yang memadai; dan (e) memberikan pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas penyelenggaran pelayanan publik. Untuk yang pertama, pertanyaannya adalah: “Sudahkah setiap SKPD yang ada menyusun dan menetapkan standar pelayanan sesuai dengan tupoksinya masing-masing?” Dalam Ketentuan Umum Undang-undang Pelayanan Publik, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan standar pelayanan adalah tolok ukur yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai kewajiban dan janji Penyelenggara kepada masyarakat dalam rangka pelayanan yang berkualitas, cepat, mudah, terjangkau dan terukur. Komponen standar pelayanan ini diatur dalam Pasal 21 undang-undang tersebut, yang meliputi sekurang-kurangnya empat belas aspek: a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l.

26

Dasar hukum; Persyaratan; Sistem, mekanisme, dan prosedur; Jangka waktu penyelesaian; Biaya atau tariff; Produk pelayanan; Sarana, prasarana, dan/atau fasilitas; Kompetensi pelaksana; Pengawasan internal; Penanganan pengaduan, saran, dan masukan; Jumlah pelaksana; Jaminan pelayanan yang memberikan kepastian pelayanan dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan;

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

m. Jaminan keamanan dan keselamatan pelayanan dalam bentuk komitmen untuk memberikan rasa aman, bebas dari bahaya, dan risiko keragu-raguan; dan n. Evaluasi kinerja pelaksana. Salah satu pedoman yang dapat digunakan oleh SKPD untuk menyusun standar pelayanan agar dapat menyajikan pelayanan prima kepada masyarakat adalah dengan mengimplementasikan sendi-sendi pelayanan, sebagaimana yang diatur dalam Keputusan Manteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan) No. 81/1993 tentang Peningkatan Kualitas Pelayanan. Sendi-sendi tersebut adalah sebagai berikut: a. Kesederhanaan dalam arti prosedur atau tata cara pelayanan diselenggarakan secara mudah, lancar, cepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dfilaksanakan. b. Kejelasan dan kepastian, dalam arti adanya kejelasan dan kepastian mengenai: 1) Prosedur atau tata cara pelayanan umum; 2) Persyaratan pelayanan umum, baik teknis maupun administratif; 3) Unit kerja dan atau pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan umum; 4) Rincian biaya atau tarif pelayanan umum dan tata cara pembayarannya; 5) Jadwal waktu penyelesaian pelayanan umum; 6) Hak dan kewajiban, baik dari pemberi maupun penerima pelayanan umum berdasarkan bukti-bukti penerimaan permohonan dan kelengkapannya untuk memastikan pemrosesan pelayanan umum; 7) Pejabat yang menerima keluhan masyarakat; c. Keamanan, dalam arti proses serta hasil pelayanan umum dapat memberikan keamanan dan kenyamanan serta dapat memberikan kepastian hukum d. Keterbukaan, dalam arti prosedur atau tata cara atau persyaratan, satuan kerja atau pejabat penanggung jawab pemberi pelayanan umum, waktu penyelesaian dan rincian biaya dan hal-hal yang berkaitan dengan proses pelayanan umum wajib diinformasikan secara terbuka kepada masyarakat agar mudah dan diketahui masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta e. Efisiensi, dalam arti persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan maksud dan tujuan pelayanan yang diberikan, mencegah adanya pengulangan pemenuhan kelengkapan persyaratan, kelengkapan sebagai persyaratan dari satuan kerja atau instansi pemerintah lain yang terkait. f. Ekonomis, dalam arti pengenaan biaya pelayanan umum harus ditetapkan secara wajar dengan memperhatikan nilai barang dan atau jasa pelayanan umum dan tidak menuntut biaya yang tinggi di luar kewajaran, kondisi dan kemampuan masyarakat untuk membayar secara umum serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. g. Keadilan yang merata, dalam arti cakupan atau jangkauan pelayanan umum harus diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan diperlakukan secara adil. h. Ketepatan waktu, dalam arti pelaksanaan pelayanan umum dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

27

Hal lain yang harus dipertimbangkan dalam menyusun standar pelayanan adalah dengan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan pengguna jasa layanan atas pelayanan yang diberikan. Dalam konteks ini, Parasuraman et al. (1985) setelah meneliti lima perusahaan yaitu: perbankan, kartu krdit, perbaikan dan perawatan peralatan elektronika, broker saham, dan perusahaan telepon SLJJ, dan dengan menggunakan 22 instrumen pengukur kualitas layanan (dikenal dengan SERVQUAL) menyimpulkan terdapat lima dimensi kualitas layanan yang berpengaruh pada kepuasan pengguna jasa layanan, yaitu: (1) bukti langsung (tangibles), meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai, sarana komunikasi; (2) keandalan (reability), meliputi kemampuan memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segera; (3) daya tanggap (responsiveness), yaitu keinginan para staf dan karyawan untuk membantu para pengguna jasa layanan dan memberikan pelayanan dengan tanggap; (4) jaminan (assurance), yang mencakup: pengetahuan, kemampuan, kesopanan, dan sifat yang dapat dipercaya yang dimiliki oleh para staf, bebas dari bahaya, risiko atau keragu-raguan; dan (5) perhatian (emphaty) yang meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan, komunikasi yang baik, perhatian pribadi, dan memahami kebutuhan pengguna jasa layanan. Aspek kedua yang harus disiapkan oleh Pemerintah Daerah adalah menyusun, menetapkan dan memublikasikan maklumat pelayanan. Hal yang dimaksud dengan Maklumat Pelayanan adalah pernyataan tertulis yang berisi keseluruhan rincian kewajiban dan janji yang terdapat dalam standar pelayanan. Dengan demikian, Maklumat dapat disusun jika standar pelayanan telah disusun terlebih dahulu. Oleh karena itu sangatlah penting bagi Pemerintah Daerah untuk memiliki sistem informasi pelayanan publik yang berbasis website. Hal yang dimaksud dengan Sistem Informasi Pelayanan Publik adalah rangkaian kegiatan yang meliputi penyimpanan dan pengelolaan informasi serta mekanisme penyampaian informasi dari Penyelenggara kepada masyarakat dan sebaliknya dalam bentuk lisan, tulisan Latin, tulisan dalam huruf Braille, bahasa gambarm dan/atau bahasa lokal, serta disajikan secara manual ataupun elektronik. Sistem Informasi ini seharusnya sudah mulai dibangun sejak sekarang dan bukan menunggu terbitnya Peraturan Pemerintah yang mengatur pelaksanaannya. Dalam Undang-Undang Pelayanan Publik, Pasal 23 ayat (4), disebutkan bahwa Penyelenggara berkewajiban mengelola Sistem Informasi yang terdiri atas sistem informasi elektronik atau nonelektronik, yang meliputi sekurang-kurangnya: (a) profil Penyelenggara; (b) profil Pelaksana; (c) standar pelayanan; (d) maklumat pelayanan; (e) pengelolaan pengaduan; dan (f) penilaian kinerja. Jalan keluar yang dapat dilakukan oleh Pemda adalah dengan mengembangkan fungsi website yang sudah ada sekarang, sehingga memiliki situs khusus untuk Sistem Informasi Pelayanan Publik, dengan berbagai menu sajian, sesuai dengan yang diharapkan dalam Undang-undang Pelayanan Publik. Kewajiban ketiga dari Pemda sebagai Penyelenggara Pelayanan Publik adalah menempatkan pelaksana yang kompeten. Kewajiban ini ada hubungannya dengan tuntutan akan pelayanan yang berkualitas. Karena jika pelaksanaan pelayanan dilakukan oleh aparatur yang tidak menguasaia pekerjaannya, dan tidak memiliki keterampilan, maka dikhawatirkan masyarakat tidak memperoleh pelayanan yang baik dan berkualitas. Dalam hubungannya dengan faktor manusia atau faktor pelaksana pelayanan publik ini, Moenir (1995) menyebutkan tentang perlunya memperhatikan tiga hal penting sebagai

28

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

berikut: (a) adanya kesanggupan dalam melakukan pekerjaan dengan motif mulia, yaitu ikhlas; (b) adanya keterampilan khusus untuk mengangani pekerjaan, dan untuk itu pekerja harus memiliki keterampilan yang disyaratkan, atau jika belum memiliki harus terlebih dahulu mendapatkan pendidikan atau pelatihan yang sepadan; dan (c) disiplin dalam hal waktu, prosedur dan metode yang telah ditentukan. Urgensi pelaksana pelayanan publik yang memiliki kompetensi yang disyaratkan dalam penyelenggaraan dan pelaksanaan pelayanan publik dikarenakan adanya tuntutan pertanggungjawaban atas pelayanan yang diberikan, dan juga adanya kemungkinan masyarakat pengguna jasa layanan untuk mengajukan tuntutan hukum dan atau melaporkan Penyelenggara dan Pelaksana Pelayanan Publik kepada pihak yang berwenang. Sebagaimana diatur dalam Pasal 51, bahwa masyarakat dapat menggugat Penyelenggara atau Pelaksana melalui peradilan tata usaha negara apabila pelayanan yang diberikan menimbulkan kerugian di bidang tata usaha negara. Oleh karena itu, dalam undang-undang tersebut juga diatur tentang perilaku aparatur pelaksana dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Perilaku tersebut, meliputi: (a) adil dan tidak diskriminatif; (b) cermat; (c) santun dan ramah; (d) tegas, andal, dan tidak memberikan putusan yang berlarut-larut; (e) profesional; (f) tidak mempersulit; patuh pada perintah atasan yang sah dan wajar; (g) menjunjung tinggi nilai-nilai akuntabilitas dan integritas institusi penyelenggara; (h) tidak membocorkan informasi atau dokumen yang wajib dirahasiakan sesuai dengan peraturan perundang-udangan; (i) terbuka dan mengambil langkah yang tepat untuk menghindari benturan kepentingan; (j) terbuka dan mengambil langkah yang tepat untuk menghindari benturan kepentngan: (k) tidak menyalahgunakan sarana dan prasarana serta fasilitas pelayanan publik; (l) tidak memberikan informasi yang salah atau menyesatkan dalam menanggapi permintaan informasi serta proaktif dalam memenuhi kepentingan masyarakat; (m) tidak menyalahgunakan informasi, jabatan, dan/atau kewenangan yang dimiliki; (n) sesuai dengan kepantasan; dan (o) tidak menyimpang dari prosedur. Dalam penyelenggaraan pelayanan public dibutuhkan dibutuhkan aparatur yang memiliki komitmen dan semangat kerja tinggi untuk mencapai kinerja pelayanan public yang sesuai standar pelayanan yang telah ditentukan, dan menghasilkan kepuasan dari para pengguna jasa layanan. Hasil penelitian tentang kinerja di antaranya menunjukkan bahwa kinerja (performance) akan tercapai jika secara internal pegawai memiliki komitmen dan semangat kerja yang tinggi dan dari sisi eksternal dilibatkan dalam berbagai bidang kerja, sesuai dengan kompetensinya; di samping tersedianya informasi yang tepat berkaitan dengan bidang kerjanya (Vogel, 1981). Faktor eksternal dan internal tersebut akan berpengaruh terhadap kinerja pegawai atau sikap pegawai di lingkungan organisasinya. Dalam kerangka perilaku organisasi terdapat sejumlah sikap yang berkaitan dengan pekerjaan. Kebanyakan riset dalam ilmu perilaku organisasi memperhatikan ketiga sikap tersebut, yaitu: kepuasan kerja, semangat kerja, dan komitmen terhadap organisasi (Brooke, 1988:139-145). Hasil survey yang dilakukannya menunjukkan bukti yang nyata bahwa terdapat kerugian organisasi yang disebabkan oleh sikap, keinginan, motivasi dan komitmen pegawai yang rendah di bidang kerjanya. Misalnya, 50 persen menyatakan mereka tidak berusaha lebih keras dalam pekerjaan dan mereka hanya bekerja sekedarnya agar tidak dikeluarkan; 52 persen percaya bahwa bekerja keras tidak menghasilkan pekerjaan yang lebih baik; 60 persen mengakui mereka

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

29

tidak bekerja keras seperti sebelumnya; dan 77 persen mengatakan mereka tidak bekerja sekeras yang dapat mereka lakukan. Berdasarkan pendapat tersebut, maka dalam konteks implementasi Undangundang Pelayanan Publik, Pemerintah daerah membutuhan aparatur pelaksana pelayanan publik yang tidak hanya memiliki komitmen terhadap organisasi sebagai Penyelenggara Pelayanan Publik tetapi juga memiliki semangat kerja. Komitmen pada organisasi sebagai suatu sikap yang diambil pegawai, bagaimanapun juga menentukan perilakunya sebagai perwujudan dari sikap. Konsekuensi perilaku yang muncul sebagai perwujudan tingginya tingkat komitmen pegawai pada organisasi antara lain: rendahnya tingkat pergantian pegawai, rendahnya tingkat kemangkiran, tingginya motivasi kerja, menyukai pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya, dan berusaha mencapai kinerja yang tinggi, sebagaimana yang dicerminkan dari model hubungan antara nilai, sikap dan perilaku (Davis dan Frederick, 1984:75). Sedangkan semangat kerja dapat dilihat dari aspek-aspek seperti motif, motivasi dan hasrat yang kuat untuk melakukan sesuatu. Semakin tinggi semangat kerja pegawai semakin kuat dorongan untuk melaksanakan tugas. Jadi komitmen dan semangat kerja memiliki kaitan yang erat. Komponen yang keempat yang menjadi kewajiban Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan pelayanan publik adalah menyediakan sarana dan prasarana, dan/atau fasilitas pelayanan publik yang mendukung terciptanya iklim pelayanan yang memadai. Dalam Pasal 25 UU Pelayanan Publik disebutkan antara lain: (a) Penyelenggara dan Pelaksana berkewajiban mengelola sarana, prasarana, dan/atau fasilitas pelayanan publik secara efektif, efisien, transparan, akuntabel, dan berkesinambungan serta bertanggung jawab terhadap pemeliharaan dan/atau penggantian sarana, prasarsana, dan/atau fasilitas pelayanan publik; (2) Pelaksana wajib memberikan laporan kepada Penyelengara mengenai kondisi dan kebutuhan sarana, prasarana, dan/atau fasilitas pelayanan publik sesuai dengan tuntutan kebutuhan standar pelayanan. Berdasarkan ketentuan tersebut, sudah saatnya Pemerintah Daerah untuk membuat pemetaan kebutuhan sarana, prasarana dan fasilitas pelayanan publik, untuk kemudian melakukan analisis dan menyusun daftar kebutuhan sarana, prasarana dan fasilitas pelayanan publik pada masing-masing SKPD. Daftar kebutuhan tersebut tidak hanya untuk kebutuhan Penyelenggara, tetapi juga kebutuhan Pelaksana Pelayanan Publik. Daftar kebutuhan inilah yang kemudian digunakan oleh masing-masing SKPD untuk melakukan pengadaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dengan mempertimbangkan prinsip efektivitas, efisiensi, transparansi, akuntabilitas, dan berkesinambungan. Menurut Lovelock (1988), organisasi publik harus merespon faktorfaktor internal dan eksternal yang mempengaruhi kualitas jasa layanan yang mereka berikan. Faktor internal adalah prasarana dan sarana pendukung layanan, kapasitas dan kompetensi sumberdaya manusia pelaksana, waktu dan biaya layanan yang ditetapkan. Sedangkan faktor eksternal adalah tingkat kepuasan yang dirasakan masyarakat pengguna jasa layanan. Perlu diperhatikan faktor-faktor apa yang menjadikan mereka puas dan faktor apa yang membuat mereka tidak puas atas jasa layanan yang diberikan. Kemudian perlu pula ditelusuri sumber-sumber ketidakpuasan tersebut, apakah dari prasarana dan sarana ataukah dari sumberdaya manusianya.

30

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

Komponen terakhir (dalam bahasan ini) yang harus disiapkan oleh Pemerintah Daerah dalam penyelenggaran pelayanan publik adalah kewajiban untuk memberikan pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas penyelenggaran pelayanan publik. Dalam Pasal 4 UU Pelayanan Publik disebutkan dua belas asas pelayanan public, yaitu: (1) kepentingan umum; (2) kepastian hukum; (3) kesamaan hak; (4) keseimbangan hak dan kewajiban; (5) keprofesionalan; (6) partisipatif; (7) persamaan perlakuan atau tidak diskriminatif; (8) keterbukaan; (9) akuntabilitas; (10) fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan; (11) ketepatan waktu; dan (12) kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan. Keduabelas asas ini haruslah diperhatikan dalam proses pemberian pelayanan publik sehingga tercipta pelayanan publik yang berkualitas. Dalam pelayanan publik yang berkualitas, unsur kepedulian terhadap pengguna jasa layanan menjadi fokus utama bagi setiap penyelenggara pelayanan publik. Menurut Kotler (2003), pengguna jasa layanan (customers) adalah value maximizers, artinya mereka selalu menginginkan produk yang dapat memberikan nilai atau tingkat kepuasan paling tinggi. Pengguna jasa layanan selalu memiliki harapan tinggi akan produk atau jasa yang diterima dari penyelenggara pelayanan publik. Menurut Kotler, kepuasan adalah perasaan seseorang yang muncul atas persepsinya pada produk atau jasa yang mereka dapatkan. Pengguna jasa layanan akan memperoleh kepuasan jika produk atau jasa tersebut berkualitas tinggi atau sesuai dengan yang diharapkan. Adapun prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan untuk meningkatkan kualitas layanan menurut Lovelock (1998), adalah: 1. Tangibles (berwujud), baik bentuk maupun fasilitas, misalnya penampilan fasilitas fisik, peralatan, personil, dan komunikasi; 2. Reliability (kehandalan), yaitu kemampuan memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan tepat; 3. Responsiveness (daya tanggap), memiliki rasa tanggung jawab terhadap kualitas layanan dan responsif atas kebutuhan dan keluhan pengguna jasa layanan; 4. Assurance (jaminan atau kepastian), baik pengetahuan tentang pelayanan, perilaku dan kemampuan pegawai dalam memberikan layanan; 5. Empathy (empati), yaitu rasa perhatian yang penuh secara personal kepada pengguna jasa layanan. Selain Lovelock, Maxwell (2000), juga mengungkapkan beberapa kriteria untuk menciptakan pelayanan yang berkualitas, yaitu: 1. Tepat dan relevan, artinya pelayanan harus mampu memenuhi keinginan, harapan dan kebutuhan individu atau masyarakat; 2. Tersedia dan terjangkau, artinya pelayanan harus dapat dijangkau atau diakses oleh setiap orang atau kelompok yang membutuhkan pelayanan tersebut; 3. Dapat menjamin rasa keadilan, artinya terbuka dalam memberikan perlakuan kepada individu atau sekelompok orang dalam keadaan yang sama tanpa membedakan ras, jenis kelamin, asal usul, dan identitas lainnya; 4. Dapat diterima, artinya layanan memiliki kualitas jika dilihat dari teknik, cara, kualitas, kemudahan, kenyamanan, menyenangkan, dapat diandalkan, tepat waktu, cepat, responsif, dan manusiawi;

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

31

5. Ekonomis dan efisien, artinya dari sudut pandang pengguna jasa layanan dapat dijangkau dari segi tarif yang ditentukan; 6. Efektif, artinya menguntungkan pengguna jasa layanan dan semua lapisan masyarakat yang dilayani. Jika prinsip-prinsip tersebut dijalankan, maka yang diharapkan tercipta oleh penyelenggara pelayanan publik adalah kepuasan pengguna jasa layanan, yaitu sejauh mana layanan yang diberikan dapat memenuhi harapan pengguna jasa layanan, baik dilihat dari segi kuantitas maupun kualitas jasa layanan yang diterimanya. Indikasi kepuasan dapat dilihat dari tidak ada atau minimalnya intensitas komplain yang dilakukan pengguna jasa layanan terhadap penyedia jasa layanan. Bagi aparatur pemerintah pemberi jasa layanan, ukuran kepuasan pengguna jasa menjadi sangat penting untuk menentukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk menyempurnakan prasarana dan sarana pelayanan maupun untuk meningkatkan kapasitas dan kompetensi aparatur pemberi jasa layanan. Oleh karena itu, Osborne dan Plastrik (1997), menyarankan penggunaan sistem dan prosedur pelayanan yang berorientasi kepada pelanggan atau pengguna jasa layanan. Menurut mereka, organisasi publik yang berorientasi kepada pengguna jasa layanan, akan memperoleh manfaat sebagai berikut: 1. Sistem yang berorientasi pelanggan akan memaksa pemberi jasa layanan untuk bertanggung jawab kepada pelanggannya; 2. Mendepolitisasi keputusan terhadap pilihan pemberi jasa; 3. Merancang lebih banyak inovasi; 4. Memberikan kesempatan kepada orang lain untuk memilih di antara pelbagai macam layanan; 5. Tingkat pemborosan lebih rendah, karena pasokan disesuaikan dengan permintaan; 6. Mendorong pelanggan untuk membuat pilihan dan menjadi pelanggan yang berkomitmen; 7. Menciptakan peluang lebih besar bagi terciptanya keadilan. Walaupun apa yang disarankan oleh Lovelock, Maxwell, dan Osborne, namun inti yang terkandaung di dalamnya adalah bahwa untuk menciptakan pelayanan publik yang berkualitas, terdapat sejumlah prinsip yang harus diperhatikan oleh penyedia jasa layanan atau penyelenggara dan pelaksana pelayanan publik. Oleh karena itu, Pemerintah Daerah harus membangun sistem pelayanan publik yang berorientasi kepada kepentingan pengguna jasa layanan, dan bukan kepada kepentingannya sendiri.

PENUTUP Berdasarkan uraian tersebut, sudah saatnya Pemerintah Daerah dan segenap SKPD yang menjadi penyelenggara pelayanan publik, untuk menyiapkan segala sesuatunya dalam rangka pelaksanaan kewajiban mereka dalam posisi sebagai penyelenggara pelayanan publik. Demikian pula dengan para aparatur yang bertugas sebagai pelaksana pelayanan publik harus memiliki komitmen dan semangat untuk menyesuaikan diri dengan era baru Undang-undang Pelayanan Publik, agar tidak terjadi banyak complain maupun tuntutan sebagai akibat ketidakmampuan mereka dalam menerapan asas-asas dan standar pelayanan publik.

32

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

Reformasi manajemen pelayanan publik sudah selayaknya menjadi suatu keharusan bagi Pemerintah Daerah, dengan memeta-ulang segenap komponen penentu pelayanan publik yang berkualitas, dan berupaya maksimal untuk menerapkannya dalam proses pemberian layanan, sehingga kinerja institusi pemerintah sebagai Penyelenggara Pelayanan Publik dapat terus ditingkatkan secara berkesinambungan.

DAFTAR PUSTAKA Brooke, Russel Price, 1988. “Discriminant Validation of Measures of Job Satisfaction: Realtionship to Motivation and Satisfaction”. Dalam Journal of Applied Psycology. Davis, Keith dan William Frederick, 1984. Bussiness and Society. Fifth Edition. Japan: McGrawHill. Kotler, Philip, 2003. Marketing Management: Analysis, Planning, Implementation and Control. Englewood Cliffs N.J.: Prentice-Hall International Inc. Lovelock, Ch., 1988. Product Plus: How Product Plus Service Competitive Advantage. New York: McGraw-Hill Book Co. Moenir, A.S, 1995. Pendekatan Manusia dan Organisasi Terhadap Pembinaan Kepegawaian. Jakarta: Gunung Agung. Osborne, David, dan Petter Plastrik, 1997. Banashing Bureaucracy the Five Strategies for Reinventing Government. California: Addson-Wesley Publishing Co. Inc. Parasuraman, A., V.A. Zeithaml, and L.L. Berry, 1985. “A Conceptual Model of Service Quality and Ist implications for Future Research”. Dalam Journal of Marketing, Vol. 4, 1985, p.48. Tjokrowinoto, Moeljarto, 2001. Birokrasi dalam Polemik. Jakarta: Pustaka Pelajar. Vogel, Ezra F., 1981. Japan as Number One: Lesson for American Bussines Leader. Tokyo: University Press.

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

33

PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK YANG BERKUALITAS SEBAGAI UPAYA MEMBERIKAN PELAYANAN PRIMA KEPADA MASYARAKAT

Abdul Yuli Andi Gani

Abstract: Societal demand in the decentralization era toward qualified public service has grown rapidly. Government credibility is highly determined by its ability to cope with various problems of public service. Thus, a capable government would gain more and more support from the people to provide satisfying public service. The quality of service should become all parties’ concern within the government either in the implementation or leadership level in accordance with its role. Regional government needs an integrated management within its administration particularly in licensing service. The service would highly depend on 3 (three) aspects, those are the implementation pattern, human resources support, and institution /organization. Therefore, to improve the service, order, mechanism, and implementation procedures for taskforce is needed. Keywords: Quality Public Service, Implementation Pattern, Human Resources Support, Institution / Organization.

PENDAHULUAN Latar Belakang Kajian dan praktek administrasi publik di berbagai negara terus berkembang. Berbagai perubahan terjadi seiring dengan berkembangnya kompleksitas persoalan yang dihadapi oleh administrator publik. Kompleksitas ini ditanggapi oleh para teoritisi dengan terus mengembangkan Ilmu Administrasi Publik. Hal ini disebabkan karena pemilik kepentingan publik yang sebenarnya adalah masyarakat, maka administrator publik seharusnya memusatkan perhatiannya pada tanggung jawab melayani dan memberdayakan warga negara melalui pengelolaan organisasi publik dan implementasi kebijakan publik. Perubahan orientasi tentang posisi warga negara, nilai yang dikedepankan, dan peran pemerintah ini memunculkan perspektif baru administrasi publik yang disebut sebagai new public service. Perspektif new public service menghendaki peran administrator publik untuk melibatkan masyarakat dalam pemerintahan dan bertugas untuk melayani masyarakat. Dalam menjalankan tugas tersebut, administrator publik menyadari adanya beberapa masalah yang kompleks seperti tanggung jawab, etika, dan akuntabilitas dalam suatu sistem demokrasi. Administrator yang bertanggung jawab harus melibatkan masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan program guna mencapai tujuan-tujuan masyarakat. Hal ini harus dilakukan tidak saja karena untuk menciptakan pemerintahan yang lebih baik tetapi juga sesuai dengan nilai-nilai demokrasi.

34

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

Dengan demikian, pekerjaan administrator publik tidak lagi mengarahkan atau memanipulasi insentif tetapi pelayanan kepada masyarakat. Perwujudan paradigma diatas akhirnya akan sangat bergantung pada adanya komitmen dan keinginan yang kuat dari para aparat pemerintah sehingga dapat melaksanakan pelayanan publik dengan benar dan sungguh-sungguh. Untuk menyelenggarakan pelayanan publik berdasarkan paradigma tersebut dan yang sesuai dengan kebutuhan serta tuntutan masyarakat di era globalisasi ini, maka pemerintah memberikan keleluasaan pada pemerintah daerah untuk mengembangkan, memperbaiki dan mengelola sumberdaya yang dimilikinya, yang telah ditetapkan dan diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Tujuan pemberian otonomi kepada daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, adalah: Pertama, mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah. Kedua, bahwa efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antar susunan pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan global dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penampilan birokrasi yang baik mensyaratkan otonomisasi, dan sebaliknya otonomisasi akan meningkatkan efektifitas dan daya tanggap administrasi terhadap kebutuhan lokal. Secara teoritis desentralisasi dan otonomi daerah dapat mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat, antara lain melalui pemotongan jalur birokrasi pelayanan, sehingga masyarakat dapat lebih mudah mengakses pelayanan pemerintah, terutama pelayanan pemerintah daerah. Mayoritas dari warga negara hanya peduli pada pelayanan administrasi yang lebih baik, lebih cepat, lebih sederhana prosedurnya, lebih terbuka, dan dengan biaya yang murah. Desentralisasi diyakini oleh banyak orang sebagai sistem pemerintahan yang lebih baik dari pada sentralisasi, terutama dalam pelayanan publik dilihat dari segi manajemen pemerintah desentralisasi dapat meningkatkan efektifitas , efisiensi dan akuntabilitas publik. Sedangkan dilihat dari segi percepatan pembangunan, desentralisasi dapat meningkatkan persaingan (perlombaan) antar daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya, dan ini mendorong pemerintah local untuk melakukan inovasi guna meningkatkan kualitas pelayanan publik kepada warganya. Perbaikan pelayanan tersebut akan makin baik kalau didukung oleh sistem pemerintahan yang demokratis, terbuka, akuntabel dan memberi ruang partisipasi yang luas bagi masyarakat. Dengan sistem seperti itu maka tujuan akhir dari desentralisasi dan otonomi daerah berupa peningkatan kesejahteraan serta kemandirian masyarakat akan dapat tercapai. Sehingga kualitas layanan aparatur pemerintah kepada masyarakat menjadi salah satu indikator keberhasilan otonomi daerah.

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

35

Dan untuk memberikan kepastian hukum dalam hubungan antara masyarakat dan penyelenggara dalam pelayanan publik, maka pemerintah menetapkan Undang-undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang bertujuan: 1. Terwujudnya batasan dan hubungan yang jelas tentang hak, tanggung jawab, kewajiban, dan kewenangan seluruh pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik; 2. Terwujudnya sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang layak sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik; 3. Terpenuhinya penyelenggaraan pelayanan publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan 4. Terwujudnya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik Komitmen untuk memberikan pelayanan yang berkualitas kepada para masyarakat sesuai dengan Undang-undang No. 25 Tahun 2009 serta terselenggaranya otonomi daerah sesuai dengan tujuan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 disusun pada perencanaan strategis. Rencana strategis sangat terkait dalam upayanya utuk memaksimalkan semua potensi dan sumberdaya yang dimilikinya, yaitu dengan mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang mungkin terjadi di masa depan. Kondisi lingkungan global yang penuh persaingan menuntut organisasi untuk lebih dinamis dengan perubahan lingkungannya. Sehingga setiap pegawai harus memandang, memelihara dan meningkatkan kualitas pelayanan. Perencanaan strategis adalah suatu cara untuk membantu organisasi dan komunitas masyarakat dalam mengatasi lingkungan mereka yang telah berubah serta mampu berjalan seiring dengan ketidakpastian keadaan. Gejolak yang makin meningkat dan saling bertautan ini memerlukan tanggapan dari organisasi dan komunitas publik. Pertama, organisasi harus berpikir strategis yang tidak pernah dilakukan sebelumnya. Kedua, organisasi harus bisa menerjemahkan inputnya untuk strategi yang efektif guna menanggulangi lingkungan yang senantiasa berubah. Ketiga, organisasi harus mengembangkan alasan yang diperlukan untuk meletakkan landasan bagi pemakaian dan pelaksanaan strateginya. Perencanaan strategis dapat membantu organisasi dan komunitas untuk merumuskan dan memecahkan masalah terpenting yang mereka hadapi. Selain itu, perencanaan strategis dapat pula membantu organisasi dan komunitas membangun kekuatan dan mengambil keuntungan dari peluang penting, sembari organisasi dan komunitas mengatasi atau meminimalkan kelemahan dan ancaman serius, sehingga dapat membantu organisasi dan komunitas menjadi lebih efektif dalam dunia yang penuh persaingan. Bryson (2007:3) menyebutkan bahwa para pemimpin pemerintahan, lembaga publik dari semua jenis, organisasi nirlaba, dan komunitas menghadapi banyak tantangan sulit dalam tahun-tahun mendatang. Perubahan-perubahan tersebut misalnya perubahan demografis, perubahan nilai, privatisasi pelayanan publik, perubahan ekonomi global dan sebagainya. Jadi baik organisasi besar maupun kecil, tetap harus menyadari adanya pergeseran yang sangat penting di dalam fokus dan kegiatan organisasi di era globalisasi. Artinya, untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian, hal ini disebabkan tantangan-

36

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

tantangan yang semakin sulit di tahun-tahun yang akan datang tidak bisa dipandang remeh. Oleh karena itu strategi diperlukan untuk menghadapi perubahan-perubahan tersebut. Dalam kondisi seperti itu maka setiap organisasi publik atau privat, maupun masyarakat sendiri bila ingin tetap survive dan bertahan hidup harus mampu merespon perubahan itu dengan langkah-langkah yang tepat, dengan berpikir dan bertindak makin strategis, mungkin dengan menigkatkan kualitas kegiatannya atau bahkan bila perlu melakukan perubahan fokus atau kegiatannya. Kualitas pelayanan harus menjadi kepedulian seluruh pihak yang terlibat di Pemerintahan baik yang berada ditingkat pelaksana maupun pimpinan sesuai dengan peranannya. Mengingat Pemerintah Daerah merupakan pelaksana kegiatan pelayanan publik kepada masyarakat, sehingga memerlukan penanganan secara terpadu dalam bidang administrasi khususnya pelayanan perijinan.Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah antara lain ditegaskan bahwa tujuan pemberian otonomi adalah berupaya memberikan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang semakin baik kepada masyarakat, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan. Maka Pemerintah Daerah membentuk Badan Pelayanan Terpadu dengan Peraturan Daerah masing-masing. Badan Pelayanan Terpadu kemudian dilengkapi dengan Badan Perijinan Terpadu melalui Peraturan Daerah masingmasing. Sehingga semua proses perijinan dilaksanakan di daerah mulai dari penerimaan berkas, pemrosesan dokumen, penandatanganan ijin sampai dengan penyerahan dokumen ijin. Badan Perijianan Terpadu telah menerapkan sistem pelayanan satu pintu (one stop service/OSS) sejak tahun 2002, yang dimaksudkan untuk mempermudah masyarakat dalam mengurus perijinan yaitu dengan memberikan perijinan secara terpadu pada satu tempat/lokasi sesuai dengan kewenangan masing-masing instansi. Hal ini mendorong upaya mengefektifkan sistem dan tata laksana pelayanan sehingga pelayanan perijinan dapat diselenggarakan secara berhasilguna dan berdayaguna serta untuk mendorong laju perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. Sebagai salah satu contoh bahwa dengan OSS pelayanan perijinan yang efektif dan efisien dibandingkan dengan pelayanan sebelum OSS misalnya pada perijinan IMB (Ijin Mendirikan Bangunan). Jika dibandingkan dengan pelayanan sebelum OSS perijinan IMB baru akan selesai hingga waktu 1 bulan dari awal permohonan diajukan, sedangkan dengan menggunakan sistem OSS Perijinan IMB akan selesai dalam waktu 10 hari. Dilihat dari prosedur pelayanan OSS yang diawali dengan pemohon yang mengajukan berkas permohonan perijinan di loket pelayanan sesuai dengan bidang perijinan (IMB). Berkas permohonan perijinan tersebut disampaikan kepada masing-masing Instansi/Unit Kerja Teknis dan diproses dengan melalui tahap: pemeriksaan berkas, ceking lokasi, evaluasi, penetapan biaya, dan pengesahan surat perijinan oleh pejabat yang berwenang. Kemudian berkas yang telah disahkan diserahkan ke loket pengambilan yang selanjutnya dapat diambil oleh pemohon ijin setelah membayar bisya retribusi sebesar yang telah ditetapkan. Untuk penetapan biaya IMB telah ditentukan dalam Peraturan Daerah tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan. Saat ini di dalam setiap perijinan selalu memberikan perincian biaya yang jelas dan transparan. Selain itu, pemohon dapat melakukan tindakan seperti pengecekan, pemeriksaan, pengukuran dan complain kepada petugas jika biaya maupun pelayanannya tidak sesuai dengan peraturan yang ada.

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

37

Sebagai organisasi publik dalam pelayanan perijinan BPT harus mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat secara lebih efektif dan efisien jika dibandingkan dengan pelayanan perijinan yang dilakukan tidak satu pintu atau ketika ditangani oleh masing-masing instansi secara langsung. Efektif dan efisien ini baik dalam prosedur perijinan, waktu penyelesaian maupun biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat. Berkembangnya arus informasi dan komunikasi yang saat ini hampir tidak terbatas oleh jarak dan waktu serta didukung pula dengan tingkat pendidikan dan ekonomi masyarakat yang semakin tinggi membuat masyarakat semakin menuntut agar pelayanan yang diberikan bisa lebih baik atau paling tidak seimbang dengan biaya atau kontribusi yang telah diberikan masyarakat. Dalam menghadapi berbagai tuntutan masyarakat atas pelayanan publik, bagi suatu organisasi diperlukan penerapan strategi yang sesuai dengan keadaan dan kendala yang dihadapi agar mampu meningkatkan kualitas pelayanannya. Begitu pula dengan Pemerintah Daerah memerlukan suatu upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan agar lebih baik dari yang selama ini diberikan yaitu dengan memberikan pelayanan sesuai dengan tuntutan dan harapan masyarakat. Tanpa adanya penerapan strategi yang efisien dan efektif dalam upayanya meningkatkan kualitas pelayanan publik, maka pelayanan perijinan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah kepada masyarakat akan statis, tidak berkembang dalam arti tidak mampu menyesuaikan dengan kondisi saat ini. Pelayanan kepada masyarakat akan selalu terpaku pada kebiasaan yang terjadi sehari-hari tanpa memperhatikan perubahan-perubahan yang dihadapi oleh Masyarakat itu sendiri.Sehingga Pemerintah Daerah perlu melakukan upaya meningkatkan kualitas pelayanan publik kepada masyarakat agar layanan prima dapat tercapai.

Permasalahan Pelayanan yang berkualitas sangat tergantung pada 3 aspek, yaitu bagaimana pola penyelenggaraannya, dukungan sumber daya manusia, dan kelembagaan/ institusi/ organisasi. 1. Pola Penyelengaraan Dilihat dari sisi pola penyelenggaraannya, pelayanan publik di Indonesia masih memiliki beberapa kelemahan, antara lain: a. Kurang responsif. Kondisi ini terjadi pada hampir semua tingkatan unsur pelayanan, mulai pada tingkatan petugas pelayanan (front line staff) sampai dengan tingkatan penanggung jawab instansi. Respon terhadap berbagai keluhan, aspirasi maupun harapan masyarakat seringkali lambat atau bahkan diabaikan sama sekali. b. Kurang informatif. Berbagai informasi yang seharusnya disampaikan kepada masyarakat, lambat penyampaiannya atau bahkan tidak sampai sama sekali kepada masyarakat. c. Kurang aksesibel. Berbagai unit pelaksana pelayanan terletak jauh dari jangkauan masyarakat, sehingga menyulitkan bagi mereka yang memerlukan pelayanan. d. Kurang koordinasi. Berbagai unit pelayanan yang terkait satu dengan lainnya kurang berkoordinasi. Akibatnya, sering terjadi tumpang tindih ataupun

38

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

pertentangan kebijakan antara satu instansi pelayanan dengan instansi pelayanan lain yang terkait. e. Terlalu birokratis. Pelayanan, khususnya pelayanan perijinan pada umumnya dilakukan dengan melalui proses yang terdiri dari beberapa meja yang harus dilalui, sehingga menyebabkan penyelesaian pelayanan yang terlalu lama. Dalam hal penyelesaian masalah dalam proses pelayanan, staf pelayanan tidak mempunyai kewenangan menyelesaikan masalah, dan di lain pihak masyarakat sulit bertemu dengan penanggung jawab pelayanan. Akibatnya, berbagai masalah pelayanan memerlukan waktu yang lama untuk diselesaikan. Bukan rahasia lagi bahwa panjangnya meja birokrasi dalam pengurusan perijinan/untuk mendapatkan pelayanan, dimanfaatkan oleh oknum aparat untuk mengambil Pungutan Liar (Pungli), sehingga mengakibatkan tingginya harga pelayanan, menjamurnya korupsi di tubuh birokrasi dan ketidakpuasan masyarakat penerima pelayanan. f. Kurang mau mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat. Pada umumnya aparat pelayanan kurang peduli terhadap keluhan/saran/ aspirasi dari masyarakat. Akibatnya, pelayanan diberikan apa adanya, tanpa ada perbaikan dari waktu ke waktu. g. Inefisien. Berbagai persyaratan yang diperlukan khususnya dalam pelayanan perijinan, seringkali tidak relevan dengan pelayanan yang diberikan. 2. SDM Dilihat dari sisi sumberdaya manusianya, kelemahan utama pelayanan publik Pemda adalah tentang kurangnya profesionalisme, kompetensi, empati, dan etika. Dan salah satu unsur utama yang sangat perlu dipertimbangkan untuk perbaikan/peningkatan mutu pelayanan publik adalah masalah sistem remunerasi (penggajian) yang sesuai bagi birokrat, sehingga Pungli dan korupsi di tubuh birokrasi dapat dikurangi atau dibersihkan. 3. Kelembagaan Kelemahan utama kelembagaan birokrasi Pemda terletak pada desain organisasi yang tidak dirancang khusus dalam rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat yang efisien dan optimal; tetapi justru hirarkis sehingga membuat pelayanan menjadi berbelitbelit (birokratis) dan tidak terkoordinasi dengan baik. Kecendrungan untuk melaksanakan dua fungsi sekaligus, yaitu fungsi pengaturan dan fungsi penyelenggaraan, masih sangat dominan dilakukan oleh pemerintah, sehingga pelayanan publik menjadi tidak efisien. Sebaiknya, kedua fungsi tersebut dibagi secara seimbang antara pemerintah dan masyarakat, yaitu pemerintah sebagai pemegang fungsi pengaturan, sedangkan dalam halhal tertentu yang memungkinkan, masyarakat dilibatkan dalam fungsi penyelenggaraan, misalnya perencanaan dan pembangunan. Oleh karena itu untuk peningkatanan pelayanan dan pengaduan masyarakat terhadap layanan birokrasi local. Serta upaya realisasi quality service performance maka perlu disusun tata cara, mekanisme dan prosedur pelakasanaan bagi unit kerja.

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

39

Pemecahan Masalah Tuntutan masyarakat pada era desentralisasi terhadap pelayanan publik yang berkualitas telah semakin menguat. Oleh karena itu, kredibilitas pemerintah sangat ditentukan oleh kemampuannya mengatasi berbagai permasalahan pelayanan publik seperti telah disebutkan di atas. Sehingga pemerintah yang mampu menyediakan pelayanan publik yang memuaskan masyarakat akan terus mendapatkan dukungan dari masyarakat. Penyelesaian Secara Mikro Masalah-masalah pelayanan publik secara mikro dapat diatasi dengan: a. Penetapan standar pelayanan Standar pelayanan memiliki arti yang sangat penting, karena merupakan suatu komitmen penyelenggara pelayanan untuk menyediakan pelayanan dengan suatu kualitas tertentu, sesuai dengan harapan-harapan masyarakat dan kemampuan penyelenggara pelayanan. Penetapan standar pelayanan yang dilakukan melalui proses identifikasi jenis pelayanan, identifikasi penerima layanan, identifikasi harapan penerima layanan, perumusan visi dan misi layanan, analisis proses dan prosedur, sarana dan prasarana, waktu dan biaya pelayanan. Proses ini tidak hanya akan memberikan informasi mengenai standar pelayanan yang harus ditetapkan, akan tetapi juga informasi mengenai kelembagaan yang mampu mendukung terselenggaranya proses manajemen yang menghasilkan pelayanan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Informasi lain yang juga dihasilkan adalah informasi mengenai kuantitas dan kompetensi-kompetensi sumberdaya manusia yang dibutuhkan serta distribusinya beban tugas pelayanan yang akan ditanganinya. Sebagai salah satu standar pelayanan mutu untuk Pemda adalah IWA 2:2005 (International Workshop Agreement 4) yang mengadopsi sistem manajemen mutu ISO9001:2005 untuk dapat diterapkan secara spesifik di pelayanan publik Pemda. b. Pengembangan Standard Operating Procedures (SOP) Untuk memastikan bahwa proses pelayanan dapat berjalan secara konsisten diperlukan adanya Standard Operating Procedures (SOP). Dengan adanya SOP, maka proses pengolahan yang dilakukan secara internal dalam unit pelayanan dapat berjalan sesuai dengan acuan yang jelas, sehingga dapat berjalan secara konsisten. Di samping itu SOP juga bermanfaat untuk: - Memastikan bahwa proses dapat berjalan uninterrupted. Jika terjadi hal-hal tertentu, misalkan petugas yang diberi tugas menangani satu proses tertentu berhalangan hadir, maka petugas lain dapat menggantikannya. Oleh karena itu, proses pelayanan dapat terus berjalan; - Memastikan bahwa pelayanan perijinan dapat berjalan sesuai dengan peraturan yang berlaku; - Memberikan informasi yang akurat ketika dilakukan penelusuran terhadap kesalahan prosedur jika terjadi penyimpangan dalam pelayanan;

40

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

- Memberikan informasi yang akurat ketika akan dilakukan perubahan-perubahan tertentu dalam prosedur pelayanan; - Memberikan informasi yang akurat dalam rangka pengendalian pelayanan; dan - Memberikan informasi yang jelas mengenai tugas dan kewenangan yang akan diserahkan kepada petugas tertentu yang akan menangani satu proses pelayanan tertentu. Atau dengan kata lain, bahwa semua petugas yang terlibat dalam proses pelayanan memiliki uraian tugas dan tanggung jawab yang jelas. c. Pengembangan survei tentang kepuasan penerima layanan Untuk menjaga kepuasan masyarakat, maka perlu dikembangkan suatu mekanisme penilaian kepuasan masyarakat atas pelayanan yang telah mereka terima dari Pemda. Dalam konsep manajemen pelayanan, kepuasan penerima layanan dapat dicapai apabila produk pelayanan yang diberikan oleh penyedia pelayanan memenuhi kualitas yang diharapkan masyarakat. Oleh karena itu, survei kepuasan penerima layanan memiliki arti penting dalam upaya peningkatan pelayanan publik. d. Pengembangan sistem pengelolaan pengaduan Pengaduan masyarakat merupakan satu sumber informasi yang sangat penting bagi upaya-upaya pihak penyelenggara pelayanan untuk memperbaiki kesalahan yang mungkin terjadi, sekaligus secara konsisten menjaga dan meningkatkan pelayanan yang dihasilkan agar selalu sesuai standar yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, perlu didesain suatu sistem pengelolaan pengaduan yang secara efektif dan efisien mengolah berbagai pengaduan masyarakat menjadi bahan masukan bagi perbaikan kualitas pelayanan di waktu yang akan datang. Penyelenggaraan Pelayanan Publik yang berkualitas di maksudkan agar tercipta akses untuk kemudahan serta efisiensi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

PENUTUP Kesimpulan 1. Komitmen untuk memberikan pelayanan yang berkualitas kepada para masyarakat sesuai dengan Undang-undang No. 25 Tahun 2009 serta terselenggaranya otonomi daerah sesuai dengan tujuan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 disusun pada perencanaan strategis, Rencana strategis sangat terkait dengan upayanya utuk memaksimalkan semua potensi dan sumberdaya yang dimilikinya, yaitu dengan mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang mungkin terjadi di masa depan. 2. Kualitas pelayanan harus menjadi kepedulian seluruh pihak yang terlibat di Pemerintahan baik yang berada ditingkat pelaksana maupun pimpinan sesuai dengan peranannya. 3. Pengembangan kelembagaan daerah, mulai dari rumusan pengembangan tata laksana pemerintahan yang mendukung percepatan pencapaian visi dan misi pembangunan 2008-2013, penyusunan berbagai peraturan daerah untuk mendukung pengembangan kelembagaan tersebut, implementasinya yang disertai dengan monitoring dan evaluasi, hingga inovasi dalam berbagai pelayanan publik oleh pemerintah. 4. Untuk pengembangan Pelayanan Prima melalui Teknologi Informasi di Pemerintahan, maka terdapat tiga hal pokok yang akan dikembangkan, antara lain: Sistem Layanan

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

41

Pengaduan Masyarakat On-line, Pengembangan Website sebagai media informasi, dan komunikasi serta Pengembangan Sistem Informasi Pelayanan Terpadu. 5. Dengan adanya orientasi baru dalam manajemen publik tersebut, maka pemerintah daerah tidak saja dituntut akuntabilitasnya ke dalam tetapi justru ke luar (masyarakat). Melalui akuntabilitas publik, pemerintah akan dipantau dan dievaluasi kinerjanya oleh masyarakat. Pemantauan dan evaluasi terhadap kinerja pemerintah daerah akan lebih mudah jika pemerintah daerah sudah membuat indikator dan target-target yang disusun dalam Standar Pelayanan Minimal (SPM). SPM yang telah tersusun akan menjadi pedoman bagi kedua belah pihak, pemerintah daerah maupun masyarakat. Bagi pemerintah daerah SPM dijadikan pedoman dalam melakukan pelayanan publik, sedangkan bagi masyarakat SPM merupakan pedoman untuk memantau dan mengukur kinerja pemerintah daerah.

Rekomendasi 1. Berdasarkan Ombudsman Republik Indonesia, sesuai pasal 6 UU No.37/2008 berfungsi mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah, termasuk yang diselenggarakan oleh BUMN, BUMD, badan hukum milik negara atau badan swasta yang menyelenggarakan pelayanan publik. 2. UU No.37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI adalah wajib dilaksanakan dan sifatnya mengikat bagi pejabat atau lembaga penerima rekomendasi, penyelenggara negara dan pemerintahan yang menjadi objek pengawasan Ombudsman RI meliputi berbagai lembaga negara dan pemerintahan di tingkat pusat dan daerah, (termasuk MA, pengadilan tinggi, pengadilan negeri, pengadilan agama, PTUN, pengadilan militer), lembaga kepolisian, kejaksaan, departemen dan kementerian, lembaga pemerintah non departemen (LPND), BPN, pemerintah daerah, perguruan tinggi negeri, dan sebagainya sedangkan badan swasta atau perseorangan yang menjadi objek pengawasan Ombudsman RI adalah badan swasta atau perseorangan yang mendapat/melaksanakan tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN/APBD. Penyimpangan, pelanggaran, pengabaian atau ketidakpatutan dalam proses pemberian pelayanan publik disebut maladministrasi. 3. Dalam pasal 1 angka 3 disebutkan bahwa maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut.”Termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan,” 4. Pengawasan Ombudsman dilakukan untuk mencegah dan memberantas perilaku koruptif yang banyak terjadi dalam proses pemberian pelayanan publik. “Perilaku koruptif dimaksud dapat berupa penundaan pelayanan secara berlarut (undue delay), penyalahgunaan wewenang (abuse of power), tidak kompeten, tidak memberi pelayanan atau diskriminatif,” 5. Melakukan pemekaran wilayah kecamatan yang telah ditentukan menjadi kecamatan baru dalam rangka peningkatan pelayanan publik dan pemberdayaan masyarakat.

42

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

6. Bentuk akuntabilitas dalam aspek pelayanan publik harus memuat beberapa hal seperti: 1) Adanya rumusan standar kualitas yang jelas dan disosialisasikan kepada masyarakat. 2) Adanya sistem penanganan keluhan yang responsif. 3) Adanya ganti rugi yang diberikan kepada klien atau pengguna jasa apabila mereka tidak puas dengan pelayanan yang diberikan oleh pemerintah daerah. 4) Adanya lembaga banding apabila terjadi konflik antara klien dengan aparat pelaksana pelayanan publik.

DAFTAR PUSTAKA Abdul Wahab, Solichien, 2008, Analisa Kebijakan Publik, UMM Press, Malang. Depkofindo, Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan e-goverment, 2003. ---------------, 2006, Panduan Pengelolaan Situs Web Pemerintah Daerah. Depdagri, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor Tahun 2008 tentang Pelaksanaan egovernment di Instansi Pemerintah Pusat dan Daerah. Eddy Satriya, 2003, Electronic Government, Bulettin Pemerintahan, (30) Maret 2003. Eko Bambang, 2009, Strategi Pelayanan Prima dalam Layanan Publik, Banyumedia, Malang. Indrajit, Richardus, 2002, Electronic Government, Penerbit Andi Yogjakarta. Kushandajani. Standar Pelayanan Minimal (SPM) dan Peningkatan Pelayanan Publik di Era Otonomi Daerah Kominfo Newsroom. 2009. Ombusman Republik Indonesia. Jakarta. Laguboti, Toba, 2005, Peluang Indonesia untuk Bangkit Melalui Implementasi E-government, Depkofind0. LGSP/USAID Amerika. 2008. Peningkatan Kinerja Pelayanan Publik Dengan Skema Tindakan Peningkatan Pelayanan (STPP). Ratminto dan Atik Septi Winarsih, 2007, Manajemen Pelayanan Publik, Pustaka Pelajar Yogjakarta. Sosiawan, Edwi Srif, 2004, Implementasi E-government pada Pemerintah Daerah di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogjakarta. Suparjo, 2007, Arsitektur Website Pemerintah yang Ideal, Radjawali, Jakarta. United Nations, 2005, Global e-government Readiness Repport. Widodo, Joko, 2007, Membangun Birokrasi Berbasis Kinerja, Banyumedia, Malang. www.lgsp.or.id. Tantangan dalam Penyelenggaraan Evaluasi Kinerja Berbasis Hasil (OutcomeBbased) untuk Pemerintah Daerah di Indonesia

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

43

KOMPARASI KONSEP DEMOKRASI DENGAN KONSEP SYURO DALAM ISLAM: PENGAMBILAN KEPUTUSAN

Trisnawati

Abstract: Democracy is governance system mechanism or form an state as effort realize democracy (power of citizen) of state to be run by government of state. Principle of Syura (musyawarah) - asking for opinion and convert to convert idea is symbol progress of taught by civilization is Islam. May even exist a letter of Al so called Qur'An of letter of Syura. Democracy and of Syuro in course of decision making have different characteristic especially in majority voice where in concept of syuro that is not have the character of absolute though remain to be especial consideration in deliberation. Principal and democracy concept which in line with islam is people taking part in in controlling, lifting, and degrading government, and also in determining a number of policy pass its proxy.

PENDAHULUAN Dasar Pemikiran Demokrasi merupakan konsep yang dimulai zaman renaissance dengan bangkitnya pemikiran rasional melahirkan sain dan teknologi, muncullah kapitalisme dengan sistem ekonominya yang non agraris yang tidak mau dikekang lagi oleh monarchi dan theokrasi, secara politik mengajukan konsep DEMOKRASI. Disini "rakyat" hakekatnya adalah kelas yang baru muncul, yaitu kaum kapitalis. Dari konsep demokrasi, mau tidak mau akan memunculkan konsep KEBEBASAN yang akan membentur konsep KETERIKATAN dalam folosofi Timur. Menurut beberapa literature yang lain3, kira-kira 500 tahun Sebelum Masehi, sejarah demokrasi dicatat karena ada sekelompok kecil manusia di Yunani dan Romawi yang mulai mengembangkan sistem pemerintahan yang memberikan kesempatan yang cukup besar bagi publik untuk ikut serta dalam merancang keputusan. Perkembangan yang paling penting bagi sejarah demokrasi, dalam berbagai literatur, telah terjadi di Eropa. Tiga di antaranya di sepanjang Pantai Laut Tengah (Yunani dan Romawi), yang lainnya di Eropa Utara. Sudah lazim diceritakan, istilah demokrasi berasal dari Yunani Kuno, democratia. Plato yang memiliki asli Aristocles (427-347 SM) sering disebut sebagai orang pertama yang memperkenalkan istilah democratia itu. Demos berarti rakyat, kratos berarti pemerintahan. Demokrasi menurut Plato kala itu adalah adanya sistem pemerintahan yang dikelola oleh para filosof. Hanya para filosoflah yang mampu melahirkan gagasan dan 3

44

Arif, Saiful et.al, Demokrasi, Sejarah, Praktik dan Dinamika Pemikiran, 2006, Program Sekolah Demokrasi dan Averroes Press, Malang.

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

mengetahui bagaimana memilih antara yang baik dan yang buruk untuk masyarakat. Belakangan diketahui sebetulnya yang diinginkan oleh Plato adalah sebuah aristokrasi. Selain Plato dan Aristoteles, salah satu nama lain yang dianggap memberikan kontribusi adalah Chleisthenes. Dialah tokoh yang telah mengadakan berbagai pembaruan Athena dalam sebuah sistem pemerintahan kota (Hornblower dalam Dunn, 1992). Pada 508 SM, Chleisthenes membagi peran warga Athenda ke dalam 10 kelompok, di mana masing-masing terdiri dari beberapa demes yang mengirimkan wakilnya ke Majelis yang terdiri dari 500 orang wakil. Selain Chleisthenes, juga dikenal nama lain seperti Solon (638-558 SM yang dikenal sebagai tokoh pembuat hukum, Pericles (490-429 SM yang dikenal sebagai jenderal yang negarawan, Demosthenes (385-322 SM) yang dikenal sebagai orator (Ghofur, 2002). Sering dikisahkan bahwa di Yunani dan Romawi pada 500 SM itulah pertama kali dilahirkan suatu sistem pemerintahan yang memberi partisipasi rakyat melalui sejumlah besar warga negara. Sistem pemerintahan yang demikian merupakan perkembangan dari model sebelumnya yang didominasi oleh sistem kerajaan, kediktatoran, aristokrasi atau oligarki. Tetapi harus dipahami bersama, Yunani Kuno bukanlah sebuah negara dalam pengertian kita yang modern saat ini, yaitu suatu tempat di mana semua orang Yunani hidup dalam sebuah negara dengan satu pemerintahan (Dahl, 2001). Yunani Kuno masa itu adalah sebuah tempat di mana berkumpul ratusan kota yang merdeka, yang masingmasing dikelilingi oleh daerah pedalaman. Negara Yunani saat itu adalah gambaran tentang sebuah negara-kota atau polis. Sebuah negara-kota tentu saja sangat berbeda dengan ciri khas negara-negara modern saat ini yang kita sebut sebagai negara-modern, negara-bangsa atau negara-nasional, seperti Amerika, Prancis, Jepang ataupun Indonesia. Dari sekilas sejarah demokrasi yang dimunculkan oleh Barat menunjukkan adanya sebuah ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintahan yang ada. Sehingga memunculkan ide demokrasi sebagai penyelesaian permasalahan dalam kepemimpinan dan hokum-hukum pemerintahan. Namun sampai detik ini belum ada Negara yang mampu membangun negaranya dengan konsep demokrasi. Amerika sebagai Negara besar pengusung demokrasi belum mampu menunjukkan hasil tentang penerapan demokrasi. Berbeda dengan Islam yang telah memberikan bukti selama 7 abad lamanya dalam pemerintahan ke-Nabi-an dan ke-Khalifah-an yang ditunjukkan dengan terbentuknya masyarakat yang tenang, damai dan sejahtera. Sehingga sampai saat ini tersebar Islam keseluruh penjuru dunia dengan konsep yang sama dalam pembentukan pemerintahan Islam dengan mencontoh Rasulullah dan para Khalifah sebelumnya. Yang menjadi pokok permasalahan dalam isu demokrasi Barat dalam pemikiran dan peradaban Islam adalah: 1. Bagaimana konsep syuro dalam Islam? 2. Bagaimana konsep demokrasi Barat? 3. Bagaimana Perbandingan konsep syuro dan demokrasi Barat?

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

45

KAJIAN PUSTAKA 1. Konsep Syura Pemerintahan yang diterapkan dalam Islam adalah pemerintahan yang berprinsip atas dasar syura (musyawarah), kemaslahatan dan keadilan, ini menjadi kunci pokok dalam kemasyarakatan, dan mengurus (mengelola) negara. Dalam Islam tidak ada cara khusus dalam melaksanakan syuro. Ini merupakan system yang bersifat intern yang bisa berubah sesuai dengan situasi dengan mempertimbangkan waktu dan tempat. Dan merupakan kebebasan dari jama’ah, lembaga dalam ketentuannya dan penerapannya, namun tetap dalam aturan-aturan yang tidak bertentangan dengan syariat (hukum Islam). Syura ini telah diterapkan pada masa Rasulullah, dan para Khulafaur Rasyidin sebagai contoh abadi dari perjalanan sejarah syura. Kekhalifahan Abu Bakar As Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib itu berdiri di atas dasar pemilihan kaum muslimin secara mutlak. Kalaupun Abu Bakar mewasiatkan kekhalifahan sesudahnya kepada Umar, tetapi pengangkatan Umar menjadi khalifah setelah ada baiat dari umat Islam masa itu. Apabila Umar mewasiatkan kepada kaum muslimin untuk memilih seorang khalifah diantara enam orang yang ditunjuk sebelum wafatnya, maka perbuatan itu sekedar nasehat kalau orang Islam mau memilih salah satu diantara mereka, karena nyatanya mereka itu pribadi-pribadi umat yang utama dan paling sesuai. Kalaupun Ali tidak diberi kekuasaan kekhalifahan setelah wafatnya nabi, khususnya setelah kekhalifahan Umar, padahal Ali keluarga terdekat Rasulullah. Maka bukanlah karena kepentingan politik belaka, namun lebih pada hasil syuro yang menjadi dasar pemerintahan dalam Islam. Abu Bakar As Siddiq sesudah di baiat menjadi khalifah pertama di antara khalafaur rasyidin mengatakan, ”wahai manusia sesungguhnya aku telah dipilih menjadi pemimpinmu, tetapi bukanlah orang yang paling baik diantara kalian, bila aku berlaku baik, maka bantulah aku, apabila keliru maka luruskan aku. Orang yang lemah diantara kamu itu kuat disisiku sampai aku berikan hak kepadanya, jika Allah menghendaki. Tak ada suatu kaum yang mau meninggalkan jihad di jalan Allah melainkan Allah akan membalas mereka dengan kehinaan. Dan tidaklah kejahatan itu tersebar disuatu kaummelainkan Allah akan menyebarkan cobaan bagi mereka. Taatilah aku selama aku mentaati Allah dan RasulNya, apabila mendurhakai Allah dan RasulNya, maka janganlah kalian mentaatiku”4. Lain itu, sebagaimana Ali yang enggan untuk tinggal di Istana Putih di kota Kufah, sebab ia lebih suka untuk tinggal bersama masyarakat, sehingga lebih dekat – mengetahui keinginan masyarakat dan untuk bermusyawarah dalam urusan dunia yang tidak bertentangan dengan nash, seperti ilmu perang, bertani dan sebagainya. Rasulullah mengajak para sahabat untuk membawa aspirasi umat ke kota Madinah dalam musyawarah tentang urusan yang tidak terdapat dalam wahyu dan nashnya5. Pada waktu situasi dan kondisi berubah seperti di zaman Abu Bakar, penduduk Mekkah dan Madinah 4

Dr. Mahdi Fahulullah, Titik Temu Agama dan Politik: Analisa Pemikiran Sayyid Qutub, CV. Ramadhani, Solo, 1991, hlm. 124-125. 5 Seperti masalah tawanan orang musyrik Mekah pada perang Badar, Rasulullah bermusyawarah dengan para sahabat dalam strategi perang, strategi benteng pertahanan perang Badar dan Rasulullah menerima usulan sahabat. Diantaranya Al Habab Ibnu Al Munzir dan Salman Al Farisi. ibid.hlm. 125.

46

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

bermusyawarah tentang peperangan Syam, karena masalah itu adalah masalah oerang yang akibat dan pengaruhnya kembali kepada penduduk Mekah dan Madinah. Pemerintahan dalam Islam tidak dimaksudkan seperti yang diduga oleh sebagian pemuka.pemuka agama. Tak ada Iclarius dalam agama Islam6. Setiap muslim yang mengerti,ia mempunyai hak mutlak untuk menduduki pangkat tertinggi dalam negara sampai pun pangkat kekhalifahan7. Nabi sendiri tidak memakai jubah.

a. Pengertian Syura/ Musyawarah Dalam bahasa arab, perkataan Syura berasal dari kata dasar syuwara – yasy’uru – musyawarah atau syura yang artinya tanda, petunjuk, nasehat, pertimbangan. Dengan demikian secara etimologis musyawarah merupakan kata kerja yang dibendakan (masdar) yang mengandung arti ”saling memberi isyarat, petunjuk, atau pertimbangan yang bermakna resiprokal dan mutual”8. Di dalam ajaran Islam perkataan syuro merupakan konsep ketatanegaraan yang berasal dari Al Qur’an. Pentingnya syura dalam Islam bisa disaksikan ketika ajaran ini banyak dimuat dalam ayat Al Qur’an – terdapat empat ayat yang berkaitan dengan akar kata yang sama dengan syuro yaitu, yang pertama berhubungan dengan persoalan keluarga (QS. Al Baqarah 2:233, QS. Maryam 19:29), sedangkan dua ayat berikutnya berhubungan dengan kemasyarakatan dan ketatanegaraan (QS. Al Imran 3:159, dan QS As Syuura 42:38)9. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan melaksanakan sholat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menginfakkan sebagian dari rizqi yang Kami berikan kepada mereka.10 Namun, syura tidak hanya diperuntukkan bagi umat Islam, tetapi juga untuk orang non muslim. Sebagaimana makna yang terkandung dalam QS Ali Imran 3: 159. Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan behati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertakwalah kepada Allah.

6

Tidak ada Iclarius dalam Islam. Kewajiban orang Islam menyuruh kebaikan dan mencegah kemungkaran. Menghubungkan Islam dengan sekularisme. Henri Laoust, Las Schismes daus I’Islam. P.370. Opcid 7 Negara sekuler dan persamaan karena tidak ada sistem kependetaan dalam Islam kekuasaan hukum kembali kepada tiap muslim yang berpengetahuan cukup. Dominique Saurdel, ap.L. Gardet.I’Islam.p.70. Opcid. 8 Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan : Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, lihat dalam Aidul Fitriciada Azhari, Sistem Pengambilan Keputusan Demokrasi Menurut Konstitusi,Muhammadiyah University Press, Surakarta, 2000, hlm. 78. 9 Mahmud Fuad Abdul Baqi’,Mazmu Faruz Li-afadhil Qur-anil Karim, Darul Fikr, Beirut 1987 yang terdapat dalam Aidul Fitriciada Azhari, ibid. 10 Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahannya, PT. Syaamil Cipta Media, Bandung. Penjelasan: Ayat ini turun pada periode dimana belum terbentuk masyarakat Islam yang memiliki kekuasaan politik, atau dengan kata lain sebelum terbentuknya negara Madinah di bawah pimpinan Rasulullah saw. Turunnya ayat yang menguraikan syura pada peride Mekah, menunjukkan bahwa bermusyawarah aalah anjuran Al Qur’an dalam segala waktu dan berbagai persoalan yang belum ditemukan dalam petunjuk Allah.

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

47

Abdullah Yusuf Ali dalam tafsirnya mengatakan bahwa ayat tersebut adalah salah satu tanda bahwa Islam adalah ”rahmat untuk semesta alam” 11, dan dari ayat syura tidak menunjukkan kekhususan hanya pada umat Islam (mukmin). Maka musyawarah ini tidak terbatas pada sebagian orang, tetapi bagi mereka yang berada dalam urusan yang harus diselesaikan dengan syura. Disimpulkan bahwa syura (musyawarah) adalah meminta atau mengeluarkan pendapat yang baik untuk mendapatkan yang terbaik, menemukan yang paling sesuai diantara yang sesuai, sehingga memberikan kemaslahatan bagi umat.

b. Prinsip dan Kaedah Syura Prinsip syura (musyawarah) – meminta pendapat dan tukar menukar ide adalah symbol kemajuan peradaban yang diajarkan Islam. Bahkan ada sebuah surat Al Qur’an yang bernama surat Syura. Selain itu, pentingnya syura dalam agama Islam yang suci ini juga ditegaskan fakta-fakta, yaitu : Allah swt. sebagai Dzat Maha Mengetahui rahasia dan hakikat segala sesuatu ketika hendak menciptakan Nabi Adam sebagai khalifah yang memakmurkan bumi ini meminta pendapat dan komentar para malaikat (QS Al Baqarah 2:30). Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat,”Aku hendak menjadikan khalifah dibumi”, mereka berkata,”apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah disana, sedangkan kami bertasbih memujiMu dan menyucikan namaMu?”. Dia berfirman ”sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. Dalam studi Sirah, tercatat banyak sekali aktifitas Rasulullah yang dilakukan dengan syura – mengumpulkan para sahabat guna bertukar fikiran dan meminta pendapat seputar masalah yang dihadapi oleh Beliau sendiri atau secara umum yang menyangkut kepentingan kaum muslimin sebagaimana pada tahun pertama hijriah ketika jumlah kaum muslimin terus bertambah banyak, maka Beliau bermusyawarah tentang cara memberitahukan masuknya waktu sholat serta mengajak kaum muslimin berkumpul untuk sholat berjama’ah. Beberapa usulan masuk, ada yang mengusulkan menggunakan api, ada yang usul dengan genderang dan ada pula yang usul dengan lonceng. Sayang usulan-usulan itu tidak disepakati oleh forum ketika itu, karena api menyerupai kaum majusi, gederang menyerupai yahudi dan lonceng menyerupai nasrani. Akhirnya musyawarah pada kesempatan itu pun gagal mendapatkan sebuah kesepakatan. Malam harinya, beberapa masyarakat bermimpi, termasuk Umar r.a bertemu dengan seseorang yang mengajarkan lafadz-lafadz adzan. Salah seorang yang bermimpi waktu itu adalah Abdullah bin Zaid bin Abduh. Rabbih Al Anshari yang kemudian menjadi orang pertama yang menceritakan perihal mimpinya pada Rasulullah saw. Berdasarkan teori Al Baqillani dan Al Mawardi, keputusan musyawarah tersebut harus dilakukan melalui pemilihan (ikhtiyar), artinya ajaran Islam menghendaki berlakunya system mayoritas. Ini dikuatkan oleh pandangan ulama kotemporer Yusuf Qardhawi, yang menyatakan bahwa “logika penalaran, syariat dan kenyataan tentu akan

11

48

Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Mizan, Bandung, 1997, hlm.96.

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

menyatakan ‘harus ada yang diunggulkan’” 12. Menurutnya, yang diunggulkan apabila terjadi perbedaan pendapat adalah jumlah yang terbanyak. Pendapat dua orang akan lebih dekat pada kebenaran daripada pendapat satu orang. Qardhawi menyitir sebuah hadits yang mengatakan bahwa ”Sesungguhnya syetan itu bersama satu orang, dan dia lebih jauh dari dua orang” (RH. At Thirmidzy dan Al Hakim) 13. Kemudian Yusuf Qardhawi, dengan mengutip Al-Imam Abu Hamid Al Ghazaly, berpendapat bahwa untuk nash-nash (kaidah ototitatif) yang kuat, jelas, dan tidak menimbulkan perbedaan pendapat, maka yang harus diunggulkan atau dikedepankan adalah tidak terletak pada suara terbanyak, tetapi ada pada pendapat yang benar, sekalipun hanya mendpat satu suara. Sedangkan untuk masalah-masalah yang ijtihadiyah yang tidak ada nashnya atau ada nashnya tetapi banyak mengundang penafsiran atau ada nash lain yang bertentangan atau lebih kuat, maka tidak menutup kemungkinan untuk mengikuti suara terbanyak dengan model pemungutan suara dalam pengambilan keputusannya. Yusuh Qardhawi menyatakan dalam kitabnya ”Adapun sistem voting yang sudah diketahui dan disepakati manusia, termasuk pula orang-orang Muslim, merupakan cara yang paling tepat untuk itu. Tidak ada alam syari’at yang melarang sistem ini”14 Dengan demikian, benang merah yang dapat diambil dari beberapa ulama’ tersebut bahwa syura dalam pengambilan keputusan juga dapat mengikuti suara terbanyak (mayoritas) selama mengandung kebenaran dan kemaslahatan umat dari sebuah keputusan yang diambil. Syura adalah mencari yang baik diantara yang tidak baik. Namun dari hasil syuro dalam Islam, keputusan tetap ada pada seorang pemimpin (imamah) sebagai pengambil keputusan yang telah diamanahi oleh Allah sebagai penerus para nabi, sebagaimana dalam surat An Nisa’ 4:29 Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (Pemegang Kekuasaan) diantara kamu. Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah dalam beberapa kejadian yang harus melibatkan beberapa orang sahabat untuk dimintai pertimbangan, dan kepetusan dari masukan atau pendapat dari para sahabat ada pada Rasulullah. Dan tidak semua sahabat yang diajak untuk syuro, hanya-sahabat yang memiliki kemampuan dan keilmuwan. Konsep pengambilan keputusan dalam Islam ada pada seorang imamah dengan otoritas pemimpin ((imamah). Konsep syura digunakan Rasulullah sebagai

12

Yusuf Al Qardhawi, Fiqih Daulah dalam Perspektif Al Qur’an dan Sunnah, Pustaka Al Kautsar, Jakarta, 1997, hlm. 199. Yusuf Al Qardhawi adalah seorang ulama’ Mesir kontemporer dan guru besar di Universitas Al-Azhar. Pandangannya terkenal dengan Al Wasathiyatul-Islamiyah atau Islam moderat yang memadukan anatara ajaran salaf dengan yang kontemporer, yang tetap dengan yang berubah, dan rasional. Dalam bidang ketatanegraan ia mengenalkan konsepsi daulah madaniyah (pemerintahan sipil) dan daulah syar’iyah dusuriyah (Negara berdasarkan hukum syariah dan konstitusional), oleh Aidul Fitriciada Azhari, op cid, hlm. 80. 13 Menurut Al Bany hadits ini isnadnya dhaif, ibid. 14 Ibid. hlm. 81

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

49

mempersatukan umat atau melibatkan umat untuk peduli terhadap permasalahan yang harus dipecahkan, namun sesungguhnya kepatusan ada pada Rasulullah. Mohammad Asad dalam memaknai ayat potongan ayat wa syawirhum fil amr (‫ )وﺷﺎورھﻢ ﻓﻰ اﻻﻣﺮ‬adalah menunjukkan pemerintahan berdasarkan persetujuan dan perwakilan (goverment by consent and council). Persetujuan artinya pemerintahan menurut ajaran Islam harus dijalankan berdasarkan hasil persetujuan yang dihasilkan oleh musyawarah. Ini merupakan implikasi dari perkataan ”azm” yang mengandung arti ”taking councel with knowledgeable people (ahl ar-ra’y) and thereupon following them (therein)”, (mengambil keputusan bersama orang yang memiliki pengetahuan, kemudian mengikutinya). Dengan demikian, meurut Asad, pemerintah terikat oleh hasil pemusyawaratan yag dilakukan oleh para ahli yang mengetahui bidang tersebut. Ini kemudian mengantarkan konsep perwakilan yang disebut Al Baqillani (meninggal 1013 M), seorang pengikut madzhab Imam Malik, sebagai ahl al-hall wal al-‘aqd dan kemudian dilembagakan dalam tradisi daulah Islamiaya sebagai majlis syura. Selain itu pula, Islam juga mengenal konsep imamah dalam musyawarah yang tidak didasarkan pemilihan (voting), tetapi pada otoritas pemimpin ((imamah).

c. Pengambilan Keputusan dalam Islam Pengambilan keputusan merupakan proses pemilihan diantara alternatif yang ada dan juga segera memikirkan apa implikasi dan dampaknya jika terjadi kesalahan dalam mengambil keputusan, termasuk alternatif pemecahannya15. Mengambil keputusan tidak serta merta tanpa ada pertimbangan. Namun didasarkan pada informasi yang dikumpulkan mengenai permasalahannya, nasihat dari orang yang lebih expert, dan juga sangat diperlukan analisa dan penilaian subyektif dari pengambil keputusan itu sendiri.

Firman Allah SWT: Bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan apapun. (Ali Imran 159) Urusan mereka (orang Islam) dimusyawarahkan sesama mereka. (Asy Syura 38) Rasulullah SAW pun bersabda:

Hajat tercapai bagi mereka yang membuat 'istikharah', dan tidak ada penyesalan bagi mereka yang bermusyawarah, dan tidak susah mereka yang berhemat dengan cermat. (Riwayat At Tabrani) Berdasarkan ayat-ayat Allah dan sabda Rasulullah yang tertulis di atas, Islam menggalakkan umatnya mengadakan syura (musyawarah). Karena berdasarkan pengalaman kita, syura memang besar faedahnya kepada hidup kita dan masyarakat. Sebab itu Allah sendiri yang memerintahkan supaya syura dipraktekkan. Manusia selalu berhadapan dengan: 15

50

Chester I. Barnard dalam “The Function of Executive”

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

1. 2. 3. 4.

Masalah-masalah hidup di rumah, dalam masyarakat dan dalam negara. Keperluan-keperluan ekonomi, pendidikan, pembangunan dan lain-lain lagi. Gangguan musuh. Kebuntuan fikiran.

Maka semuanya itu, kalau disyurakan baru dapat menghasilkan keputusan yang sebaik-baiknya, dibandingkan dengan keputusan-keputusan yang dibuat secara pribadi.Arti syura menurut bahasa ialah berunding atau bertukar fikiran. Manakala dari segi istilah syariat Islam, arti syura atau musyawarah ialah bertukar fikiran atau berbincang antara dua orang atau lebih dalam menghadapi hal-hal yang dibenarkan oleh syariat sesuai dengan adab-adab, cara cara yang syar’i untuk memperoleh hasil yang baik dan benar yang akan menjadi tindakan bersama, seseorang atau satu kelompok. Perkara-perkara yang disyurakan itu ialah masalah kehidupan seperti menyelesaikan krisis, masalah ekonomi, pendidikan, ketentaraan, pertanian dan lain-lain lagi. Setiap anggota diminta mengeluarkan fikiran, kemudian dipertimbangkan bersama. Mana pendapat yang benar atau kuat dan tepat alasannya atau lebih munasabah (memungkinkan) dan lebih mendekati kebenaran, maka itulah keputusan syura yang wajib diterima bersama untuk menjadi tindakan bersama, tindakan seseorang atau tindakan suatu kelompok. Dalam syura, perbincangan mesti dua arah atau lebih. Tidak dikatakan syura kalau satu pihak saja yang berbicara dan memberi pendapat. Syura secara Islam mesti dilakukan dengan bertata-tertib, beradab, berperaturan dan cara-cara yang ditetapkan oleh Islam. Syura yang tidak mengikuti kaedah syar'i tidak dianggap syura Islam walaupun diberi nama syura Islam. Nama tidak penting, yang penting ialah ciri-cirinya. Berikut ini ialah tata tertib atau disiplin dan adab-adab syura menurut Islam: Tujuan dan niat anggota syura ialah mencari dan menegakkan kebenaran karena Allah. Masing-masing mesti mengawal diri dari maksud riya', bermegahan, ujub atau untuk hobi semata-mata. Sebaiknya masing-masing mempunyai rasa takut pada Allah, kalau-kalau terjadi perbincangan yang tidak tepat dan tidak selaras dengan kehendak Allah dan Rasul. Untuk mengelak dari riya', ujub dan bermegahan, caranya ialah masing masing mengharapkan kebenaran itu datangnya dari orang lain, bukan dari dirinya. Dan dia akan merendahkan diri untuk menerima dan mendukung kebenaran yang sudah ditemui itu. Sekiranya kebenaran itu keluar dari mulut kita sendiri, segeralah banyak bersyukur pada Allah, karena memperlihatkan kebenaran itu kepada kita. Bukankah kita dhaif untuk menemukannya kalau bukan dengan petunjuk dari Allah? Dengan ilmu dan keyakinan yang demikian, Islam menyelamatkan majelis syura dari timbulnya rasa sombong, bermegahan, menunjuk kepandaian, merasa diri lebih tinggi, mujadalah (debat tidak menentu), keras kepala, hina-menghina, jatuh-menjatuhkan dan akhlak lain yang keji. Di waktu seorang anggota syura berbicara, anggota- anggota yang lain mesti menghormati pandangannya dan sama-sama mendengarnya. Biarkan dia menghabiskan bicaranya walaupun kita tidak setuju pendapatnya. Memotong bicara kawan atau minta

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

51

dia berhenti sebelum habis berbicara adalah tidak beradab dalam syura. Sikap itu sangat dibenci. Bila seorang anggota syura selesai memberi pandangannya, ucapkan terima kasih. Kalau didapatkan ucapannya benar, beri tahniah dengan sepotong doa: Moga-moga Allah membalas kamu dengan kebaikan. Sekiranya pendapat yang diberi salah, jangan sekali-kali menghinanya. Betulkan dengan mesra dan kasih sayang menggunakan hujah-hujah yang bernas. Sekiranya kita sendiri yang melakukan kesalahan atau mengeluarkan pendapat yang salah, minta ampunlah kepada Tuhan dan merendah dirilah untuk menerima hakikat kesalahan itu. Misalnya terjadi perbedaan pendapat yang serius hingga sukar untuk menyatukan pandangan, maka demi perpaduan, pandangan ketua atau pemimpinlah yang mesti diterima. Dalam syura Islam jangan sekalipun terjadi mujadalah, berburuk sangka, sakit hati, caci maki, berkelahi, lempar kursi, pukul meja, tunjuk pistol, geram, dendam dan sebagainya. Anggota-anggota syura akan sanggup untuk mengalah, bersabar untuk mencari nas (dalil) atau bersikap tawakuf (menerima tidak, menolak pun tidak). Bahkan demi menjaga ukhuwah karena Allah, di akhir majelis, masing-masing akan saling bermaaf-maafan dan berbaik sangka serta bersabar untuk menanti bantuan Allah dalam masalah apapun yang timbul. Di penutupnya, sama-sama membaca surah Wal ‘Ashr dan doa kifarah, yakni meminta ampun kepada Allah. Insya Allah dengan cara itu, umat Islam akan senantiasa membuat keputusan yang tepat, bersih dan diberkati Allah.

2. Konsep Demokrasi a. Hakekat Demokrasi Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yg sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances. Ketiga jenis lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan judikatif dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat (DPR, untuk Indonesia) yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan legislatif dibuat oleh masyarakat atau oleh wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang diwakilinya (konstituen) dan yang memilihnya melalui proses pemilihan umum legislatif, selain sesuai hukum dan peraturan.

52

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

Selain pemilihan umum legislatif, banyak keputusan atau hasil-hasil penting, misalnya pemilihan presiden suatu negara, diperoleh melalui pemilihan umum. Pemilihan umum tidak wajib atau tidak mesti diikuti oleh seluruh warganegara, namun oleh sebagian warga yang berhak dan secara sukarela mengikuti pemilihan umum. Sebagai tambahan, tidak semua warga negara berhak untuk memilih (mempunyai hak pilih). Kedaulatan rakyat yang dimaksud di sini bukan dalam arti hanya kedaulatan memilih presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung, tetapi dalam arti yang lebih luas. Suatu pemilihan presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung tidak menjamin negara tersebut sebagai negara demokrasi sebab kedaulatan rakyat memilih sendiri secara langsung presiden hanyalah sedikit dari sekian banyak kedaulatan rakyat. Walapun perannya dalam sistem demokrasi tidak besar, suatu pemilihan umum sering dijuluki pesta demokrasi. Ini adalah akibat cara berpikir lama dari sebagian masyarakat yang masih terlalu tinggi meletakkan tokoh idola, bukan sistem pemerintahan yang bagus, sebagai tokoh impian ratu adil. Padahal sebaik apa pun seorang pemimpin negara, masa hidupnya akan jauh lebih pendek daripada masa hidup suatu sistem yang sudah teruji mampu membangun negara. Banyak negara demokrasi hanya memberikan hak pilih kepada warga yang telah melewati umur tertentu, misalnya umur 18 tahun, dan yang tak memliki catatan kriminal (misal, narapidana atau bekas narapidana).

b. Prinsip Demokrasi Barat Istilah "Demokrasi" berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke18, bersamaan dengan perkembangan sistem "Demokrasi" di banyak negara16. Kata "Demokrasi" berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara. Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian kekuasaan dalam suatu negara (umumnya berdasarkan konsep dan prinsip trias politica) dengan kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Prinsip semacam trias politica ini menjadi sangat penting untuk diperhitungkan ketika fakta-fakta sejarah mencatat kekuasaan pemerintah (eksekutif) yang begitu besar ternyata tidak mampu untuk membentuk masyarakat yang adil dan beradab, bahkan kekuasaan absolut pemerintah seringkali menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia. Demikian pula kekuasaan berlebihan di lembaga negara yang lain, misalnya kekuasaan berlebihan dari lembaga legislatif menentukan sendiri anggaran untuk gaji dan 16

Insiklopedia wikipedia

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

53

tunjangan anggota-anggotanya tanpa mempedulikan aspirasi rakyat, tidak akan membawa kebaikan untuk rakyat. Intinya, setiap lembaga negara bukan saja harus akuntabel (accountable), tetapi harus ada mekanisme formal yang mewujudkan akuntabilitas dari setiap lembaga negara dan mekanisme ini mampu secara operasional (bukan hanya secara teori) membatasi kekuasaan lembaga negara tersebut. Demokrasi berasal dari perkataan Yunani, demokratia, yang berarti kekuasaan rakyat, atau suatu bentuk pemerintahan negara, dimana rakyat berpengaruh di atasnya, atau pemerintahan rakyat. Ide-die tentang demokrasi dan prakteknya diketahui manusia lebih kurang dua ribu lima ratus tahun yang lalu, akan tetapi sampai sekarangpun demokrasi sebagai suatu cara hidup hanya terdapat di sebagian kecil dunia saja dan cara hidup yang demokrastis adalah suatu hal yang paling sulit. Demokrasi yang diinginkan adalah adalah terjadinya pemilihan umum yang jujur dan adil, berkembangnya pers yang merdeka, adanya kemerdekaan mengadakan perkumpulan politik, kebebasan beragama, kebebasan berpikir dan berbicara, adanya hak untuk memilih pekerjaan sendiri, adanya hak untuk membentuk serikat-serikat kerja bebas, hak untuk bergerak bebas dalam negara sendiri dan secara umum serta hak setiap orang bebas mengembangkan kesanggupan pikiran moralnya. Pemerintahan demokrasi yang tulen adalah suatu pemerintahan yang sungguhsungguh melaksanakan kehendak rakyat yang sebenarnya, akan tetapi kemudian penafsiran atas demokrasi itu berubah menjadi suara terbanyak dari rakyat banyak. Penafsiran demokrasi sebagai suara terbanyak dari rakyat banyak ini tidak asli lagi, oleh karena tidak melaksanakan kehendak seluruh rakyat. Dalam hal ini demokrasi dapat disalahgunakan oleh golongan yang lebih besar dalam suatu negara untuk memperoleh pengaruh pada pemerintahan negara, dengan selalu mengalahkan kehendak golongan yang kecil jumlah anggotanya. Dalam demokrasi tulen dijaminlah hak-hak kebebasan tiap-tiap orang dalam suatu negara. Demokrasi itu juga diartikan sebagai perbandingan separuh ditambah satu, jadi golongan mana telah memperoleh suara paling sedikitnya separuh ditambah satu suara. Makna sebenarnya demokrasi didalam suatu pemerintahan rakyat adalah bahwa rakyat sangat yakin bahwa segala kehendak dan kepentingannya akan diperhatikan oleh wakil-wakil rakyat. Pemerintahan yang tidak termasuk dengan demokrasi adalah cara pemerintahan yang dilakukan oleh dan atas nama seorang diri atau pemerintahan yang dilakukan oleh segolongan kecil manusia saja, yang menganggap dirinya tercakap dan berhak untuk mengambil dan melakukan segala kekuasaan di atas segenap rakyat. Pemerintahan dalam arti demokrasi adalah dimana golongan yang memerintah dan golongan yang terperintah itu adalah sama dan tidak terpisah-pisah, yang artinya satu sistem pemerintahan negara dimana dalam pokoknya semua orang/rakyat adalah berhak sama untuk memerintah dan juga untuk diperintah.

54

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

Suatu demokrasi menghargai setiap person sebagai makhluk moral dan rasional yang memiliki kebebasan dan tanggung jawab atas dirinya sendiri. Sistem demokrasi pada prinsipnya menolak setiap campur tangan dari luar atas jalan hidup seseorang, dan pada yang saat yang sama menuntut bahwa hak individu untuk menentukan diri sendiri secara politis harus mendapat prioritas dibandingkan dengan hak-hak politik lainnya. Oleh karena itu, demokrasi sebagai sistem politik juga merupakan refleksi yang paling nyata dari pengakuan akan hak individu atas kebebasan. Secara politik pengakuan ini terwujud melalui terbukanya peluang yang sebesar-besarnya bagi partisipasi politik semua warga. Hak yang sama atas partisipasi politik sebagai sebuah prinsip terutama dimaksudkan untuk memberi peluang sebagai semua warga secara aktif. Sehingga analisis, bahwa calon politisi bersanding dengan politisi atau birokrat atau bahkan independen yang tidak ada basis partai, maka ini juga adalah usaha untuk menjalankan makna demokrasi yang sebenarnya, dimana siapa saja bisa menjadi calon untuk memegang tampuk pemerintahan, tanpa harus terkendala dengan ''perahu'' partai politik. Saat ini, sebagai ciri demokrasi ialah bahwa tiap-tiap keputusan bersandarkan atas dasar kelebihan suara. Di sini timbul perjuangan untuk merebut suara terbanyak pada tiap-tiap persoalan di antara golongan. Golongan yang besar memperoleh suara terbanyak sedang golongan kecil menderita kekalahan. Walaupun demikian, perjuangan demokrasi dalam perebutan suara terbanyak itu bukanlah suatu hal antara hidup dan mati, sebab golongan kecilpun tetap berhak untuk duduk dalam pemerintahan. Titik berat pada cara hidup demokratis adalah berdasarkan keinsafan akan adanya tujuan yang tidak dapat dipisahkan dari cara mencapainya, yang senantiasa menentukan bentuknya. Perbincangan dan persetujuan adalah cara yang menjadi ciri bagi masyarakat demokratis dalam usahanya untuk menyelesaikan perbedaan-perbedaan pandangan dan kepentingan. Telah menjadi pandangan demokratis, karena tidak seorangpun yang mempunyai kebenaran mutlak, kedua belah pihak dalam suatu argumen dapat memberikan sumbangan ditemukannya jawaban paling tepat. Satu-satunya jalan untuk menemukan kesalahan dalam jawaban itu adalah dengan mengerahkan segala bakti yang ada. Dalam teori masyarakat demokrasi, pemerintah mendapatkan kekuasaannya yang sah berkat persetujuan dari yang diperintah. Karena itu tidak ada alasan bagi negara untuk eksis selain untuk melayani kepentingan rakyat. Apabila negara mulai menindas dan tidak mengacuhkan hak-hak rakyat, maka kewajiban bagi rakyat untuk memberontak melawan pemerintah. Dalam negara demokrasi ada persamaan kemerdekaan bagi tiap-tiap orang. Jadi kemerdekaan atau kebebasan manusia diatur oleh pemerintah. Oleh karena itu demokrasi hanya dapat dicapai, jika rakyat dengan perantaraan wakil-wakilnya yang dipercaya mengatur atau ikut mengatur ketentuan-ketentuan peraturan pemerintahannya.

c. Prinsip Demokrasi Dalam Pandangan Islam Menurut Sadek, J. Sulaymân, dalam demokrasi terdapat sejumlah prinsip yang menjadi standar baku diantaranya:

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

55

1. Kebebasan berbicara setiap warga negara. 2. Pelaksanaan pemilu untuk menilai apakah pemerintah yang berkuasa layak didukung kembali atau harus diganti. 3. Kekuasaan dipegang oleh suara mayoritas tanpa mengabaikan kontrol minoritas 4. Peranan partai politik yang sangat penting sebagai wadah aspirasi politik rakyat. 5. Pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. 6. Supremasi hukum (semua harus tunduk pada hukum). 7. Semua individu bebas melakukan apa saja tanpa boleh dibelenggu. Pandangan Ulama tentang Demokrasi. Berikut adalah pemikiran beberapa tokoh muslim tentang konsep dan pemikiran demokrasi17. 1. Al-Maududi Dalam hal ini al-Maududi secara tegas menolak demokrasi. Menurutnya, Islam tidak mengenal paham demokrasi yang memberikan kekuasaan besar kepada rakyat untuk menetapkan segala hal. Demokrasi adalah buatan manusia sekaligus produk dari pertentangan Barat terhadap agama sehingga cenderung sekuler. Karenanya, al-Maududi menganggap demokrasi modern (Barat) merupakan sesuatu yang berssifat syirik. Menurutnya, Islam menganut paham teokrasi (berdasarkan hukum Tuhan). Tentu saja bukan teokrasi yang diterapkan di Barat pada abad pertengahan yang telah memberikan kekuasaan tak terbatas pada para pendeta. 2. Mohammad Iqbal Kritikan terhadap demokrasi yang berkembang juga dikatakan oleh intelektual Pakistan ternama M. Iqbal. Menurut Iqbal, sejalan dengan kemenangan sekularisme atas agama, demokrasi modern menjadi kehilangan sisi spiritualnya sehingga jauh dari etika. Demokrasi yang merupakan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat telah mengabaikan keberadaan agama. Parlemen sebagai salah satu pilar demokrasi dapat saja menetapkan hukum yang bertentangan dengan nilai agama kalau anggotanya menghendaki. Karenanya, menurut Iqbal Islam tidak dapat menerima model demokrasi Barat yang telah kehilangan basis moral dan spiritual. Atas dasar itu, Iqbal menawarkan sebuah konsep demokrasi spiritual yang dilandasi oleh etik dan moral ketuhanan. Jadi yang ditolak oleh Iqbal bukan demokrasi an sich. Melainkan, prakteknya yang berkembang di Barat. Lalu, Iqbal menawarkan sebuah model demokrasi sebagai berikut: a. b. c. d. e.

Tauhid sebagai landasan asasi. Kepatuhan pada hukum. Toleransi sesama warga. Tidak dibatasi wilayah, ras, dan warna kulit. Penafsiran hukum Tuhan melalui ijtihad.Muhammad Imarah

Menurut beliau Islam tidak menerima demokrasi secara mutlak dan juga tidak menolaknya secara mutlak. Dalam demokrasi, kekuasaan legislatif (membuat dan 17

56

Sumber: http://globalisasi.wordpress.com/islam-global-politics

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

menetapkan hukum) secara mutlak berada di tangan rakyat. Sementara, dalam sistem syura (Islam) kekuasaan tersebut merupakan wewenang Allah. Dialah pemegang kekuasaan hukum tertinggi. Wewenang manusia hanyalah menjabarkan dan merumuskan hukum sesuai dengan prinsip yang digariskan Tuhan serta berijtihad untuk sesuatu yang tidak diatur oleh ketentuan Allah. Jadi, Allah berposisi sebagai al-Syâri’ (legislator) sementara manusia berposisi sebagai faqîh (yang memahami dan menjabarkan) hukum-Nya. Demokrasi Barat berpulang pada pandangan mereka tentang batas kewenangan Tuhan. Menurut Aristoteles, setelah Tuhan menciptakan alam, Diia membiarkannya. Dalam filsafat Barat, manusia memiliki kewenangan legislatif dan eksekutif. Sementara, dalam pandangan Islam, Allah-lah pemegang otoritas tersebut. Allah befirman Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam. (al-A’râf: 54). Inilah batas yang membedakan antara sistem syariah Islam dan Demokrasi Barat. Adapun hal lainnya seperti membangun hukum atas persetujuan umat, pandangan mayoritas, serta orientasi pandangan umum, dan sebagainya adalah sejalan dengan Islam. 3. Yusuf al-Qardhawi Menurut beliau, substasi demokrasi sejalan dengan Islam. Hal ini bisa dilihat dari beberapa hal. Misalnya: a. Dalam demokrasi proses pemilihan melibatkkan banyak orang untuk mengangkat seorang kandidat yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka. Tentu saja, mereka tidak boleh akan memilih sesuatu yang tidak mereka sukai. Demikian juga dengan Islam. Islam menolak seseorang menjadi imam shalat yang tidak disukai oleh makmum di belakangnya. b. Usaha setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tiran juga sejalan dengan Islam. Bahkan amar makruf dan nahi mungkar serta memberikan nasihat kepada pemimpin adalah bagian dari ajaran Islam. c. Pemilihan umum termasuk jenis pemberian saksi. Karena itu, barangsiapa yang tidak menggunakan hak pilihnya sehingga kandidat yang mestinya layak dipilih menjadi kalah dan suara mayoritas jatuh kepada kandidat yang sebenarnya tidak layak, berarti ia telah menyalahi perintah Allah untuk memberikan kesaksian pada saat dibutuhkan. d. Penetapan hukum yang berdasarkan suara mayoritas juga tidak bertentangan dengan prinsip Islam. Contohnya dalam sikap Umar yang tergabung dalam syura. Mereka ditunjuk Umar sebagai kandidat khalifah dan sekaligus memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah berdasarkan suara terbanyak. Sementara, lainnya yang tidak terpilih harus tunduk dan patuh. Jika suara yang keluar tiga lawan tiga, mereka harus memilih seseorang yang diunggulkan dari luar mereka. Yaitu Abdullah ibn Umar. Contoh lain adalah penggunaan pendapat jumhur ulama dalam masalah khilafiyah. Tentu saja, suara mayoritas yang diambil ini adalah selama tidak bertentangan dengan nash syariat secara tegas.

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

57

e. Juga kebebasan pers dan kebebasan mengeluarkan pendapat, serta otoritas pengadilan merupakan sejumlah hal dalam demokrasi yang sejalan dengan Islam. 4. Salim Ali al-Bahnasawi Menurutnya, demokrasi mengandung sisi yang baik yang tidak bertentangan dengan islam dan memuat sisi negatif yang bertentangan dengan Islam. Sisi baik demokrasi adalah adanya kedaulatan rakyat selama tidak bertentangan dengan Islam. Sementara, sisi buruknya adalah penggunaan hak legislatif secara bebas yang bisa mengarah pada sikap menghalalkan yang haram dan menghalalkan yang haram. Karena itu, ia menawarkan adanya islamisasi demokrasi sebagai berikut: a. menetapkan tanggung jawab setiap individu di hadapan Allah. b. Wakil rakyat harus berakhlak Islam dalam musyawarah dan tugas-tugas lainnya. c. Mayoritas bukan ukuran mutlak dalam kasus yang hukumnya tidak ditemukan dalam Alquran dan Sunnah (al-Nisa 59) dan (al-Ahzab: 36). d. Komitmen terhadap islam terkait dengan persyaratan jabatan sehingga hanya yang bermoral yang duduk di parlemen. PENUTUP Kesimpulan dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep demokrasi tidak sepenuhnya bertentangan dan tidak sepenuhnya sejalan dengan Islam. Prinsip dan konsep demokrasi yang sejalan dengan islam adalah keikutsertaan rakyat dalam mengontrol, mengangkat, dan menurunkan pemerintah, serta dalam menentukan sejumlah kebijakan lewat wakilnya. Adapun yang tidak sejalan adalah ketika suara rakyat diberikan kebebasan secara mutlak sehingga bisa mengarah kepada sikap, tindakan, dan kebijakan yang keluar dari rambu-rambu ilahi. Karena itu, maka perlu dirumuskan sebuah sistem demokrasi yang sesuai dengan ajaran Islam yaitu di antaranya: 1. 2. 3. 4.

Demokrasi tersebut harus berada di bawah payung agama. Rakyat diberi kebebasan untuk menyuarakan aspirasinya Pengambilan keputusan senantiasa dilakukan dengan musyawarah. Suara mayoritas tidaklah bersifat mutlak meskipun tetap menjadi pertimbangan utama dalam musyawarah. Contohnya kasus Abu Bakr ketika mengambil suara minoritas yang menghendaki untuk memerangi kaum yang tidak mau membayar zakat. Juga ketika Umar tidak mau membagi-bagikan tanah hasil rampasan perang dengan mengambil pendapat minoritas agar tanah itu dibiarkan kepada pemiliknya dengan cukup mengambil pajaknya. 5. Musyawarah atau voting hanya berlaku pada persoalan ijtihadi; bukan pada persoalan yang sudah ditetapkan secara jelas oleh Alquran dan Sunah. 6. Produk hukum dan kebijakan yang diambil tidak boleh keluar dari nilai-nilai agama. 7. Hukum dan kebijakan tersebut harus dipatuhi oleh semua warga.

58

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

DAFTAR PUSTAKA Arif, Saiful, et.al, 2006, Demokrasi, Sejarah, Praktik dan Dinamika Pemikiran, Program Sekolah Demokrasi dan Averroes Press, Malang. Anshori, Abdul Ghofur. 2002. Hukum kewarisan Islam di Indonesia : eksistensi dan adaptabilitas. Yogyakarta : Ekonisi Chester I. Barnard dalam “The Function of Executive” Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahannya, PT. Syaamil Cipta Media, Bandung. Dahl, Robert, 2001. Democracy and its Critics. New Haven: Yale University Press. Dunn, John, ed., 1992. Democracy. The Unfinished Journey. Oxford: Oxford University Press Fahulullah, Mahdi, Dr., 1991. Titik Temu Agama dan Politik: Analisa Pemikiran Sayyid Qutub, CV. Ramadhani, Solo. Furqon, 1982, penelitian pustaka (library research) Ensiklopedia wikipedia K.H. M. Ihya’ Ulumuddin, 2009, Inaarud Dujaa fi MaghazikKhaiil waraa 1/91, Majalah Al Mu’tashim, Tahun XII, Shafar 1430 H, Pebruari 2009 M, Persyarikatan Dakwah Al Haromain, Surabaya. Kuntowijoyo, 1997. Identitas Politik Umat Islam, Mizan, Bandung. Mahmud Fuad Abdul Baqi’, 1987, Mazmu Faruz Li-afadhil Qur-anil Karim, Darul Fikr, Beirut yang terdapat dalam Aidul Fitriciada Azhari. M. Quraish Shihab, Tafsir Al Mishbah Volume 12: Pesan dan Kesan Serta Keserasian Al Qur’an, Lentera Hati, Jakarta Nurcholish Madjid, 2000, Islam Agama Kemanusiaan : Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, lihat dalam Aidul Fitriciada Azhari, Sistem Pengambilan Keputusan Demokrasi Menurut Konstitusi,Muhammadiyah University Press, Surakarta.

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

59

KOMPLEKSITAS KERJASAMA ANTAR DAERAH

M.R. Khairul Muluk

Otonomi daerah merupakan kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan sesuai dengan aspirasi dan pilihan masyarakat setempat. Penyelenggaraan otonomi ini perlu juga mempertimbangkan keragaman potensi antar daerah. Terdapat daerah yang memiliki potensi sumberdaya alam yang besar dan didukung oleh kemampuan atau kualitas masyarakatnya dalam memanfaatkan potensi tersebut. Sebaliknya, terdapat pula daerah yang memiliki potensi sumberdaya alam yang kurang, bahkan rawan bencana, sekaligus tidak didukung oleh kualitas sumberdaya masyarakat yang memadai untuk menghadapi tantangan tersebut. Kondisi yang demikian berakibat pada munculnya masalah kemiskinan, baik menyangkut kemiskinan kultural, kemiskinan natural maupun kemiskinan struktural. Menghadapi keragaman potensi daerah dalam mencapai tujuan bernegara dan berbangsa diperlukan peran pemerintah daerah untuk menekan disparitas antar daerah sekaligus meningkatkan sinergi dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Upaya menekan disparitas dapat dilakukan melalui berbagai cara. Pertama, meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di berbagai bidang oleh pemerintah kabupaten/kota. Upaya ini diantaranya: penyediaan infrastruktur, pembangunan ekonomi melalui peningkatan peran usaha kecil dan menengah, pembangunan sosial dan ketenagakerjaan. Kedua, peningkatan peran Pemerintah Pusat atau Provinsi melalui intervensi kebijakan dalam rangka mengurangi tingkat disparitas. Di Jawa Timur, upaya ini diantaranya dilakukan melalui kebijakan pro-poor, penciptaan kesempatan kerja di sektor pertanian, kebijakan pendidikan dan kesehatan untuk masyarakat miskin, pembangunan infrastruktur jalan diwilayah lingkar selatan. Ketiga, kerjasama antar daerah yang berorientasi pada pengurangan disparitas. Upaya ini dapat dilakukan melalui kerjasama antar daerah untuk memanfaatkan setiap potensi yang dimiliki agar dapat memacu perkembangan daerah masing-masing hingga terjadi pengurangan disparitas.

HUBUNGAN ANTARPEMERINTAHAN Kebutuhan akan pelayanan publik dan pembangunan yang lebih efektif serta partisipatoris menyebabkan pentingnya Hubungan antar Pemerintahan (intergovernmental relations) yang efektif sekaligus efisien. Hubungan antar pemerintahan juga merupakan konsekuensi logis dari adanya federalisme bagi negara federal dan desentralisasi bagi negara kesatuan. Di negara federal, hubungan antar pemerintahan terjadi pada hubungan antara Pemerintah Federal dengan Negara Bagian (federal and state relations), hubungan antar Negara Bagian (interstate relations), dan hubungan antar daerah otonom (relationship among local government) (Rosenbloom, 1989).

60

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

Sementara itu, untuk negara kesatuan Smith (1985) memberikan batasan yang menarik tentang hubungan antar pemerintahan, yakni: the relationships between levels of government. Mengacu pada ruang lingkup tersebut maka hubungan antar pemerintahan pada dasarnya merupakan hubungan antar susunan atau jenjang pemerintahan, yakni hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah provinsi, antara pemerintah pusat dengan pemerintah kabupaten/kota, antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota dan antar pemerintah kabupaten/kota dengan pemerintah kabupaten/kota. Tentang batasan hubungan antar pemerintahan ini, Henry (2004) telah memberikan ruang lingkup menarik seperti hubungan antara Pemerintah Federal dengan Negara Bagian, hubungan antar Negara Bagian yang menghasilkan dua kajian khusus yakni interstate cooperation dan interstate conflict. Penekanan khusus diberikan Henry pada hubungan antara Negara Bagian dengan daerah otonom, dan kerjasama antar daerah otonom (interlocal cooperation). Penekanan pada kerjasama antar daerah juga diberikan oleh Cooper, dkk (1998) yang memasukkan local government cooperation sebagai bagian penting dalam hubungan antar pemerintahan. Penyelidikan tentang hubungan antar pemerintahan telah mengklasifikasi hubungan tersebut dalam tiga penafsiran (Smith, 1985), yakni: pendekatan hukum dan administrasi, politik masyarakat, dan politik antar-organisasi. Tiga pendekatan ini umumnya digunakan oleh para ahli ilmu sosial, politik, dan administrasi untuk melakukan analisis terhadap fenomena hubungan antar pemerintahan. Pendekatan pertama, pendekatan hukum dan administrasi (law and administration approach) lebih menekankan pendekatan yang bersifat top-down dengan melihat praktek hubungan antar pemerintahan dari kacamata pemerintah pusat. Pendekatan ini lebih memandang bagaimana hubungan antar pemerintahan memberi manfaat besar bagi kepentingan nasional sehingga perlu dikembangkan instrumen untuk memadukan beragam kepentingan daerah dengan kepentingan nasional. Instrumen utama dalam pendekatan ini adalah kontrol dan pengaruh (influence) pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah. Kontrol merupakan instrumen yang lebih keras sementara pengaruh memiliki sifat yang lebih lembut dan halus. Pada dasarnya baik kontrol dan pengaruh tetap merupakan instrumen penting bagi pemerintah pusat untuk mengendalikan daerah baik dalam kepentingan pemberian standar pelayanan yang merata secara nasional, atau upaya pengurangan disparitas kesejahteraan antar daerah, maupun penciptaan stabilitas nasional. Kontrol merupakan pengendalian langsung pemerintah pusat kepada daerah otonom yang bisa berlangsung dalam dua bentuk, yakni: kendali administrasi dan kendali legislasi atau yudisial. Sementara itu, pengaruh merupakan pengendalian yang bersifat tak langsung namun memiliki efek membangun ketaatan daerah otonom pada pemerintah pusat. Pengaruh dapat berlangsung dalam tiga bentuk, yaitu: komunikasi dan konsultasi antara daerah dan pusat, dan pemberian bantuan keuangan yang bersifat spesifik (specific grant), serta pengawasan pemerintah pusat kepada daerah. Pengawasan ini tentu melibatkan kualitas pelayanan publik, pembangunan, dan pemerintahan umum di daerah. Pendekatan kedua yakni pendekatan politik masyarakat (community politics approach) merupakan sebuah pendekatan analisis yang bersifat bottom-up karena melihat praktek dan fenomena hubungan antar pemerintahan lebih pada penekanan perjuangan

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

61

kepentingan masyarakat setempat ketika berhadapan dengan kepentingan pemerintah pusat. Politik masyarakat cenderung lebih memperjuangkan otonomi masyarakat setempat (local autonomy) yang diwujudkan dalam aspirasi dan pilihan masyarakat (local voice dan local choice). Dalam pendekatan ini, desentralisasi dipandang sebagai instrumen yang seharusnya mampu menampung pemerintahan daerah yang benar-benar bekerja untuk kepentingan masyarakat setempat baik dalam pembuatan kebijakan maupun dalam pelaksanaan daripada kebijakan tersebut. Desentralisasi dilihat sebagai cara untuk memberikan otonomi yang lebih besar kepada masyarakat sehingga pendekatan ini juga mewaspadai beragam bentuk penetrasi dan intervensi pemerintah pusat kepada daerah. Intervensi pemerintah pusat dipandang sebagai situasi yang dapat mengancam atau paling tidak mengurangi kadar otonomi daerah. Pendekatan politik masyarakat ini memandang bahwa aspirasi dan pilihan masyarakat setempat dipengaruhi oleh karakteristik masyarakat yang berbeda satu sama lain sehingga antar daerah memiliki kepentingan yang berbeda satu sama lain. Keberpihakan pada karakteristik setempat ini menunjukkan kadar otonomi yang dimiliki daerah sehingga seringkali pula perhatian besar diberikan pada karakteristik masyarakat. Adapun karakteristik tersebut mencakup: sumberdaya alam, sosial, dan ekonomi sebuah daerah otonom, perbedaan kultural dengan daerah lainnya, dan struktur politik di dalam masyarakat daerah otonom tersebut. Tiga karakteristik ini yang harus diperjuangkan menjadi aspirasi dan pilihan masyarakat dalam pembuatan kebijakan publik (fungsi mengatur) dan pelaksanaannya (fungsi mengurus). Adapun keluaran dari pendekatan ini adalah pemerintahan berbasis lokal yang kuat yang tercermin dari adanya nilai-nilai lokal yang dominan dalam penyelenggaraan otonomi daerah, derajat kekuasaan yang terkonsentrasi di daerah, kadar integrasi masyarakat, serta struktur formal pemerintahan daerah. Pendekatan ketiga, yaitu: pendekatan politik antar organisasi (interorganizational politics) yang menempatkan posisi pemerintah pusat dan daerah lebih setara dan dipadankan sebagai hubungan antar organisasi yang saling membutuhkan satu sama lain dan bekerja sama guna mencapai tujuan masing-masing. Kata kunci dalam pendekatan ini adalah jaringan (network) karena mengandaikan hubungan organisasional antara pemerintah pusat dengan daerah otonom seperti tipe jaringan dalam teori struktur organisasi. Sebagai jaringan maka metafora hierarki diabaikan dalam pendekatan ini dan menggantikannya seperti organisasi yang setara satu sama lain. Beberapa pandangan yang mendasari pendekatan ini antara lain sebagai berikut. Pertama, pemerintah pusat tidak selalu berkehendak atau bahkan mampu menggunakan kekuasaannya untuk mendominasi daerah otonom. Kedua, daerah otonom memiliki sumber daya yang cukup untuk menahan tekanan pemerintah pusat. Ketiga, daerah otonom memiliki kehendak yang beragam untuk menggunakan sumber daya politik, keuangan, hukum, dan administrasi untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah pusat. Keempat, terdapat asumsi bahwa posisi pusat dan daerah dijalankan oleh aktor-aktor yang berlawanan namun saling tergantung satu sama lain dalam mencapai tujuan masing-masing. Untuk itu senantiasa ada ruang yang terbuka lebar untuk negosiasi, tawar-menawar, dan inisiasi program kerjasama. Dalam pendekatan politik antar organisasi ini, istilah ‘interaksi’ dipandang lebih baik untuk menggambarkan hubungan pusat dan daerah. Kata interaksi dipandang lebih

62

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

baik daripada istilah pengendalian pusat kepada daerah atau perlawanan daerah terhadap pusat. Kata interaksi pusat dan daerah dianggap jauh egaliter dibandingkan dua pendekatan terdahulu. Interaksi dan interdependensi antara berbagai jenjang pemerintahan amat dipengaruhi oleh banyak faktor politik dan organisasional, yaitu: konsistensi kebijakan pemerintah pusat, pengaruh daerah otonom terhadap proyek dan prioritas pemerintah pusat, perangkat teknologi, dan jarak fisik antar jenjang pemerintahan.

KERJASAMA ANTARDAERAH Selanjutnya, perkembangan perekonomian, politik, dan teknologi telah menyebabkan hubungan antar daerah menjadi lebih banyak dan pelik. Banyak kegiatan yang kini memiliki dampak melampaui batas-batas daerah baik yang bersifat positif maupun negatif (positive and negative externalities). Lokasi rumah sakit, lembaga pendidikan, pergerakan kepemilikan kendaraan bermotor, investasi aktivitas ekonomi dan lain-lain kini seringkali melampaui batas-batas daerah otonomi. Dinamika aktivitas masyarakat menyebabkan tak satupun daerah kini benar-benar dapat mempertahankan beragam aktivitas selalu berada dalam batas wilayahnya. Rosenbloom (1989) memandang hubungan antar daerah otonom dalam tiga perspektif. Dari sisi manajerial, aktivitas regional dalam beberapa daerah otonom akan sangat mahal apabila diselenggarakan oleh masing-masing daerah otonom. Skala ekonomi regional membutuhkan penyelenggaraan secara regional pula sehingga efisiensi dan efektivitas pemerintahan dapat direalisir. Oleh karena itu, untuk menghadapi pemenuhan kebutuhan pada skala regional dibutuhkan konsolidasi daerah otonom jika daerah tersebut sama besar dan kuatnya, atau dengan melakukan aneksasi daerah yang lebih kecil oleh daerah yang lebih besar, atau penguatan kerjasama antar daerah. Dari perspektif politik, Rosenbloom (1989) mengungkapkan pandangan yang agak bertentangan dengan apa yang diungkap penting dalam sisi ekonomi. Semakin kecil daerah otonom-nya maka kemampuan sistem politik lokal untuk memperkuat daya tanggap dan keterwakilan akan menjadi lebih baik. Daerah otonom pada dasarnya merupakan perwujudan dari demokrasi aras lokal. Sehingga penguatan pelayanan publik dan pembangunan pada level daerah otonom akan menekankan arti penting pemerintahan yang berbasis pada aspirasi dan pilihan masyarakat. Dari sisi ini sebenarnya hubungan antar daerah dianggap agak kurang menguntungkan bagi kemandirian masyarakat dalam menyelenggarakan pemerintahan daerahnya. Untuk menyeimbangkan tuntutan pemenuhan kebutuhan dan pelayanan publik yang bersifat lintas daerah otonom, sekaligus menyeimbangkan kepentingan dari sisi ekonomi dan politik di atas maka Rosenbloom(1989) menyampaikan gagasan tentang pentingnya pembentukan Dewan Regional (regional council). Dewan ini bertugas untuk mengkoordinasikan kebijakan dan aktivitas administrasi dari berbagai pemerintahan daerah dalam wilayahnya sehingga memperkuat koordinasi antar daerah otonom. Beberapa urusan yang dianggap penting untuk dikelola oleh dewan regional ini antara lain: perencanaan wilayah, keamanan, kualitas pelayanan air bersih, perumahan, dan pembangunan ekonomi. Sifat hubungan antar daerah (interlocal relations) dapat diidentifikasi tidak sebagai suatu nilai tunggal (single value) namun justeru banyak nilai (multi-value). Rosenbloom (1989) menegaskan bahwa kebutuhan akan kemandirian daerah dan

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

63

kebutuhan akan pelayanan yang lebih baik justeru akan mengarahkan hubungan antar daerah sebagai bersifat kompetitif. Masing-masing daerah bersaing untuk memperoleh insentif ekonomi yang diperoleh dari institusi pemerintahan suprastruktur sekaligus berlomba-lomba pula untuk menghindari disinsentif yang diberikan olehnya. Pada sisi lain, masing-masing daerah juga bersaing agar mampu menyediakan layanan publik yang lebih baik dibanding daerah lainnya guna meningkatkan kepuasan masyarakat terhadap pelayanan publik yang disediakan. Dengan menggabung pendapat Nicholas Henry dan David Rosenbloom tentang sifat hubungan antar daerah (interlocal relations) maka diperoleh adanya tiga kategori yakni kompetisi (Rosenbloom, 1989), kerjasama dan konflik antar daerah (Henry, 2004). Tampaknya masing-masing kategori tersebut membutuhkan kajian lebih lanjut untuk pengembangan teoritisnya yang disebabkan oleh masih langkanya perhatian pada hubungan antar daerah ini. Kajian tersebut penting untuk mengungkap latar belakang, bentuk, dan konsekuensi serta dampak dari setiap kategori hubungan antar daerah. Cooper, dkk. (1998) menyatakan bahwa kerjasama antar daerah otonom senantiasa berdasar pada kesepakatan kerjasama (cooperative agreements) antar pemerintah daerah. Karakteristik dari kesepakatan kerjasama tersebut adalah: Kesepakatan tersebut umumnya merupakan kesepakatan antara dua pemerintahan berkaitan dengan aktivitas tunggal tertentu; Kesepakatan tersebut cenderung pada pemberian pelayanan publik daripada penguasaan fasilitas tertentu; Kesepakatan tersebut tidak bersifat permanen dan mengandung adanya peluang untuk negosiasi ulang dan bahkan penghentian kerjasama oleh masing-masing pihak; Kesepakatan tersebut mengandung klausul pemberlakuan jika memenuhi persyaratan tertentu yang telah dikemukakan sejak awal; Kesepakatan tersebut diperbolehkan oleh peraturan perundangan yang lebih tinggi yang memberikan kewenangan untuk melakukan kerjasama antar daerah dalam wilayah tertentu; Kerjasama antar daerah juga bisa berbentuk kerjasama regional dengan atau tanpa institusi baru. Kerjasama regional bisa dilakukan pada perihal yang sulit dikerjakan oleh satu daerah otonom tertentu dan harus dikerjakan dalam bentuk kerjasama. Cooper (1998) menunjukkan manfaat yang bisa dipetik dari kerjasama regional: konsistensi kebijakan atau peraturan daerah beserta penerapannya yang menjangkau batas-batas politik daerah; Manajemen sumberdaya yang efisien; Pembagian tanggung jawab; Gabungan kekuatan politik multi pihak; Kemampuan gabungan dalam meraih dukungan publik untuk mendukung program-program regional. Kerjasama antar daerah dijalankan melalui kesepakatan pelayanan antar daerah (interlocal service arrangements). Kesepakatan tersebut merupakan kesepakatan suatu pemerintah daerah dengan pemerintah daerah lainnya untuk memberikan pelayanan publik kepada warganya. Motivasi utama dari pemerintah daerah untuk mengadakan kerjasama antar daerah dalam pelayanan publik adalah adanya pertimbangan skala ekonomi pelayanan. Diyakini bahwa pelayanan publik tertentu lebih efektif dan efisien jika dijalankan oleh batas yurisdiksi dan wilayah yang lebih luas (Henry, 2004). Selanjutnya Henry juga menggambarkan baha terdapat tiga bentuk kesepakatan kerjasama antar daerah, yakni: Intergovernmental service agreements, Joint service agreements, Intergovernmental service transfer.

64

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

Intergovernmental service agreements merupakan kesepakatan yang menjamin pelayanan publik dapat dinikmati oleh masyarakat tidak hanya dari pemerintah daerahnya sendiri namun juga dari pemerintah daerah lainnya terutama yang berdekatan batas wilayahnya. Konsekuensinya adalah pemerintah daerah tempat penduduk tadi tinggal (pemda asal) harus membayar kepada pemerintah daerah lainnya (pemda pelayan) sebagai pengganti biaya dari pelayanan publik yang diberikan. Dengan demikian, pemda asal tidak harus membentuk institusi pelayanan sendiri bagi seluruh penduduknya terutama bagi penduduk yang tinggal di daerah yang berbatasan dengan daerah otonom lain. Efisiensi pemerintahan tetap dapat dicapai dan pada saat yang sama pelayanan publik tetap dapat diberikan dengan baik. Bagi pemda pelayan, adanya tambahan penduduk dari daerah lain yang harus dilayaninya berarti bertambahnya konsumen dan meningkatkan skala ekonominya sehingga ada pemasukan tambahan untuk menutup overhead cost yang menjadi bebannya. Joint service agreements merupakan kesepakatan yang berlangsung antara dua atau lebih pemerintah daerah otonom untuk menjalankan pelayanan publik tertentu. Kesepakatan ini berbentuk penggabungan aktivitas pelayanan mulai dari perencanaannya, pembiayaannya, dan penyelenggaraan layanannya sampai pada pengawasannya. Dengan demikian biaya dan sumber daya pelayanan publik tertentu diperoleh dari kekuatan gabungan pemerintah daerah yang bersepakat tersebut. Umumnya bentuk kesepakatan ini dijalankan bagi pelayanan publik yang membutuhkan biaya dan sumberdaya besar yang tidak dapat dipenuhi oleh hanya satu daerah otonom saja dan sekaligus pengguna layanannya berasal dari penduduk yang tinggal di berbagai daerah. Dengan demikian, efisiensi dan efektivitas pelayanan publik akan diterima secara optimal oleh berbagai daerah tersebut. Intergovernmental service transfer terdiri dari tiga bentuk kesepakatan penyerahan kewenangan dalam pelayanan publik tertentu. Pertama berupa kesepakatan penyerahan pelayanan publik secara tetap kepada daerah otonom lainnya yang berdekatan. Kedua penyerahan pelayanan publik secara permanen kepada daerah otonom lainnya yang berbeda level. Bentuk kedua ini bisa berupa penyerahan pelayanan publik yang tidak mampu dilaksanakan semata oleh kabupaten/kota tertentu kepada pemerintah provinsi atau begitu pula sebaliknya. Ketiga penyerahan pelayanan publik secara permanen kepada institusi di luar pemerintah, yakni perusahaan swasta atau organisasi nirlaba atau sosial. Jenis kesepakatan ini membawa resiko lebih serius dibandingkan dua jenis kesepakatan sebelumnya karena dijalankan dengan mengorbankan kewenangan yang dimiliki suatu daerah otonom. Ini berarti berkurang pula kekuasaan daerah otonom tersebut.

BELAJAR DARI PENGALAMAN TIGA DAERAH Kendati terdapat beragam potensi, salah satu permasalahan yang dihadapi Provinsi Jawa Timur adalah adanya disparitas antar wilayah. Terdapat 38 kabupaten/kota di Jawa Timur yang masing-masing wilayah tidak memiliki potensi sama. Sebagai gambaran, di wilayah Jawa Timur bagian barat terdapat Kabupaten Magetan dan Kabupaten Ponorogo memiliki lahan pertanian yang relatif subur kendati tidak merata di seluruh wilayah. Kabupaten Ngawi, kendati secara umum memiliki lahan yang relatif subur tetapi terdapat sebagian wilayah yang merupakan lahan kering yang dihuni oleh penduduk miskin. Kabupaten

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

65

Pacitan, memiliki potensi sumberdaya alam dan hutan tetapi secara geografis merupakan daerah yang sulit dijangkau dibanding daerah lainnya. Kabupaten Madiun memiliki wilayah yang luas, tetapi potensi alamnya belum dikelola secara optimal. Demikian pula Kota Madiun, memiliki potensi perdagangan dan jasa yang jauh lebih tinggi dibanding daerah lainnya tetapi daerah ini belum menjadi daya dukung yang kuat untuk memajukan daerah-daerah lain di sekitarnya. Sebagai pusat pengembangan Jawa Timur wilayah barat, posisi Kota Madiun menjadi sangat strategis dan memiliki potensi bekerjasama dengan daerah lainnya dalam wilayah pembangunan tersebut. Sebenarnya Pusat Pengembangan Jawa Timur Wilayah barat mencakup juga wilayah Kabupaten Madiun, Ngawi, Pacitan, ponorogo dan Magetan. Dengan luas wilayah sebesar 33 km2 yang terdiri dari 3 (tiga) kecamatan, 27 kelurahan dan jumlah penduduk sebesar kurang lebih 203 ribu penduduk, PDRB Kota Madiun didukung dari sektor perdagangan dan industri (GADIS) sebagai salah satu sektor yang menonjol di daerah tersebut. Pertumbuhan yang masih rendah dialami sektor pertanian dan sebesar 0,04%. Pergeseran sektor pertanian ke industri pengolahan dan perdagangan jasa sangat nampak akibat meningkatnya konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian sebagai akibat dari perkembangan kota. Kajian yang dilakukan oleh Soeadi, dkk (2011) menunjukkan hasil yang mencengangkan tentang hubungan antar daerah karena sulit menyebut terjadinya kerjasama antar daerah dalam pembangunan daerah yang terkoordinasi. Kerjasama di tiga daerah yang diteliti (Kota Madiun, Kabupaten Madiun, Kabupaten Ngawi) disimpulkan belum terjadi. Meskipun demikian, perkembangan perekonomian, politik, dan teknologi menyebabkan hubungan antar daerah menjadi lebih banyak dan pelik. Banyak kegiatan yang kini memiliki dampak melampaui batas-batas daerah baik yang bersifat positif maupun negatif (positive and negative externalities). Pelayanan rumah sakit dan lembaga pendidikan, pergerakan kepemilikan kendaraan bermotor, investasi aktivitas ekonomi dan lain-lain kini seringkali melampaui batas-batas daerah otonomi. Dinamika aktivitas masyarakat menyebabkan tak satupun daerah kini benar-benar dapat mempertahankan beragam aktivitas selalu berada dalam batas wilayahnya. Fenomena lain yang terjadi adalah adanya “egoregional”. Hal ini nampak pada konteks kerjasama antar daerah yang tidak tertulis secara legal formal. Selama ini kerjasama antar daerah tersebut adalah bersifat informal. Komunikasi antar pimpinan lembaga Satuan Kerja Perangkat Daerah antar daerah sudah sering dilakukan, dan sebatas mengungkapkan pemikiran-pemikiran tentang pentingnya kerjasama antar daerah dalam bidang-bidang tertentu seperti jalan, pariwisata, dan pendidikan. Namun pada prakteknya kerjasama resmi tidak terjadi dan bahkan konflik muncul karena eksternalitas dari jenis layanan tertentu yang tidak ditanggung oleh daerah yang diuntungkan. Masing-masing daerah masih berjalan sendiri-sendiri dan hanya berkutat dengan kepentingannya sendiri tanpa memandang kebutuhan daerah lainnya. Meski belum ada kerjasama dan terjadi egoregional, ternyata ada potensi kerjasama antar tiga daerah yang dikaji. Yang dibutuhkan oleh Kota Madiun adalah perencanaan tata ruang wilayah yang menyebabkan sinergi pembangunan wilayah Jawa Timur bagian barat. Kabupaten Madiun membutuhkan kerjasama yang baik dalam pelayanan kesehatan dan pendidikan sehingga membantu aksesibilitas pemenuhan kebutuhan kualitas dua layanan tersebut bagi warganya. Sementara itu, Kabupaten Ngawi

66

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

tidak terlalu merasa membutuhkan kerjasama dengan Kabupaten Madiun dan Kota Madiun sebagai daerah yang paling dekat berbatasan dalam Provinsi yang sama. Aktivitas ekonomi justeru menempatkan beberapa Kabupaten di Provinsi tetangga, yakni Jawa Tengah, sebagai daerah yang lebih dibutuhkan untuk pengembangannya. Situasi yang terjadi pada Kabupaten Ngawi justeru menarik untuk ditindaklanjuti. Jika ketergantungan ekonomi Kabupaten Ngawi jauh lebih besar kepada daerah yang berada di Provinsi Lain dibandingkan kepada daerah tetangganya yang berada dalam Provinsinya sendiri maka hal ini menunjukkan beberapa pertanda. Pertama telah terjadi pertanda situasi discatchment area dalam Provinsi Jawa Timur karena Kabupaten Ngawi merupakan remote area dari pusat pemerintahan dan ekonomi Provinsi Jawa Timur. Kedua berarti ada pertanda bahwa Kabupaten Ngawi bukan kesatuan ekonomi dari Wilayah Pengembangan Kawasan Barat Jawa Timur atau Kabupaten Ngawi termasuk yang termarjinalkan dalam pengembangan wilayah yang mungkin saja terlalu terpusat pada Kabupaten dan Kota Madiun. Ketiga berarti daya tarik ekonomi daerah-daerah di wilayah perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur jauh lebih baik dibandingkan dengan daerah-daerah di wilayah Provinsi Jawa Timur yang terdekat dengan Kabupaten Ngawi.

KESIMPULAN Penyelenggaraan otonomi daerah yang efektif dan efisien membutuhkan ketersediaan sumber daya yang cukup baik yang berasal dari internal maupun eksternal daerah otonom. Dalam banyak hal penyelenggaraan urusan daerah juga akan bersinggungan dengan urusan, sumber daya, dan masyarakat daerah lain yang tidak bisa dihindari karena faktor mobilitas orang dan barang, perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, dan eksternalitas aneka hal. Oleh karena itu, kerjasama antar daerah sebagai bagian dari hubungan antar pemerintahan diperlukan untuk menjamin ketersediaan layanan publik yang memadai. Namun demikian, meski kerjasama antar daerah dipandang penting oleh banyak pihak ternyata tidak semua daerah menjalankan kerjasama antar daerah dengan tingkat kesungguhan yang memadai. Persoalan egoregional merupakan penghalang besar bagi terjadinya kerjasama antar daerah meskipun terdapat potensi besar dan kebutuhan akan terjadinya kerjasama antar daerah.

DAFTAR PUSTAKA Cooper, P.J., et. al. 1998. Public Administration for the Twenty-First Century. Orlando: Harcourt Brace & Company. Henry, N. 2004. Public Administration and Public Affairs. 9th edition. New Jersey: Pearson Education, Inc. Rosenbloom, D.H. 1989. Public Administration: Understanding Management, Politics, and Law in the Public Sector. 2nd edition. New York: McGraw Hill. Smith, B.C. 1985. Decentralization: the Territorial Dimension of the State. London: George Allen & Unwin. Soeaidi, S., dkk. 2011. Pengembangan Kerjasama Antar Daerah: Studi di Kabupaten Madiun, Kota Madiun, dan Kabupaten Ngawi. Balibang Provinsi Jawa Timur bekerja sama dengan RCCP Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya.

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

67

PEMERINTAHAN YANG INOVATIF SEBAGAI KUNCI KEBERHASILAN PENGELOLAAN SEKTOR PUBLIK

PERENCANAAN PEMBANGUNAN EKONOMI DAERAH MELALUI INTEGRASI SEKTOR INDUSTRI KREATIF (CREATIVE INDUSTRY) DENGAN SISTEM INOVASI DAERAH (SIDA)

Hermawan

Abstrak: Dalam penyelenggaraan pembangunan ekonomi daerah maka proses inovasi sangat menentukan keberhasilan pencapaian kesejahteraan daerah. Salah satu sektor ekonomi yang selama ini belum banyak dibidik untuk mendongkrak perekonomian masyarakat lokal adalah sektor industri kreatif. Padahal sektor ini sudah menjadi perhatian pemerintah pusat sejak dikeluarkannya Cetak Biru Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia pada tahun 2008. Pemerintah kemudian semakin menunjukkan perhatiannya terhadap ekonomi kreatif dengan mencanangkan Tahun Indonesia Kreatif di tahun 2009. Pada tahun 2009 Presiden mengeluarkan Inpres No. 6 Tahun 2009 untuk mendorong semua instansi pemerintah terkait meningkatkan komitmennya dalam pengembangan ekonomi kreatif. Salah satu langkah inovatif adalah penggabungan dengan program yang sudah ada seperti sSistem Inovasi Daerah dengan program pengembangan Industri Kreatif

Kata Kunci: Industri Kreatif, Sistem Inovasi daerah

PENDAHULUAN Pendekatan ‘hybrid’ dalam penyelenggaraan pembangunan daerah dewasa ini merupakan bagian inovatif dalam pencarian model terbaik pembangunan di daerah. Dalam kontek perencanaan pembangunan, berbagai bentuk pendekatan inovatif dimungkinkan setelah banyaknya kritik terbuka terutama dari ekonom akan kecenderungan ‘failure of planning’ dalam kegiatan perencanaan pembangunan. Menurut Choudhury & Kirkpatrik (2007:2), “Models can more easily be designed to match the constraints and policy objective.. rather than using a standart framework “. Dalam dunia perencanaan, berbagai tawaran model pendekatan baru bisa memberikan cara alternatif yg lebih fleksibel di luar kerangka pendekatan standar yang ada. Untuk mendukung peningkatan ekonomi di daerah, upaya memadukan unsur praktis berupa program pengembangan industri kreatif (ekonomi kreatif) dengan Sistem Inovasi Daerah dapat secara luwes ditarik menjadi suatu kegiatan menyeluruh dalam kesatuan proses dan sistem perencanaan.

70

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

Dalam kontek pembangunan ekonomi lokal, perencanaan pembangunan yang baik berarti perencanaan yang bisa mengoptimalkan penggunaan setiap potensi dan kreatifitas di daerah. Wheeler (2004:133) mengistilahkan perencanaan yang best approached at a regional scale. Hal ini berkaitan dengan kemampuan daerah pengalokasian berbagai sumber daya serta peningkatan peran masyarakat guna mencapai level kesejahteraan tertinggi sekaligus mengurangi ketimpangan pembangunan antar daerah. Pada dekade terakhir ini, pemanfaatan sektor ekonomi alternatif berupa kebijakan pengembangan ekonomi kreatif (industri kreatif) sudah mulai dikenal dan diperhitungkan. Dalam hal konteks ekonomi kreatif, setiap daerah sebenarnya telah memiliki potensi dan resource-nya masing-masing. Misalnya, Propinsi Jawa Timur ternyata mempunyai potensi yang tinggi dalam industri kreatif. Diantara indikator potensi pendukung ekonomi kreatif Jawa Timur adalah: Konstribusi industri kreatif mendekati 7,9 % dari PDRB Jatim. Kinerja perekonomian Jawa Timur yang berada dalam posisi kedua setelah Jakarta (15,1 %) di level nasional, lebih dari 51 % ekonomi Jatim ditopang oleh sektor industri dan perdagangan. Disamping itu, adanya Komitmen yang tinggi dari masing-masing Pemda kabupaten/kota di Jawa Timur; potensi jumlah penduduk Jatim cukup tinggi dengan ragam budaya yang telah berkembang; perangkat pendukung kualitas SDM berupa pendidikan tinggi, pendidikan vokasi bidang teknologi, pendidikan bisnis, desain dan pendidikan lainnya tersedia cukup banyak menjadi poin potensial bagi berkembangnya ekonomi kreatif Jawa Timur. Target peran ekonomi kreatif Jawa Timur jika mengacu pada blue print ekonomi kreatif nasional, maka pada RJPJ tahun 2016 2025 kreatif propinsi Jawa Timur harus dapat memberi konstribusi diatas 10 % dari PDRB atau 12 % dari total ekspor. Ada optimisme melebihi target dibalik capaian ekonomi daerah dan propinsi Jatim terkini. Namun demikian, dibalik potensi berkembangnya ekonomi kreatif yang cukup tinggi di Jawa Timur tersebut tetap harus didukung oleh kebijakan pemerintah daerah yang kondusif bagi berkembangnya ekonomi kreatif Jawa Timur. Masih ada beberapa permasalahan yang harus diantisipasi, diantaranya adalah: 1. Masih belum terstrukturnya pembinaan Sumber Daya Insani (SDI) sebagai aset pokok dalam pengembangan ekonomi kreatif 2. Status dan kegiatan industri kreatif hingga sekarang masih relatif baru dan belum begitu dikenal oleh masyarakat sehingga belum diakui sebagai penggerak roda ekonomi dan pembangunan yang signifikan. 3. Belum jelas dan efektifnya perencanaan pembangunan daerah untuk pengembangan ekonomi kreatif yang dapat menopang pertumbuhan ekonomi Jawa Timur. Oleh karena itu, guna mendukung berkembangnya ekonomi kreatif yang tangguh perlu dibuat arah perencanaan yang inovatif searah optimalisasi pengelolaan sumberdaya dan potensi ekonomi lokal.

KONSEP PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL Pembangunan ekonomi lokal pada dasarnya sarat dengan kreatifitas dan inovasi. Sebagaimana Edward J. Blakey (1994) berpendapat bahwa “…..The central feature of locally based economic development is in the emphasis on endogenous development using the potential of local human and physical resources to create new employment

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

71

opportunities and to stimulate new locally based economic activity”. Dinamika pembangunan daerah menyerupai proses perencanaan yang pada hakekatnya suatu sintesis antara intelegensia dengan ketersediaan aneka pendukung kemakmuran dan kesejahteraan. Berbagai faktor pendukung kemakmuran sebagaimana juga diuraikan Blakey antara lain; natural resouces, labor, capital, investment, entrepreneurship, transport, communication, industrial composition, technology, size, export market, international economic situation, local government capacity, national and state government spending and development support. Dari uraian ini sebenarnya begitu banyak peluang dan sumber daya yang bisa dieksploitasi untuk memajukan ekonomi lokal, tentunya tergantung kecerdasan dan kemauan para aktor di daerah. Masih dalam wacana pembangunan ekonomi lokal, The World Bank (2001) mendefinisikan “…Local Economic Development (LED) is the process by which public, business, and non governmental sector partners work collectively to create better conditions for economic growt and employment generation”. Bisa dimaknai bahwa kegiatan pembangunan daerah merupakan cerminan dari penerapan nilai-nilai governance yang terdiri dari berbagai aktor; masyarakat, bisnis dan sektor non-pemerintah lainnya. Dengan demikian sebagaimana pola pengembangan ekonomi kreatif, kemampuan menjaga komunikasi diantara semua lembaga atau stakeholder (pemerintah, dunia usaha dan masyarakat). Lebih lanjut tujuan dari pembangunan daerah sebagaimana dikemukakan Bank Dunia adalah untuk peningkatan kualitas hidup masyarakat yang tinggal di dalamnya dan untuk menjamin masa depan ekonomi daerah di tengah meningkatnya persaingan pasar “…to improve the quality of life for all. Practicing local economic development means working directly to build the economic strength of all local area to improve its economy future and the quality of life of its inhabitant. Prioritizing the local economy is crucial if communities today depend upon them being able to adopt to the fast changing and increasingly competitive market environment. Aspek improvisasi, adopsi yang tercermin dari pernyataan ini menunjukkan suatu nilai perlunya pembebasan keterbatasan (inhibit) pola pikir yang menyumbat inovasi. Dari sisi masyarakat, pengembangan ekonomi lokal diartikan sebagai upaya untuk membebaskan masyarakat dari semua keterbatasan yang menghambat usaha untuk membangun kesejahteraan. Kesejahteraan tersebut dapat diartikan secara khusus sebagai jaminan keselamatan bagi semua aspek kehidupannya seperti pekerjaan, pendidikan, kesehatan, hubungan sosial, agama, harga diri, dan lain-lainnya. Semua jaminan tersebut tidak akan dapat diperoleh apabila sistem masyarakat kacau, poor quality dan tidak berkelanjutan. Dengan demikian pembangunan ekonomi lokal merupakan upaya pemberdayaan masyarakat ekonomi dalam suatu wilayah dengan bertumpukan pada kekuatan lokal, baik itu kekuatan nilai geografis, sumber daya alam, SDM, teknologi, capacity of the institution, maupun aset pengalaman (Haeruman, 2000).

Industri Kreatif Industri kreatif merupakan perkembangan lain dari fenomena ekonomi kreatif yang ada di suatu masyarakat. Definisi berdasarkan UK DCMS Task force 1998: “Creatives Industries as those industries which have their origin in individual creativity, skill & talent, and which have a potential for wealth and job creation through the generation and

72

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

exploitation of intellectual property and content” Sehingga Industri kreatif dapat didefinisikan sebagai: “Industri yang berasal dari pemanfaatan kreatifitas, ketrampilan serta bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan dengan menghasilkan dan mengeksploitasi daya kreasi dan daya cipta individu tersebut “. Sedangkan Howkins (dalam Moelyono, 2010:218) mendefinisikan ekonomi kreatif sebagai kegiatan ekonomi yang menjadikan kreativitas, budaya, warisan budaya dan lingkungn sebagai tumpuan masa depan. Industri kreatif bukanlah sebagaimana UKM yang pada umumnya mengelola produk-produk konvensional yang biasa ada di pasar. Kementerian Perdagangan RI menganggap bahwa sektor Ekonomi kreatif merupakan era ekonomi baru yang mengintensifkan informasi dan kreatifitas dengan mengandalkan ide dan stock of knowledge dari sumber daya manusianya sebagai faktor produksi utama dalam suatu kegiatan ekonomi. Perkembangan Ekonomi kreatif ditopang oleh berlembangnya industri kreatif yang mulai diyakini dapat memberikan kontribusi bagi perekonomian nasional secara signifikan. Sedangkan Deperindag RI, mendefinisikan industri kreatif sebagai industri yang berasal dari pemanfaatan kreativitas, keterampilan serta bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan dengan menghasilkan dan mengeksploitasi daya kreasi dan daya cipta individu tersebut. Berangkat dari kreativitas individual, ketrampilan dan bakat Industri ini berpotensi untuk menciptakan pekerjaan dan pengkayaan melalui produksi dan eksploitasi Intelectual Property (Kekayaan hak intelektual). Klaster inidustri ini dibangkitkan oleh ide – ide yang terletak dipersimpangan antara seni, bisnis dan teknologi. Dalam ranah administrasi publik kajian Industri Kreatif mendapatkan maknanya setelah menjadi salah satu fokus pengembangan ekonomi dari pemerintah sejak diluncurkannya buku hasil studi pemetaan industri kreatif. Buku pemetaan industri kreatif ini kemudian diikuti peluncuran Cetak Biru Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia pada tahun 2008. Pemerintah kemudian semakin menunjukkan perhatiannya terhadap ekonomi kreatif dengan mencanangkan Tahun Indonesia Kreatif di tahun 2009. Pada tahun 2009 Presiden mengeluarkan Inpres No. 6 Tahun 2009 untuk mendorong semua instansi pemerintah terkait meningkatkan komitmennya dalam pengembangan ekonomi kreatif, yang menetapkan 14 subsektor industri kreatif Indonesia , yaitu; 1.

2.

3.

Periklanan: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi dan produksi iklan, antara lain: riset pasar, perencanaan komunikasi iklan, iklan luar ruang, produksi material iklan, promosi, kampanye relasi publik, tampilan iklan di media cetak dan elektronik. Arsitektur: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan cetak biru bangunan dan informasi produksi antara lain: arsitektur taman, perencanaan kota, perencanaan biaya konstruksi, konservasi bangunan warisan, dokumentasi lelang, dll. Pasar seni dan barang antik: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi dan perdagangan, pekerjaan, produk antik dan hiasan melalui lelang, galeri, toko, pasar swalayan, dan internet.

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

73

4.

5. 6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13. 14.

Kerajinan: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi dan distribusi produk kerajinan antara lain barang kerajinan yang terbuat dari: batu berharga, aksesoris, pandai emas, perak, kayu, kaca, porselin, kain, marmer, kapur, dan besi. Desain: kegiatan kreatif yang terkait dengan kreasi desain grafis, interior, produk, industri, pengemasan, dan konsultasi identitas perusahaan. Desain Fashion: kegiatan kreatif yang terkait dengan kreasi desain pakaian, desain alas kaki, dan desain aksesoris mode lainnya, produksi pakaian mode dan aksesorisnya, konsultansi lini produk fesyen, serta distribusi produk fashion. Video, Film dan Fotografi: kegiatan kreatif yang terkait dengan kreasi produksi Video, film, dan jasa fotografi, serta distribusi rekaman video,film. Termasuk didalamnya penulisan skrip, dubbing film, sinematografi, sinetron, dan eksibisi film. Permainan interaktif: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi, produksi, dan distribusi permainan komputer dan video yang bersifat hiburan, ketangkasan, dan edukasi. Musik: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi, produksi, distribusi, dan ritel rekaman suara, hak cipta rekaman, promosi musik, penulis lirik, pencipta lagu atau musik, pertunjukan musik, penyanyi, dan komposisi musik. Seni Pertunjukan: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan usaha yang berkaitan dengan pengembangan konten, produksi pertunjukan, pertunjukan balet, tarian tradisional, tarian kontemporer, drama, musik tradisional, musik teater, opera, termasuk tur musik etnik, desain dan pembuatan busana pertunjukan, tata panggung, dan tata pencahayaan. Penerbitan & Percetakan : kegiatan kreatif yang terkait dengan dengan penulisan konten dan penerbitan buku, jurnal, koran, majalah, tabloid, dan konten digital serta kegiatan kantor berita. Layanan Komputer dan piranti lunak: kegiatan kreatif yang terkait dengan pengembangan teknologi informasi termasuk jasa layanan komputer, pengembangan piranti lunak, integrasi sistem, desain dan analisis sistem, desain arsitektur piranti lunak, desain prasarana piranti lunak & piranti keras, serta desain portal. Televisi & radio: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan usaha kreasi, produksi dan pengemasan, penyiaran, dan transmisi televisi dan radio. Riset dan Pengembangan: kegiatan kreatif yang terkati dengan usaha inovatif yang menawarkan penemuan ilmu dan teknologi dan penerapan ilmu dan pengetahuan tersebut untuk perbaikan produk dan kreasi produk baru, proses baru, material baru, alat baru, metode baru, dan teknologi baru yang dapat memenuhi kebutuhan pasar.

Industri kreatif dapat memberi konstribusi pada beberapa aspek pembangunan daerah, tidak hanya ditinjau pada aspek ekonomi semata, tetapi juga dapat memberikan dampak sosial yang positif serta identitas dan ikon atau citra daerah bahkan negara. Dari hasil studi Deperindag tahun 2007, Industri kreatif di Indonesia telah terbukti mampu menyerap kurang lebih 5,4 juta tenaga kerja dan mendukung hampir 9,13 % dari total eksport. Industri semacam ini dapat dianggap berbahan baku energi terbarukan yang seolah tiada habis selama sumber daya manusia yang kreatif masih ada. Ditinjau dari aspek pembangunan ekonomi daerah dapat digambarkan lebih jelas bahwa kratifitas dapat merangsang terjadinya lingkungan urban di daerah dengan terciptanya wilayah-wilayah kreatif. Di suatu kawasan tertentu dapat lahir dampak

74

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

multiefek di setiap sektor, mulai pembangunan infrastruktur pendukung hingga kebijakan pemerintah daerah. Kreativitas ketika memproduksi barang baru yang unik dan berkualitas atau kreativitas dalam memanfaatkan, mengelola dan mengatur anugrah kekayaan alam yang ada melalui teknik dan kebijakan kreatif, akan memberi kesan kondusif dan citra positif serta identitas (ikon) suatu daerah, bangsa atau negara oleh investor. Digambarkan pula bahwa Industri kreatif sesungguhnya merupakan industri yang bukan termasuk capital intensive (padat modal), namun dapat digunakan sebagai pemicu reaksi berantai dampak multi industri lainnya. Dengan demikian, industri kreatif sangat ideal dikembangkan di setiap wilayah tergantung pada bagaimana bisa menyusun kebijakan atau perencanaan yang tepat.

Model Perencanaan Industri Kreatif bagi Pembangunan Ekonomi Daerah Di era otonomi, pemerintah daerah kini memiliki kewenangan yang lebih besar dalam pembangunan ekonominya. Salah satu kreativitas yang dapat ditawarkan adalah bagaimana memikirkan sebuah sistem yang kondusif demi berlangsungnya perkembangan ekonomi kreatif melalui proses inovasi teknologi dan birokrasi yang terus menerus. Yakni model perencanaan melalui penggabungan program pengembangan Industri kreatif bersama kegiatan Sistem Inovasi daerah (SIDA), yang dapat digambarkan sebagai berikut. Kepala Daerah

DPRD

Lembaga Perumus dan Koordinasi (KEK)

INDUSTRI KREATIF (14 Sub sektor)

1. 2. 3. 4.

Universitas Industri Organisasi Profesi Ilmiah Tokoh masyarakat (pemuda pelopor)

Lembaga Pelaksana

1. Lembaga pengembang (LPM/Universitas/BBI) 2. Lembaga profesi 3. Lembaga Pengguna (Industri/ IKM, Koperasi, org.masyarakat) 4. Lembaga Keuangan

Lembaga Pengawas

1. 2.

Universitas Organisasi ilmiah

profesi

Gambar 1 : Integrasi Program Industri Kreatif dengan SIDA

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

75

Perencanaan program industri kreatif sebagaimana diilustrasikan di atas merupakan sistem kreatifitas daerah berkelanjutan yang merupakan mobilisasi seluruh kekuatan sistem teknologi dan birokrasi daerah. Perencanaan di awali dengan pendekatan dan sosialisasi kegiatan ekonomi kreatif secara komprehensif di setiap sektor pemerintah daerah. ini di harapkan dapat menciptakan local inconporated untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi kreatif dan pendapatan daerah maupun kesejahteraan daerah sehingga menjadi masyarakat yang mampu dalam pengertian yang sesungguhnya. Kegiatan-kegiatan yang dapat di lakukan pemerintah daerah dalam suksesnya pelaksanaan perencanaan pengembanagn industri kreatif adalah sesuai dengan misi dan tujuan kebijakan pengembangan ekonomi kreatif: 1.

2.

3.

4.

Mendukung pengembangan SDM daerah dengan memberikan pelatihan, pendidikan, dan dukungan anggaran. Bertujuan untuk meningkatkan kualitas SDM Jatim menjadi masyarakat yang kreatif dan berdayaguna dalam membangun ekonomi kreatif. Mendukung kerja sama multiparti (industri, lembaga riset pemerintah, universitas dan lembaga keuangan) tingkat daerah, antar daerah, dan dalam skala nasional. Menguatkan aktifitas dan fungsi institusi riset daerah untuk menjadi pendorong industri kreatif daerah dengan implementasi program aksi mendukung Sumber Daya Insani Kreatif Jawa Timur di masing-masing wilayah di seluruh Jawa Timur Memindahkan sebagian dari fungsi riset pemerintah Pusat ke daerah dalam Balai Besar Industri (BBI) atau membentuk beberapa badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Daerah (BPPTD) dalam beberapa kawasan industri kreatif tertentu. Untuk itu mendorong peran riset dan pengembangan di daerah sebagai basis dalam menggali, menemukan, memanfaatkan teknologi serta membuat kebijakan untuk meningkatkan peran dari unit atau lembaga terkait dengan pengembangan ekonomi kreatif. Mengembangkan kebijakan yang kreatif terkait hasil analisis kebijakan ekonomi kreatif (ada di pembahasan pada bab sebelumnya) yakni; Kebijakan pembiayaan dan penjaminan pinjaman, Kebijakan pemasaran, Kebijakan tentang penyediaan bahan baku, Kebijakan perizinan usaha, mengantisipasi peluang dan tantangan bagi Kebijakan Industri Kreatif Jawa Timur, termasuk dengan perlindungan terhadap pelaku/industri kreatif, seperti fasilitasi dan apresiasi HAKI, sarana prasarana pendukung (seperti IT, alternative financial support, pasar) dan iklim investasi yang kondusif dalam persaingan global.

Peran pemerintah daerah yang sesungguhnya selaku fasilitator sebenarnya tidak boleh terlalu dominan. Pemerintah daerah adalah salah satu entitas yang memberikan agenda perhatian pada pertumbuhan komunitas kreatif di daerah. Artinya sebaiknya komunitas ekonomi kreatif tetap dibiarkan berjalan mandiri sementara pemerintah berperan sebagai partner pendukung dengan menelorkan kebijakan yang proaktif. Kesuksesan komunitas kreatif yang cukup populer dimana kebijakan pemerintah daerah memberi suasana kondusif seperti dicontohkan di Bandung yang berhasil dibangun akar rumput dalam program ekonomi kreatifnya dengan perhelatan kreatif Festival setiap momen tertentu. Kegiatan ini telah menelorkan branding Bandung yang diterima oleh pemerintah daerahnya sebagai official branding Bandung sekaligus konsep membangun Bandung sebagai creative city menunjukkan hal itu dapat bekerja dengan baik. Contoh

76

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

lain, gagasan creative economy banyak lahir didalam komunitas kreatif di Bali yakni mampu membangun budaya kreatif secara lebih meluas, nurturing local talent dan creative community member to grow, dan menanamkan kewirausahaan serta network bagi para pelaku kreatif. Di Bali, mengembangkan industri kreatif melalui komunitas juga merupakan sebuah upaya mencetak potensi unggul mengiringi tourism yang terlebih dulu telah membentuk pencitraan Bali.

PENUTUP Metode pendekatan yang inovatif bagi pembangunan ekonomi daerah dapat dilakukan melalui progtram Industri kreatif yang fleksibel dan berkelanjutan. Industri kreatif memiliki potensi besar di masa depan bagi daerah mengingat: Industri Kreatif merupakan pilar utama dalam mengembangkan sektor ekonomi kreatif yang memberikan dampak yang positif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Karakteristik industri kreatif cenderung berbeda dengan industri-industri yang sudah ada, karena inputnya sebagian besar bersifat intangible, yaitu idea dan kreativitas individu. Sehingga dianggap rendah capital. Ketika kewenangan pemerintahan pusat semakin banyak diberikan kepada daerah, maka pendekatan perencanaan ekonomi selain mengacu sistem inovasi nasional yang kokoh perlu juga di topang oleh sistem Inovasi Daerah (SIDA). Dalam hal ini kegiatan industri kreatif dapat diintegrasikan dalam sistem inovasi daerah. Untuk mendukung berjalannya industri kreatif-SIDA dengan baik, ada beberapa hal yang bisa di lakukan pemerintah daerah; al. (1) Mendukung pengembangan SDM kreatif daerah dengan memberikan pelatihan, pendidikan, dan sebagainya; (2) Mendukung kerja sama tripartit (industri, lembaga riset pemerintah, universitas) tingkat daerah, antar daerah. Menguatkan aktifitas dan fungsi institusi riset daerah untuk menjadi pendorong industri kreatif daerah dengan mempermudah terbentuknya klaster-klaster ekonomi kreatif di daerah; (3) Memindahkan sebagian dari fungsi riset pemerintah Pusat ke daerah dalam Balai Besar Industri (BBI) atau membentuk beberapa badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Daerah (BPPTD) dalam beberapa kawasan tertentu yang memiliki potensi industri kreatif; (4) Untuk mendukung terciptanya SIDA-Industri Kreatif yang baik perlu ada komunikasi yang intensif antara eksekutif di daerah, legislatif, lembaga pelaksana, lembaga pengawas, dan lembaga perumus dan koordinasi.

DAFTAR PUSTAKA Blakely, Edward. J (1994) Planning Local Economic Development. Theory and Practice, 2nd Sage Publication Chowdhury, Anis and Colin Kirkpatrick (2005) Development Policy and Planning, an Introduction to models and Techniques, NY:Routledge Depdagri (2007) Studi Industri Kreatif Indonesia, Jakarta Depdagri (2008), UK DCMS Task force 1998 Moelyono, Mauled (2010) Menggerakkan Ekonomi Kreatif antara Tuntutan dan Kebutuhan, Jakarta: Rajawali Press

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

77

Tarigan, Antonius dan Tatag Wiranto (2002) “Kemitraan bagi Pengembangan Ekonomi Lokal”, dalam Forum Inovasi, Capacity Building & Good Governance, Vol. 4: SeptemberNopember 2002 Wheeler, Stephen M (2004) Planning for Sustainability, Creating Livable, Equitable, and Ecological Communities, NY: Routledge

78

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

KERJASAMA ANTAR DAERAH DALAM PERSPEKTIF SOUND GOVERNANCE

Tjahjanulin Domai

Abstract: The recent decentralization and local autonomy policies in Indonesia has brought some implications such as the changing pattern of the relationship between the governmental levels and the greater authority on the local government, as well as the opening of the opportunity for the local to do interregional cooperation. However, Farazmand observes some barriers against this cooperation involving: untrustworthy, power domination, excessive expectation, political and cultural environment, religion, ethnic and racial.

Keywords: Decentralization, Intergovernmental Relation and Sound Governance

PENDAHULUAN Kerjasama Antar Daerah Dalam periode pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi, kerjasama antar daerah di Indonesia menunjukkan perkembangan yang demikian signifikan. Muncul dan berkembangnya bentuk-bentuk lembaga kerjasama ini merupakan respon terhadap perubahan pola relasi antar lapis pemerintahan dan kewenangan yang besar pemerintah daerah sebagai implikasi dari diterapkannya kebijakan desentralisasi di Indonesia (Pratikno dkk, 2007). Perubahan-perubahan ini semakin membuka lebar jalan bagi pemerintah daerah untuk melakukan kerjasama, baik dengan pemerintah daerah lain maupun dengan aktor non negara. Pada sisi yang lain, desentralisasi juga membuka tantangan dan peluang baru di ranah daerah, yang akan menjadi sangat sulit bagi daerah untuk meresponnya secara efektif tanpa terbangunnya suatu kerjasama yang memadai (Pratikno dkk, 2007). Sebagai contoh, peluang pengembangan ekonomi, misalnya pariwisata, yang berada dalam suatu kawasan daerah tertentu akan sangat tidak efektif pengelolaannya jika hanya dilakukan secara sendiri-sendiri. Bahkan tidak jarang pula yang malah menimbulkan konflik baru antar daerah. Senada dengan pendapat Pratikno dkk (2007) tersebut Paterson (2008) mengatakan banyak pemerintah lokal saat ini yang mencari metode baru untuk mengurangi pengeluaran dan menjaga kualitas jasa, mereview sistem layanan, menetapkan prioritas, dan menentukan layanan mana yang diberikan lewat tatanan alternatif.

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

79

Alternatif untuk pemberian jasa yang digunakan pemerintah lokal bisa meliputi: kontrak dengan perusahaan privat, organisasi sukarela, kelompok lingkungan, waralaba, subsidi kepada pemberi jasa langsung, penggunaan buruh berdonasi, penentuan ongkos dan beban user untuk menutup biaya jasa, dan negosiasi persetujuan kooperatif antarpemerintahan. Penggunaan persetujuan kooperatif untuk pemberian jasa adalah salah satu alternatif bagi pemerintah lokal. Paterson (2008) mengatakan kerjasama antar-pemerintah adalah sebagai tata cara yang digunakan antara satu atau lebih pemerintahan dalam mencapai tujuan bersama, pemberian jasa atau pemecahan masalah. Contoh dari kerjasama ini berkisar dari tindakan informal dan/atau pertukaran informasi atau peralatan, kepentingan pengadaan layanan bersama atau proyek pengairan, sampah, limbah, dan drainase bersama, sampai tatanan formal, termasuk persetujuan legal yang mengikat. Survey yang dijalankan New York State Department of State di tahun 1981 dan 1982 menunjukkan kooperatif formal dan informal dengan pemerintah lain. Kerjasama pembangunan dan pemanfaatan sumber daya antar daerah dimaksudkan agar dapat mengurangi kesenjangan antar daerah, mengendalikan konflik, meningkatkan pelayanan, pemberdayaan peran serta masyarakat dan meningkatkan efisien dan efektivitas pemanfaatan sumber daya, sehingga terwujud pembangunan yang serasi, selaras dan seimbang sesuai kedudukan, peran dan fungsinya dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi, keanekaragaman potensi masing- masing dalam satu manajemen terpadu. (Tasmaya, 2007). Dalam literatur disebutkan bahwa “kerjasama” memiliki derajat yang berbeda, mulai dari koordinasi dan kooperasi sampai pada derajat yang paling tinggi yaitu “collaboration” (Thomson, 2001; Thomson dan Ferry, 2006). Para ahli pada dasarnya menyetujui bahwa perbedaan terletak dalam kedalaman interaksi, integrasi, komitmen, dan kompleksitas dimana “cooperation” terletak pada tingkatan terendah, sedangkan “collaboration” pada tingkatan yang paling tinggi. (Keban, 2007). Ramses dan Bowo (2007) mengatakan kerjasama pada hakekatnya mengindikasikan adanya dua pihak atau lebih berinteraksi secara dinamis untuk mencapai suatu tujuan bersama. Dalam pengertian ini terkandung tiga unsur pokok yang melihat pada suatu kerangka kerja sama, yaitu unsur dua pihak atau lebih, unsur interaksi, dan unsur tujuan bersama. Jika satu dari tiga unsur tidak termuat dalam suatu obyek yang dikaji, dapat dianggap bahwa pada obyek tersebut tidak terdapat kerjasama. Unsur dua pihak, selalu menggambarkan suatu himpunan dari kepentingankepentingan yang satu sama lain saling mempengaruhi, saling interaksi untuk mewujudkan tujuan bersama urgen dilakukan. Apabila hubungan atau interaksi itu tidak ditujukan pada terpenuhinya kepentingan masing-masing pihak, maka hubungan dimaksud bukanlah suatu kerjasama. Suatu interaksi meskipun bersifat dinamis, tidak selalu berarti kerjasama. Suatu interaksi yang ditujukan untuk memenuhi kepentingan salah satu pihak, dan pada saat yang bersamaan merugikan kepentingan pihak- pihak lain yang terlibat dalam proses interaksi, juga bukan suatu kerjasama. Kerjasama senantiasa menempatkan pihak-pihak yang berinteraksi pada posisi yang seimbang, serasi dan selaras. Pelaksanaan kerjasama hanya dapat tercapai apabila diperoleh manfaat bersama bagi semua pihak yang terlibat didalamnya. Apabila suatu pihak dirugikan dalam proses

80

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

kerjasama, maka kerjasama tidak lagi terpenuhi. Dalam upaya mencapai keuntungan atau manfaat bersama dari kerjasama, perlu komunikasi yang baik antar semua pihak dan pemahaman yang sama terhadap tujuan bersama. Alasan lain dilakukannya kerjasama antar pemerintah daerah adalah: 1. Pihak-pihak yang bekerja sama dapat membentuk “kekuatan yang lebih besar”. Dengan kerja sama antar pemerintah daerah, kekuatan dari masing-masing daerah yang bekerja sama dapat “disinergikan” untuk menghadapi ancaman lingkungan atau permasalahan yang rumit sifatnya daripada kalau ditangani sendiri-sendiri. Melalui bekerja sama untuk mengatasi hambatan lingkungan atau mencapai tingkat produktivitas yang lebih tinggi. 2. Pihak-pihak yang bekerja sama dapat mencapai “kemajuan yang lebih tinggi”. Dengan bekerja sama masing-masing daerah akan menstransfer kepandaian, keterampilan, dan informasi, misalnya daerah yang satu belajar kelebihan atau kepandaian dari daerah lain. Setiap daerah akan berusaha memajukan atau mengembangkan diri dari hasil belajar bersama. 3. Pihak-pihak yang bekerjasama “dapat lebih berdaya”. Dengan kerja sama, masing-masing daerah yang terlibat lebih memiliki posisi tawar yang lebih baik, atau lebih mampu memperjuangkan kepentingannya kepada struktur pemerintahan yang lebih tinggi. Bila suatu daerah secara sendiri memperjuangkan kepentingannya, mungkin kurang diperhatikan, tetapi bila masuk menjadi anggota suatu forum kerjasama daerah, maka suaranya akan lebih diperhatikan. 4. Pihak-pihak yang bekerja sama dapat “memperkecil atau mencegah konflik”. Dengan kerja sama, daerah-daerah yang semula bersaing ketat atau sudah terlibat konflik dapat bersikap lebih toleransi dan berusaha mengambil manfaat atau belajar dari konflik tersebut. 5. Masing-masing pihak lebih “merasakan keadilan”. Masing-masing daerah akan merasa dirinya tidak dirugikan karena ada transparansi dalam melakukan hubungan kerjasama. Masing-masing daerah yang terlibat kerjasama memiliki akses yang sama terhadap informasi yang dibuat atau digunakan. 6. Masing-masing pihak yang bekerjasama akan memerlukan “keberlanjutan” penanganan bidang- bidang yang dikerjasamakan. Dengan kerja sama tersebut masing-masing daerah memiliki komitmen untuk tidak menghianati patnernya tetapi memelihara hubungan yang saling menguntungkan secara berkelanjutan. 7. Kerjasama ini dapat menghilangkan “ego daerah”. Melalui kerjasama tersebut, kecenderungan “ego daerah” dapat dihindari, dan visi tentang kebersamaan sebagai suatu bangsa dan negara dapat tumbuh (Keban, 2007). Selanjutnya Hamdi (2007) mengatakan bahwa: Pertama, setiap daerah dalam semua tingkat perkembangan, telah memiliki pemahaman bahwa akan memetik manfaat dari pengembangan jaringan kerjasama untuk lebih meningkatkan kemajuan daerahnya. Kedua, kerjasama tersebut berlangsung secara sukarela dan merupakan suatu kebutuhan atas dasar pemahaman bahwa terdapat saling ketergantungan atau saling pengaruhmempengaruhi antar daerah. Oleh karena itu untuk mengembangkan pemahaman dan

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

81

kesediaan bekerjasama dalam rangka pembelajaran untuk secara terus menerus membangun kapasitas tersebut diperlukan kepemimpinan pemerintah nasional dalam memotivasi pemerintah daerah untuk bekerjasama, terutama melalui instrumen kebijakan dan peraturan yang berskala nasional. Ramses dan Bowo (2007) mengatakan kerjasama antar pemerintah daerah otonom pada semua jenjang dan lembaga lainnya adalah kebijakan yang penting karena alasan sebagai berikut : 1. Pelaksanaan urusan-urusan yang bersifat lintas daerah otonom yang terkait dengan pelayanan masyarakat dapat efektif dan efisien jika dilaksanakan bersama secara sinergi antar daerah otonom. Aspek- aspek pelayanan masyarakat tertentu menjadi optimal jika dilaksanakan secara terpadu oleh daerah yang berbatasan 2. Solusi yang optimal atas masalah tata ruang, lalu lintas dan transportasi, penanggulangan sampah, penyediaan air bersih, penanggulangan banjir dan pelestarian daerah aliran sungai sebagai masalah bersama, hanya dapat dicapai melalui kerjasama. Hubungan sebab akibat pemanfaatan ruang, mobilitas penduduk dengan segala implikasinya menimbulkan masalah-masalah bersama yang harus diselesaikan secara bersama Berdasarkan kompleksitas masalah dan meluasnya tuntutan demokratisasi dan keterbukaan, maka kerjasama antar daerah otonom urgen agar penyelenggaraan pemerintahan menjadi lebih efektif, efisien dan responsif terhadap kebutuhan daerah otonom sekitar.

Bentuk Kerjasama Antardaerah Secara teoritis, istilah kerjasama (International Relation) telah lama dikenal dan dikonsepsikan sebagai suatu sumber efisiensi dan kualitas pelayanan (Rosen dalam Keban, 2007). Kerjasama telah dikenal sebagai cara yang jitu untuk mengambil manfaat dari ekonomi skala (economies of scales). Pembelanjaan atau pembelian bersama, misalnya, telah membuktikan keuntungan tersebut, dimana pembelian dalam skala besar atau melebihi “threshold points”, akan lebih menguntungkan dari pada dalam skala kecil. Dengan kerjasama tersebut biaya overhead (overhead cost) akan teratasi meskipun dalam skala yang kecil. Sharing dalam investasi, misalnya, akan memberikan hasil akhir yang lebih memuaskan seperti dalam penyediaan fasilitas dan peralatan, serta pengangkatan spesialis dan administrator. Kerjasama juga dapat meningkatkan kualitas pelayanan, misalnya dalam pemberian atau pengadaan fasilitas, dimana masing-masing pihak tidak dapat membelinya sendiri. Dengan kerjasama, fasilitas pelayanan yang mahal harganya dapat dibeli dan dinikmati bersama, seperti pusat rekreasi, pendidikan orang dewasa, transportasi. Kerjasama antar Pemerintah Daerah adalah suatu bentuk pengaturan kerjasama yang dilakukan antar pemerintahan daerah dalam bidang-bidang yang disepakati untuk mencapai nilai efisiensi dan kualitas pelayanan yang lebih baik. Secara historis, mekanisme kerjasama antar pemerintah lokal telah menjadi isu penting di negara maju (Henry dalam Keban 2007) dimulai dari bidang yang sangat terbatas seperti kepolisian dan pemadam kebakaran dimana antara satu kota dengan kota lain telah dilakukan perjanjian kerjasama saling bantu membantu menghadapi krisis seperti kebakaran dan bencana lainnya. Dalam perkembangan lanjutan, mekanisme

82

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

kerjasama ini tidak hanya diterapkan pada situasi “emergency” saja tetapi juga pada pengaturan kerjasama untuk membeli jenis-jenis pelayanan tertentu dari perusahaan swasta atau dari pemerintah lain, ataupun dari NGOs. Khusus “cooperative agreements” yang dilakukan antar Pemerintah Daerah semula lebih ditujukan pada (1) kegiatan tunggal, (2) berkenaan dengan pelayanan ketimbang fasilitas, (3) tidak bersifat permanen, (4) sebagai “stand-by provision” yang baru dilaksanakan bila kondisi tertentu terjadi, dan (5) diperkenankan/diijinkan oleh badan legislatif. Bentuk dan metode kerjasama antar Pemerintah Daerah meliputi (1) Intergovernmental Service Contract; (2) Joint Service Agreement, dan (3) Intergovernmental Service Transfer (Henry, 1995). Jenis kerjasama yang pertama dilakukan bila suatu daerah membayar daerah yang lain untuk melaksanakan jenis pelayanan tertentu seperti penjara, pembuangan sampah, kontrol hewan atau ternak, penaksiran pajak. Jenis kerjasama yang kedua di atas biasanya dilakukan untuk menjalankan fungsi perencanaan, anggaran dan pemberian pelayanan tertentu kepada masyarakat daerah yang terlibat, misalnya dalam pengaturan perpustakaan wilayah, komunikasi antar polisi dan pemadam kebakaran, kontrol kebakaran, pembuangan sampah. Jenis kerjasama ketiga merupakan transfer permanen suatu tanggung jawab dari satu daerah ke daerah lain seperti bidang pekerjaan umum, prasarana dan sarana, kesehatan dan kesejahteraan, pemerintahan dan keuangan publik. Sementara itu, ada juga pendapat lain yang menyatakan bahwa suatu kerjasama antar Pemerintah Daerah, dapat dilakukan dalam beberapa bentuk yaitu bentuk perjanjian dan bentuk pengaturan (Rosen dalam Keban, 2007). Bentuk-bentuk perjanjian (forms of agreement) dibedakan atas : a. Handshake Agreements, yaitu pengaturan kerja yang tidak didasarkan atas perjanjian tertulis b. Written Agreements, yaitu pengaturan kerjasama yang didasarkan atas perjanjian tertulis. Bentuk “handshake agreements” merupakan bentuk yang banyak menimbulkan konflik dan kesalahpahaman (misunderstanding), sementara bentuk yang tertulis dibutuhkan untuk melakukan program kontrak, kepemilikan bersama, atau usaha membangun unit pelayanan bersama. Hal-hal yang harus diucapkan dalam perjanjian tertulis ini meliputi kondisi untuk melakukan kerjasama dan penarikan diri, sharing biaya, lokasi, pemeliharaan, skedul, operasi dan aturan kepemilikan sumberdaya bersama, kondisi sewa, dan cara pemecahan konflik. Disisi lain menurut Rosen dalam Keban (2007) dalam pengaturan kerjasama (forms of cooperation Arrangements) terdiri atas beberapa bentuk yaitu: a. Constantia, yaitu pengaturan kerjasama dalam sharing sumberdaya, karena lebih mahal bila ditanggung sendiri-sendiri; misalnya pendirian perpustakaan dimana sumberdaya seperti buku-buku, dan pelayanan lainnya, dapat digunakan bersama-sama oleh mahasiswa, pelajar dan masyarakat publik, dari pada masing-masing pihak mendirikan sendiri karena lebih mahal. b. Joint Purchasing, yaitu pengaturan kerjasama dalam melakukan pembelian barang agar dapat menekan biaya karena skala pembelian lebih besar.

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

83

c. Equipment Sharing, yaitu pengaturan kerjasama dalam sharing peralatan yang mahal, atau yang tidak setiap hari digunakan. d. Cooperative Construction, yaitu pengaturan kerjasama dalam mendirikan bangunan, seperti pusat rekreasi, gedung perpustakaan, lokasi parkir, gedung pertunjukan, dan sebagainya. e. Joint Services, yaitu pengaturan kerjasama dalam memberikan pelayanan publik, seperti pusat pelayanan satu atap yang dimiliki bersama, dimana setiap pihak mengirim aparatnya untuk bekerja dalam pusat pelayanan tersebut. f. Contract Services, yaitu pengaturan kerjasama dimana pihak yang satu mengontrak pihak yang lain untuk memberikan pelayanan tertentu, misalnya pelayanan air minum, persampahan, dan sebagainya. Jenis pengaturan ini lebih mudah dibuat dan dihentikan, atau ditransfer ke pihak yang lain. Meskipun demikian, pengalaman menunjukan bahwa bentuk dan metode kerjasama di atas seringkali mengalami masalah dalam pelaksanaannya (Rosen, 1993). Karena berkaitan dengan keterlibatan masing-masing daerah yang memiliki jurisdiksi yang berbeda, maka terjadi kesulitan dalam pengaturan jadwal penggunaan sumberdaya yang disepakati dan pembebanan biaya untuk kerjasama, yang pada gilirannya sering memunculkan friksi atau konflik. Hal tersebut sering terjadi karena ada daerah merasa adanya pembebanan lebih (overcharge) terhadap dirinya, sementara yang lainnya merasa kurang mendapat pelayanan yang seharusnya ia terima. Masyarakat juga merasa terbebani bila lokasi pelayanan tersentralistis (gabungan) karena harus mengeluarkan biaya transport yang relatif lebih besar dibandingkan dengan ketika memiliki pelayanan sendiri. Disamping kesulitan transport sering diungkapkan masyarakat yang membutuhkan pelayanan, juga masyarakat merasa terasing bila dilayani oleh pihak-pihak baru. Pembelian secara terpusat melalui suatu kerjasama (joint purchasing) juga tidak luput dari kritikan. Standardisasi barang yang dibeli sering menjadi masalah, karena ada daerah yang merasa barang yang dibeli telah sesuai dengan standard keinginannya, sementara yang lain belum. Seringkali, terdapat kesulitan dalam memenuhi harapan dari pihak-pihak yang bekerjasama (Rosen, 1993). Di negara sedang berkembang, kerjasama antar Pemerintah Daerah sering nampak dalam kegiatan perencanaan pembangunan, seperti “Integrated Area Planning” (IAP). Bentuk ini merupakan terobosan untuk mengisi kekosongan atau kompleksitas dari masalah-masalah yang dihadapi karena tidak dapat ditangani dengan perencanaan pembangunan berdasarkan batas-batas wilayah administratif. Memang harus diakui bahwa selama ini kerjasama antar daerah belum nampak sebagai suatu kebutuhan. Padahal, berbagai permasalahan atau keputusan internal suatu Kabupaten atau Kota ataupun juga Provinsi sering berkaitan dengan permasalahan atau keputusan di luar batas wilayahnya. Pengalaman menunjukan bahwa banyak permasalahan pada suatu Kabupaten atau Kota atau juga Provinsi justru muncul ke permukaan karena adanya kebijakan yang berasal dari daerah lain seperti sampah, kriminalitas, kependudukan, pendidikan, kesehatan. Pendek kata, suatu perencanaan atau kebijakan yang dibuat oleh suatu Kabupaten atau Kota, atau juga Provinsi, sering kurang memperhitungkan dampaknya bagi Kabupaten atau Kota, ataupun Provinsi lain. Dalam kondisi seperti ini, fungsi perencanaan yang bersifat integratif dan koordinasi horisontal merupakan kunci utama.

84

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

Munculnya model “integrated area planning” ini diharapkan dapat mengurangi berbagai konflik antar wilayah administratif, yaitu dengan mengefektifkan pembangunan sektor-sektor tertentu dan institusi yang berhubungan dengan sektor tersebut dalam suatu area (dengan mengesampingkan batas-batas wilayah administratifnya). Model ini muncul sebagai reaksi terhadap kekurangan-kekurangan perencanaan sektoral khususnya koordinasi antar sektor, dan juga terhadap pemenuhan kebutuhan bagi area geografis khusus (yang mungkin tidak sesuai dengan batas-batas wilayah administratif yang ada) seperti daerah aliran sungai (DAS) dan pembangunan pedesaan yang kemudian dikenal dengan “integrated rural development”. Meskipun model ini cukup diandalkan pada masa lalu, tetapi terdapat hambatan penting yang perlu diperhatikan. Hambatan tersebut menyangkut masalah struktur (organisasi) yang menangani “integrated area development”. Struktur yang ada adalah struktur yang formal yang dibentuk sesuai unit-unit politik dan administratif yang ada, seperti dinas-dinas dan lembaga-lembaga teknis masing-masing Kabupaten/ Kota atau Provinsi. Struktur formal ini tidak dirancang untuk menangani hal tersebut, akibatnya model ini kurang mendapat dukungan otoritas formal, yang berarti sulit diimplementasikan dan sulit berhasil. Jalan keluar yang pernah ditawarkan adalah (1) membentuk suatu struktur yang merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah pusat yang ditempatkan di area yang bersangkutan, atau juga dibuat oleh pemerintah lokal atau perusahaan swasta yang diberi status khusus; (2) membentuk tim konsultan perencanaan dari luar area, untuk mempersiapkan perencanaannya; dan (3) melakukan reformasi struktur organisasi yang ada dan memperbaiki kemampuan para staff yang ada untuk mempersiapkan dan mengimplementasikan rencana dan memperkuat hubungan horisontal antar sektor serta memperlemah hubungan vertikal.

KEBIJAKAN KERJASAMA ANTARDAERAH DALAM KAJIAN NORMATIF Kerjasama antar daerah secara formal telah diberikan payung hukum melalui Undangundang Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah pasal 87 ayat (1) yang menyatakan bahwa beberapa daerah dapat mengadakan kerjasama antar daerah yang diatur dengan keputusan bersama, (2) daerah dapat membentuk badan kerjasama antar daerah, (3) daerah dapat mengadakan kerjasama dengan badan lain yang diatur dengan keputusan bersama, (4) keputusan bersama dan/atau badan kerjasama, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) yang membebani masyarakat dan daerah harus mendapatkan persetujuan DPRD masing-masing. Selanjutnya pada pasal 88 ayat (1) daerah dapat mengadakan kerjasama yang saling menguntungkan dengan lembaga/ badan di luar negeri, yang diatur dengan keputusan bersama, kecuali menyangkut kewenangan pemerintah, sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (2) tata cara, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh pemerintah. Peluang adanya kerjasama Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 diganti dengan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 pasal 195 ayat (1) yang menyatakan bahwa dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, daerah dapat mengadakan kerjasama dengan

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

85

daerah lain yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik, sinergi dan saling menguntungkan. Selanjutnya pada pasal 196 lebih menegaskan perlunya kerjasama pelayanan publik. Ayat (1) pelaksanaan urusan pemerintahan yang mengakibatkan dampak lintas daerah ditata bersama oleh daerah terkait, ayat (2) untuk menciptakan efisiensi, darah wajib mengelola pelayanan publik secara bersama dengan daerah sekitarnya untuk kepentingan masyarakat, ayat (3) untuk pengelolaan kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), daerah membentuk badan kerjasama, ayat (4) apabila daerah tidak melaksanakan kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) pelayanan publik tersebut dapat dilaksanakan oleh pemerintah. Kebijakan kerjasama tersebut di atas diperkuat dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 50 tahun 2007 tentang tata cara pelaksanaan kerjasama daerah. Khusus pasal 4 pelayanan publik adalah pelayanan yang diberikan bagi masyarakat oleh pemerintah yang berupa pelayanan administrasi, pengembangan sektor unggulan dan penyediaan barang dan jasa rumah sakit, pasar, pengelolaan air bersih, perumahan, perparkiran dan persampahan. Lebih lanjut dikatakan bahwa kerjasama daerah merupakan sarana untuk lebih memantapkan hubungan dan keterikatan daerah yang satu dengan daerah yang lain, menyerasikan pembangunan daerah, mensinergikan potensi antar daerah serta meningkatkan pertukaran pengetahuan teknologi dan informasi. Melalui kerjasama daerah diharapkan dapat mengurangi kesenjangan daerah dalam penyediaan pelayanan umum khususnya yang berada di wilayah terpencil, perbatasan antar daerah dan daerah tertinggal. Obyek yang dapat dikerjasamakan meliputi seluruh urusan yang menjadi kewenangan daerah otonom, aset daerah dan potensi daerah serta penyediaan pelayanan umum. Pelaksanaan kerjasama harus berpegang pada prinsip efisiensi, efektivitas, sinergi, saling menguntungkan, kesepakatan bersama, itikat baik, persamaan kedudukan, transparansi, keadilan dan kepastian hukum. Obyek kerjasama merupakan faktor utama yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan kerjasama untuk selanjutnya menentukan pilihan bentuk kerjasama yang akan dilaksanakan. Dalam rangka mewujudkan keserasian pembangunan yang bertumpu pada laju pertumbuhan antar daerah di wilayah Perkotaan Yogyakarta yang semakin pesat, serta untuk mengantisipasi permasalahan yang timbul di wilayah Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta, maka perlu mengadakan kerjasama pengelolaan prasarana dan sarana perkotaan, tindak lanjut tersebut ketiga pemerintah daerah mengeluarkan keputusan bersama Bupati Bantul, Bupati Sleman dan Walikota Yogyakarta Nomor: 18 tahun 2001, Nomor: 01/PK-KDH/2001, dan Nomor: 01 tahun 2001 tentang kerjasama pengelolaan prasarana dan sarana perkotaan antar Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta. Apabila dicermati secara teliti pada dasarnya keempat regulasi tersebut memiliki prinsip dasar yang sama dan saling melengkapi. Kerjasama antar daerah dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik, sinkronisasi program kegiatan, sinergi dan saling menguntungkan serta untuk mengatasi permasalahan bersama untuk daerah.

86

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KERJASAMA ANTAR DAERAH DALAM KAJIAN EMPIRIK Kebijakan yang diambil dalam melaksanakan kerjasama antar daerah meliputi kerjasama dengan daerah perbatasan dan kerjasama dengan daerah lain yang tidak berbatasan. Kajian kerjasama daerah dengan daerah yang berbatasan, dilakukan terutama dengan penekanan untuk menyelesaikan dan mengantisipasi timbulnya masalah perbatasan serta mengoptimalkan dan mengefisiensikan penggunaan sumberdaya dan sumber dana daerah. Kerjasama yang dilakukan oleh pemerintah Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul, sebagai implementasi dari kerjasama ketiga daerah tersebut adalah aktivitas untuk mengatasi masalah-masalah aglomerasi perkotaan seperti jalan, air bersih, air limbah, transportasi, persampahan, dan drainase. Diharapkan dengan terjalinnya kerjasama ketiga daerah ini dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas pencapaian kepentingan bersama dalam pengelolaan kawasan Perkotaan Yogyakarta. Menurut Suryakusumo (2008) keterbatasan masing-masing daerah merupakan suatu peluang untuk bekerjasama dengan daerah sekitarnya. Dalam hal ini masing-masing daerah dapat mengambil keuntungan dari pada melakukan secara sendiri. Kerjasama antar daerah akan dapat terlaksana jika terdapat dua atau lebih daerah yang berinteraksi untuk mencapai tujuan bersama dalam posisi yang setara, seimbang serasi dan selaras dan dituangkan kedalam nota kesepahaman. Kenyataannya kerjasama antar daerah dibeberapa daerah, bisa dikatakan berhasil dilaksanakan. Karena dengan adanya kerjasama antar daerah, setiap masalah yang muncul bisa diatasi bersama. Sehingga masing-masing pemerintah daerah bisa mensinergikan konsep pembangunannya. Terbentuknya Badan Kerjasama antar daerah dibeberapa daerah memang cukup bervariasi. Karena dasar terbentuknya pada nota kesepahaman yang dibuat masingmasing daerah. Contohnya BKAD di kawasan Banjarnegara, Banyumas, Purbalingga, Cilacap dan Kebumen. Badan kerjasama juga dibentuk di Kabupaten Boyolali, Sukoharjo, Karangayar, Wonogiri, Sragen dan Klaten. Lembaga kerjasama yang diberi nama Pengembangan Ekonomi Wilayah atau Regional Economic Development terbentuk atas kerjasama pemerintah Indonesia dengan pemerintah Jerman. Kerjasama lintas wilayah provinsi juga terbentuk di Kabupaten Pacitan (Jawa Timur), Wonogiri (Jawa Tengah) dan Gunung Kidul (Daerah Istimewa Yogyakarta), dengan nama “Pawonsari” kerjasama antar kota Surabaya dan Kabupaten Sidoarjo dengan nama “Su-Si”, kerjasama Kota Bogor dengan Kota St. Louis, Amerika Serikat. Kerjasama Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Kota Hue Vietnam, Provinsi Thua Thien Hue. Kerjasama juga dilakukan oleh Provinsi Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Riau dan Kalimantan Barat. Mencermati uraian tersebut di atas sejalan dengan dimensi-dimensi sound governance dari Farazmand (2004) yaitu dimensi proses yang mengatur interaksi stakeholders yang terlibat dalam kerjasama, dimensi struktur, proses ini menjelaskan bagaimana governance dijalankan, dimana struktur ini mendefinisikan dan memberikan arahan bagi proses.

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

87

Sound governance memiliki sebuah struktur yang padat, legitimat, kompeten dan dinamis dalam bentuk dan substansinya. Dimensi konstitusi adalah dokumen pembimbing fundamental yang merupakan cetak biru bagi governance dan konstitusi adalah sumber legitimasi. Dimensi organisasi dan institusi mengungkapkan institusi tanpa organisasi yang jelas dikatakan rapuh dan cenderung hancur sebaliknya organisasi tanpa institusi yang rapuh dan berpeluang kecil untuk bertahan. Karena itu dimensi ini menjadi komponen integral bagi sound governance. Dimensi manajemen dan kinerja adalah ibarat sebuah lem, tepatnya transmisi sistem yang membuahkan hasil yang diinginkan. Manajemen harus didukung oleh pengetahuan, teknologi, kapasitas, sumberdaya dan keterampilan. Dimensi kebijakan ini memandu dan memberikan arahan bagi institusi dan organisasi governance untuk mencapai tujuan dan target yang diinginkan. Dimensi kesadaran dan nilai mewakili sistem nilai yang unik dan tidak biasa dalam struktur/proses governance misal sistem governance yang tidak sehat, korup dan miskin biasanya tergantung pada kekuatan eksternal, tingkat kompleksitas, keragaman dan intensitasnya rendah. Sound governance memiliki nilai-nilai yang sehat dan dinamis, misalnya: keadilan, kesetaraan dan integritas. Dimensi etik, akuntabilitas, dan transparansi merupakan hal yang penting dalam sound governance. Etika yang implementatif dapat mencegah potensi penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi, juga mencegah orientasi kerja birokrasi yang hanya murni ekonomis dan administratif belaka. Birokrasi bekerja untuk mencapai efektivitas dan efisiensi dan berorientasi kepada kepentingan publik. Dimensi sektor dari governance dikatakan penting karena difokuskan pada sektor spesifik, seperti industri, pendidikan, kesehatan, dan transportasi, dalam dimensi ini diperlukan adalah partisipasi langsung dari masyarakat, manajemen yang handal, pengetahuan dan skill dalam hal kinerja organisasi. Kerjasama antar daerah adalah sebagai bentuk respon atas kompleksitas persoalan yang berkembang harus dibangun dalam kerangka yang komprehensif, dengan melibatkan banyak pihak yang terkait. Oleh karena itu setiap kerjasama antar daerah harus didasarkan pada kepentingan bersama, maka proses pembentukan kerjasama antar daerahpun haruslah bersifat partisipatif dan fleksibel sehingga dapat melahirkan konsensus. Konsesus ini tidak akan terbentuk tanpa adanya pengakuan kesetaraan, kesukarelaan dan otonomnya setiap pihak yang terlibat. Sehingga, kerjasama antar daerah merupakan bentuk relasi secara horizontal antar daerah. Nilai kerjasama antar daerah yang berbasis old public administration berbeda dengan nilai New Public Management dan nilai sound governance. Kerjasama antar daerah yang berbasis old public administration pola organisasinya memiliki nilai pola hubungan yang bersifat hirarkhis, yang melihat forum organisasi kerjasama sebagai unit yang koheren dengan tujuan yang jelas, prosesnya terstruktur dari atas, diarahkan pada tujuan tertentu, dalam pengambilan keputusan didominasi oleh pusat sebagai aktor tunggal. Kerjasama antar daerah yang berdasarkan New Public Managemen lebih didasarkan pada inter relasi antar daerah yang masing-masing daerah bersifat bebas, fleksibel dan mandiri. Untuk melakukan relasi satu daerah dengan daerah yang lain. Selain itu tidak ada struktur kewenangan yang bersifat hirarkhis dan terpusat. Dalam

88

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

kerjasama antar daerah yang berbasis New Public Management lebih menekankan pada pembuatan “performance” indikator sebagai ukuran dalam kerjasama antar daerah sehingga diperoleh nilai ekonomis, efisien dan efektif. Kerjasama antar daerah yang berdasarkan “sound governance” ada empat aktor, dan sepuluh dimensi. Keempat aktor membangun inklusifitas relasi politik antar negara, masyarakat, dunia bisnis dan kekuatan internasional. Dalam kerjasama antar daerah keempat aktor tersebut saling berinteraksi dalam posisi yang setara, mandiri, saling menguntungkan, bersifat partisipatif dalam aktivitasnya didukung oleh dimensi proses, struktur, kesadaran dan nilai, konstitusi, organisasi dan institusi, manajemen dan kinerja, kebijakan, sektor, globalisasi, dan etika, akuntabilitas dan transparansi. Sound Governance

Old Public Administration

New Public Management

Dari gambar tersebut di atas dapat dilihat ada hubungan secara konseptual antara ketiganya, namun bila dilihat dimensinya Sound Governance sebenarnya adalah pikiranpikiran yang lebih kritis dan dinamis. Untuk lebih jelasnya ketiga konsep tersebut di atas dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 1. Perbedaan Karakteristik Old Public Administration, New Public Management dan Sound Governance Old Public Administration  Hirarkhis  Tujuan jelas  Keputusan dari pusat  Aktor tunggal pemerintah

New Public Management  Hubungan bebas  Fleksibel  Mandiri  Kewenangan tidak hirarkhis  Efisien, ekonomi dan efektif

Sound Governance  Setara  Mandiri  Saling menguntungkan  Partisipatif  Demokratis

BEBERAPA MASALAH POKOK IMPLEMENTASI KERJASAMA ANTAR DAERAH Kerjasama antar pemerintah daerah harus dilihat sebagai suatu kebutuhan yang tidak terelakkan, sebagaimana dikatakan oleh Peterson (2008) kerjasama antar pemerintah untuk mencari metode baru untuk mengurangi beban pengeluaran, menjamin kualitas pelayanan jasa, menetapkan prioritas dan menentukan layanan mana yang diberikan lewat

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

89

kerjasama. Lebih lanjut dikatakan kerjasama antar pemerintah sebagai tata cara yang digunakan antara dua atau lebih pemerintahan dalam mencapai tujuan bersama, pemberian jasa atau pemecahan masalah. Contoh dari kerjasama ini berupa tindakan informal, pertemuan informasi atau peralatan, sampai tatanan formal, termasuk persetujuan legal yang mengikat. Lebih lanjut dikatakan bahwa pejabat municipal di New York memilih otoritas luas untuk membuat persetujuan antar pemerintah. Seperti dikatakan pemerintah bisa menjalankan fungsi atau jasa yang dulunya dijalankan secara individu, tapi sekarang secara bersama. Kerjasama antar pemerintah adalah sebuah langkah signifikan. Meski kondisi yang berbeda bisa menciptakan kerjasama, beberapa pertimbangan mendasar mendapat perhatian pemerintah yang melakukan persetujuan kerjasama sebagai berikut : 1) Ekonomi skala, sejumlah layanan yang diberikan pemerintah mempermudah pencapaian ekonomi skala dimana biaya unit dari layanan tersebut sekarang ketika volume layanan bertambah, layanan ini memberikan peluang bagi kerjasama. Contoh layanan di pekerjaan umum, pengelolaan air limbah, fasilitas kapital, air bersih, persampahan, sering mengurangi biaya unit untuk operasi hingga pada biaya yang optimal. 2) Distribusi sumberdaya alam yang tidak sama, seperti lahan, air bersih, transportasi, jalan dan drainase, sumberdaya ini dibutuhkan oleh pemerintah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, contoh kerjasama layanan air bersih, tempat pembuangan akhir sampah. 3) Kegiatan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat suatu pemerintah daerah tidak dapat dibatasi oleh wilayah administratif. Contoh masalah drainase, pembuangan sampah, jalan, transportasi, pelayan kesehatan, pendidikan, hal semacam memerlukan kerjasama antar pemerintah daerah yang berbatasan. Dalam pelaksanaan kerjasama antar pemerintah daerah, yang menjadi cara kerja dominan dan yang penting diperhatikan adalah membangun konsensus antar aktor. Oleh karena itu, bentuk kerjasama seharusnya dibangun dengan fleksibel, sehingga peluang perubahan dan penyesuaian selalu terbuka dalam pelaksanaan kerjasama. Namun dalam kenyataannya ada beberapa hambatan dan pelaksanaan kerjasama tersebut antara lain sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5.

Kecenderungan “ego daerah” lebih menonjol dalam membangun kerjasama antar pemerintah daerah Saling dan ketidakpercayaan antar aktor yang terlibat dalam kerjasama Gap sumberdaya yang dimiliki oleh pemerintah daerah yang bekerjasama Kecenderungan adanya dominasi suatu daerah terhadap daerah yang lain dalam pengambilan keputusan terhadap sektor yang dikerjasamakan Visi-misi yang berbeda antar pemerintah daerah

Permasalahan- permasalahan implementasi kerjasama tersebut di atas sejalan dengan pemikiran Farazmand (2004) dalam sound governance. Bahwa ada beberapa hambatan dalam implementasi membangun kerjasama antara lain sebagai berikut : (1) Ketidakpercayaan adalah hambatan utama dalam membentuk kerjasama antar aktor yang terlibat dalam kerjasama

90

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

(2) Kecenderungan struktur kekuasaan untuk mendominasi secara global agar yang bekerjasama menjadi patuh (3) Harapan yang terlalu tinggi terhadap keberhasilan kerjasama yang dilaksanakan (4) Kondisi lingkungan potensial antar aktor ini berkaitan dengan idiologi, politik dan budaya (5) Agama dan budaya menjadi penghambat kerjasama antar pemerintah (6) Etnis dan rasial juga menjadi hambatan dalam implementasi/ membangun kerjasama antar pemerintah

KERJASAMA KEBIJAKAN

ANTARPEMERINTAH

DAERAH

SEBAGAI

PILIHAN

Dalam kebijakan publik model apa yang ditempuh suatu negara atau pemerintah daerah dalam rangka menyelesaikan masalah secara bersama-sama tidak lain dari bentuk pilihan kebijakan. Dalam memecahkan masalah lewat kerjasama, ada kekurangan, ketidakefektifan, ketidakefisienan bahkan kegagalan akan dapat dilihat dari tepat tidaknya kebijakan yang dipilih, dengan melihat pada relung kebijakan yang paling mendasar, maka dapat dilihat dari sepuluh dimensi dari Sound Governance, salah satunya berkaitan dengan “Policy”, yang memberikan panduan, arahan dan kendali yang jelas bagi dimensi proses, struktur dan manajemen. Salah satunya adalah eksternal dari organisasi governance, dan ini berasal dari otoritas legislatif dari rakyat. Jenis kebijakan ini memandu dan memberikan arahan bagi institusi dan organisasi governance untuk mencapai tujuan dan target yang diinginkan. Tipe kedua kebijakan adalah yang internal organisasi dan institusi governance, ini adalah kebijakan organisasi atau panduan kepada peran yang mendefinisikan dan menetapkan aturan, regulasi, prosedur dan nilai yang digunakan untuk menghasilkan kinerja organisasi dalam misi dan tujuan Sound Governance. Secara bersama, kebijakan eksternal dan internal menjadi mekanisme kendali bagi kinerja organisasi Sound Governance. Semakin tinggi keterlibatan warga negara dalam perumusan Policy semakin tinggi kredibilitas dan legitimasi governance system. Kerjasama antar pemerintah daerah sebagai pilihan kebijakan, mengingat bisa saja pemerintah-pemerintah daerah dihadapkan pada masalah tertentu tidak memanfaatkan untuk bekerjasama dengan pemerintah daerah yang lain dalam rangka mencari solusi yang diinginkan masih banyak pemerintah daerah di Indonesia tidak menggunakan sebagai suatu pendekatan dalam memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi. Hubungan antar pemerintah salah satu konsep pilar karena adanya suatu janji, karena kalau pilihan kebijakan itu dengan benar maka dimungkinkan pemerintah daerah itu memainkan peran kunci dalam rangka menjamin keseluruhan sistem pemerintah daerah itu dikuasai dan digunakan untuk kesejahteraan masyarakat daerah baik untuk kepentingan internal dan eksternal, maka kerjasama antar pemerintah daerah harus direncanakan secara terintegrasi. Sebagai suatu konsep hubungan antar pemerintah masih banyak para pakar belum sepakat apa sebenarnya hubungan antar pemerintah. Menurut Kamus Webster’s :

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

91

Hubungan antar pemerintah adalah keberadaan, atau timbulnya kerjasama atau secara bersama-sama dua pemerintah atau jenjang atau level antar pemerintah, adanya dua atau lebih pemerintah menjalin kerjasama. Bagaimana memahami hubungan antar pemerintah tersebut menurut Wahab (2009) mencoba menjelaskan suatu model cara pemerintah daerah menjalin kerjasama satu sama lain. Adapun model tersebut : 1. The Coordinate Authority Model Adapun cirinya adalah : a. Pemerintah federal/ pusat dan daerah keduanya secara positif memiliki kewenangan yang sama (setara) b. Pemerintah federal/pusat dan daerah mempunyai kewenangan otonom di masing-masing wilayahnya c. Hanya batas-batas yang tegas antara kekuasaan pusat dan daerah, satu sama lain tidak bisa mencampuri d. Pemerintah daerah, kota, kabupaten, provinsi mengikuti sistem satu kesatuan (unitary) Kritik terhadap The Coordinate Authority Model adalah : a. Tidak ada batas yang tegas antar kewenangan pusat dan daerah, demikian sebagian besar kekuasaan bulat jadi dinikmati baik oleh pusat, pemerintah daerah b. Aliran kewenangan kekuasaan dalam sistem ini tidak dengan sendirinya punya arah yang jelas misal pusat ke daerah atau provinsi ke daerah-daerah meskipun pemerintah atasannya mempunyai kewenangan yang dijamin oleh undangundang atas pemerintah lokal 2. The Inclusive Authority Model Adapun cirinya adalah : a. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah sama-sama dipengaruhi oleh keputusan-keputusan yang dibuat oleh para aktor politik di tingkat nasional dan dipengaruhi juga oleh kepentingan-kepentingan ekonomi nasional. b. Kekuasaan lembaga-lembaga di luar lembaga nasional seperti misal Gubernur, anggota dewan sangat terbatas. Contoh Amerika Serikat mengikuti pola ini sistem politik diatur secara hirarkhi dipengaruhi oleh pusat. Tumbuhnya peluang kesempatan kerjasama hampir dipastikan terjadi pada tingkat pusat dan daerah. (Negara bagian-pemerintah provinsi-pemerintah daerah) kombinasi antara anggota provinsi dan daerah cenderung menyamai anggaran yang dibutuhkan pada tingkat pusat. 3. The Overlaving Authority Model Adapun cirinya adalah : a. Kekuasaan tersebut menyebar secara luas tidak semua tingkatan pemerintah itu saling tergantung

92

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

b. Sinerginya tinggi masing-masing pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/ kota mempunyai wilayah-wilayah otonom yang eksklusifitasnya terbatas masingmasing tingkatan pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota c. Antar hubungan diantara pemerintah atau lingkungan pemerintah dijalin dalam suatu yang kompetitif maupun kooperatif 4.

Federal dan Negara Bagian yang Memiliki Otonom di Wilayah Masing-Masing Adapun cirinya adalah : a. Tujuan pemerintah federal bersifat egaliter dan universal b. Tujuan pemerintah daerah itu terbatas bersifat partikularistik hanya terbatas pada wilayahnya sendiri

Apa dasar, basis hubungan antar pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah daerah adalah : 1. 2. 3.

Pemerintah pusat jelas pemegang uang, Pemerintah pusat itu butuh sumberdaya manusia, sumberdaya keorganisasian, instansi-instansi tidak punya membutuhkan pihak yang menerima uang pemerintah Pemerintah provinsi, kabupaten dan kota punya sumberdaya manusia dan sumberdaya keorganisasian dan instansi yang beragam pemerintah daerah butuh uang untuk itu

Kalau dilihat model apapun pada hubungan antar pemerintah dan ditempatkan sebagai bentuk wujud kebijakan yaitu bahwa rasanya tidak mungkin memahami yang menyangkut model hubungan antar pemerintah jika kita tidak memahami keunikan yang tersembunyi keberhasilan dan kegagalan kalau mengimplementasikan kebijakan itu. Konsep hubungan antar pemerintah untuk suksesnya memahami benar konsep “partnership” sebagaimana dikatakan oleh Hetifah (2009) Partnership adalah perspektif baru yang merupakan penjabaran dari governance. Partnership diperlukan untuk melipat gandakan dukungan dari sektor publik dan sektor privat dalam upaya membangun komunikasi. Pemerintah lokal terlibat dalam partnership karena mereka harus memanfaatkan sumberdaya mereka yang terbatas sebaik mungkin. Banyak program membangun komunikasi yang tidak dapat dilakukan sendiri oleh pemerintah maupun oleh lembaga non profit. Mereka menyadari bahwa membangun komunikasi akan lebih efektif jika dilakukan bersama. Menurut Wahab (2009) partnership membutuhkan komitmen yang tinggi agar supaya proses perubahan yang diinginkan mampu untuk memperkuat posisi masingmasing. Sebagai contoh dalam partnership masing-masing pihak harus mematuhi ketentuan-ketentuan yang sudah diatur dalam peraturan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, maupun ketentuan-ketentuan dalam Memorandum of Understanding mereka, karena tidak lain itu menyangkut peran dan tanggung jawab masing-masing. Misal kerjasama antar pemerintah daerah tidak dirumuskan yang kuat untuk menjalankannya maka besar kemungkinan terjadi kemacetan atau kegagalan dalam proses pengambilan keputusan, dan menyepakati prosedur yang disepakati untuk menjalankannya. Dengan kata lain Memorandum of Understanding dan bentuk prosedur serta negosiasi yang lain perlu dijabarkan, dirasionalkan, dipahami dengan tepat dan benar oleh masing-masing pemerintah daerah agar dapat menghindari penggunaan yang

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

93

sia-sia atas sumberdaya atau pemberian jasa layanan kepada masyarakat yang berkualitas rendah atau capaian-capaian hasil yang tidak memuaskan, karena itu perlu dilakukan secara teratur dan konsisten evaluasi terhadap pelaksanaan peran dan tanggung jawab masing-masing secara lebih terbuka oleh pemerintah yang menjalankan kerjasama tersebut dan dalam evaluasi tersebut perlu juga melibatkan masukan dari masyarakat. Harapan orang awam dan policy maker masalah-masalah yang ada dapat mudah dipecahkan lewat kerjasama tersebut. Pengambilan keputusan akan mulus tujuan tercapai secara efisien dan efektif. Pastinya ada beberapa contoh Network Governance yang fleksibel dan proaktif dengan dampak nyata kepembuatan kebijakan publik. Tapi masalahnya adalah bahwa network governance, menggunakan proses sosial dan politik yang banyak dan terjadi dalam konteks politik dan ekonomi yang tidak terkontrol. Realitanya banyak hal yang bisa salah dan menghambat terjadinya network governance yang efektif: yaitu (1) sulit memotivasi aktor untuk ikut serta karena adanya biaya transaksi yang tinggi dan adanya peluang kecil dari seorang aktor untuk mendapatkan pengaruh politik riil, (2) tidak mungkin menyelesaikan konflik internal dalam network bisa mencapai solusi bersama, (3) penciptaan network governance yang mandiri juga dianggap sulit karena minimnya legitimasi dan sumberdaya, (4) kegagalan pemerintah untuk memahami tata cara pelaksanaan network governance atau perlawanan politik dari aktor network governance kegangguan eksternal, (5) perbedaan persepsi dari network pemerintah dan network governance. Permasalahan tersebut di atas berlawanan dengan pemikiran dari Farazmand (2004) berkaitan dengan dimensi proses, dalam sound governance melibatkan proses pemerintahan, dimana terjadi interaksi seluruh elemen atau stakeholder yang ada, dimana proses menjelaskan bagaimana governance bekerja. Disamping itu pula berlawanan dengan dimensi struktur dimana struktur adalah kumpulan elemen, aktor, peraturan, prosedur, kerangka pengambilan keputusan konstitutif. Sound governance memiliki struktur yang solid, berbekal informasi, sah, kompeten, dan dinamis dalam bentuk maupun substansi, misal dalam public governance pejabat-pejabat yang terpilih dan ditunjuk, stakeholder, lembaga swadaya masyarakat adalah bagian dari struktur pemerintahan. Merumuskan dan mengimplementasikan solusi memuaskan bagi kebijakan yang tidak jelas dan kompleks jelas membutuhkan: (1) agar semua aktor yang relevan dan yang terpengaruh bisa terlibat dalam negosiasi network, (2) agar aktor mau mengumpulkan sumberdayanya. (3) agar mereka sepakat dalam konsepsi sifat masalah, ragam opsi dan dalih pembuatan keputusan yang paling penting. Tidak ada jaminan bahwa kebutuhan ini bisa dipenuhi. Realitanya, ada serangkaian hambatan yang harus diatasi untuk menghasilkan penyelesaian masalah yang sesuai dengan “network governance”. Partisipasi aktor bisa terhambat oleh sifat tertutupnya network governance. Schapp dan Van Twist (1997) dalam Sorensen dan Torfing mengatakan empat bentuk ketertutupan dimana aktor tertentu mengabaikan aktor lainnya. Pertama, ada ketertutupan sosial yang tidak disadari jika aturan, norma dan prosedur yang meregulasi akses ke network governance ternyata mengabaikan aktor tertentu dari network. Kedua, ketertutupan sosial bisa nyata jika aktor network menyadari bahwa beberapa aktor relevan diabaikan. Ketiga, ada ketertutupan kognitif yang tidak disadiri, dalam arti bahwa

94

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

kerangka aktor network yang diskursif, aktor lain diabaikan dari negosiasi dalam network governance. Terakhir ketertutupan kognitif bisa jadi sadar ketika aktor network mempertimbangkan efek eksklusi kerangka referesinya, tapi tidak mau merubahnya untuk menghasilkan untuk menghasilkan partisipasi dalam network governance. Hal ini sejalan dengan pemikiran Farazmand (2004) dalam dimensi kognisi dan nilai dimana kognisi dan nilai mewakili sistem nilai yang unik atau tidak biasa dalam struktur dan proses governance. Misalnya: sistem governance yang tidak sehat, korup dan miskin biasanya tergantung pada kekuatan eksternal, tingkat kompleksitas, keberagaman dan intensitasnya rendah. Sound governance memiliki nilai-nilai yang sehat dan dinamis misalnya keadilan, kesetaraan dan integritas.

DAFTAR PUSTAKA Abdul Wahab, Solichin. (1997). Analisis Kebijaksanaan: Dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara, Edisi Kedua. Bumi Aksara. Jakarta. Farazmand Ali (ed). (2004). Sound Governance Policy and Administrative Innovation. Praeger, Westport, Connecticut. London. Hamdi, M. (2007). Organisasi Kerjasama Antar Daerah. Jurnal Ilmu Pemerintah Indonesia, Jakarta. Henry, N. (1995). Public Administration and Public Affair. Sixth Edition. Engle Wood Cliffs, N.J. Prentice- Hall. Hetifah, SJ. S. (2009). Inovasi, Partisipasi dan Good Governance. Yayasan Obar Indonesia. Jakarta. Keban, Jeremias, T. (2007). Membangun Kerjasama Antar Dalam Era Otonomi. Jurnal Ilmu Pemerintahan Indonesia, Jakarta.

Pemerintah

Daerah

Paterson, DA. (2008). Intergovernmental Cooperation James A. Coon Local Government Technical Series. Department of State, Lorraine A. CortesVazquez. Secretary of State New York State. Pratikno (ed). (2007). Kerjasama Antar Daerah: Kompleksitas dan Tawaran Format Kelembagaan. Program S2. PLOD. UGM. Yogyakarta. Ramses, A. dan Bowo Fauzi. (2007). Kerjasama Antar Daerah Format Pengaturan dan Pengorganisasian. Jurnal Ilmu Pemerintahan Indonesia. Jakarta. Rosen, E.D. (1993). Improving Public Sector Productivity: Concept and Practice. London, Sage Publications, International Educational and Professional Publisher. Sorensen, Eva and Torfing. Jacob (2007) Theories of Democratic Network Governance Polgrave Mac Milan Hound Mills Basingstoke, Hampshire RG21 GXS and 175 F1 7th Avenue, New York, N.Y. 10010. Suryokusumo, F.A. (2008). Pelayanan Publik dan Pengelolaan Infrastruktur Perkotaan. Penerbit Sinergi Publishing, Yogyakarta. Tasmaya, R.H. (2007). Kerjasama Antar Jabodetabekjur (Dalam atas Masalah Bersama). Jurnal Ilmu Pemerintahan Indonesia. Jakarta.

Rangka

Solusi

Thomson. (2007), Thomson dan Ferry (2006). Dalam Keban. Membangun Kerjasama antar Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi, Jurnal Ilmu Pemerintah. MIPI. Jakarta.

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

95

SEGITIGA INOVASI: ANALISIS MEMBANGUN INOVASI PADA PEMERINTAHAN DAERAH

Irwan Noor18

Abstrak: Inovasi menjadi bagian integral di dalam membangun kemajuan suatu daerah. Namun sayangnya, tidak semua daerah terpicu untuk mengembangkannya. Tiga faktor yang diidentifikasi berpengaruh di dalam mengembangkan inovasi pada pemerintah daerah, yaitu kepemimpinan, iklim organisasi, dan lingkungan politik. Dengan analisis segitiga inovasi serta mempergunakan pendekatan sistemik, tulisan ini mengajukan sebuah model di dalam mendesain inovasi pemerintahan daerah, yang disebut dengan LPC Model.

PENDAHULUAN Dalam ranah administrasi publik, konsep inovasi mulai merebak sekitar tahun 1990-an. Perkembangan ini dipicu dengan terjadinya pergeseran paradigma administrasi publik, dari classic administration ke new public management (NPM). Sebuah konsep yang memiliki banyak nama. seperti: Managerialism (Pollit)19; Market-Based Public Administration (Lan and Rosenbloom)20; Post-Bureaucratic Paradigm (Barzeley)21; Entrepreneurial Government (Osborne and Gaebler)22. Dalam hal ini Christopher Pollitt (1993) melihat New public management sebagai contoh 'managerialism', yang dianggap lebih mirip sebuah ideologi daripada teori. Secara teoritis, konsep NPM merupakan adopsi nilai-nilai bisnis yang dicobaterapkan dalam sektor publik. Oleh karenanya, nilai-nilai kompetisi menjadi sentra perbincangan dalam banyak kajiannya. Istilah Steering, not rowing”, sebagaimana dikemukakan Osborne and Gaebler (1993) seakan menjustifikasi sektor publik untuk mempraktekan nilai bisnis dalam perkembangan organisasinya. Keberhasilan pemerintah lokal (sektor publik) diukur dari nilai-nilai kompetitif daerah bersangkutan. Istilah daya saing daerah (local competitive advantage) kemudian muncul beriringan dengan maraknya keberhasilan beberapa pemerintah lokal. Keberhasilan beberapa pemerintah lokal di Selandia Baru, Canada, maupun di Indonesia (Gorontalo, Sragen, Jembrana)

18 19

20

21

22

96

Dosen Jurusan Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya Pollitt, Christopher, 1993, Managerialism and the public services: the Anglo-American experience, Oxford, Blackwell Lan, Zhiyong and Rosenbloom, David H,1992, Public Administration in Transition?, Public Administration Review, November/December, Vol. 52 No. 6 Michael Barzelay, 1992, Breaking through bureaucracy: a new vision for managing in government, University of California Press David Osborne, Ted Gaebler, 1993, Reinventing government: how the entrepreneurial spirit is transforming the public sector, Plume

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

kemudian dijadikan kiblat keunggulan konsep tersebut. Adapun pilar memicu keunggulan bersaing atau kompetitifnya suatu daerah adalah keberhasilannya dalam inovasi di pemerintah lokal tersebut. Berangkat dari analogi keberhasilan beberapa pemerintah lokal karena inovatif, menjadikan konsep “inovasi” merebak dan menjadi isu di dalam mengukur keberhasilan suatu daerah. Gaung mantra inovasi didukung pula oleh pembenaran secara teoritis, yuridis, maupun praktis. Secara teoritis atau konseptual, beberapa laporan tentang makna pentingnya inovasi banyak dipublikasikan. Seperti Publin Report (2005), yang berisi beragam hasil kajian inovasi di sektor publik, seperti: On the differences between public and private sector innovation (D9); The structure and size of the public sector in an enlarged Europe (D14); Policy learning, what does it mean and how can we study it? (D15); Studies of innovation in the public sector, a theoretical framework, (D16) ; Report on the Publin surveys (D17); Innovation in the social sector – case study analysis (D18); Innovation in the health sector – case study analysis (D19). SCALES, Research Report H200303 (2003), Leadership as a determinant of innovative behaviour, CESIS (2007), Paper No.105, Innovation Policy Instruments. Atau beberapa kajian yang dilakukan beberapa ahli. Shapiro, (2002:7), misalnya mengungkapkan: The winners will be the government that find ways to release their innovative potential and apply it to the way they think and the way they work, sedangkan Groot (2007), menyatakan bahwa: “Innovative local government: making public services more responsive”. Farazmand (2004:19) mengungkapkan “Without policies and administrative innovation, governance fall into decay and effectiveness, loses capacity to govern, and becomes a target of criticism and failure”. Jones, sebagaimana dikutip Martin (993:2), menyatakan bahwa: local government’s main role is to help local communities to learn to make strategic choices by balancing the costs and benefits of efficiency, effectiveness, economic growth, quality of life, social justice, participation and legitimacy. This role, one suspects, demands a high level of innovation if local government organizations are to be effective in their work Sedangkan Mulgan dan Albury, (2003:2), menyatakan: Innovation should be a core activity of the public sector: it helps public services to improve performance and increase public value; respond to the expectations of citizens and adapt to the needs of users; increase service efficiency and minimise costs. Moreover the public sector has been successful at innovation in the past - effective government and public services depend on successful innovation – to develop better ways of meeting needs, solving problems, and using resources and technologies Secara yuridis, khususnya pada pemerintah daerah di Indonesia, Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, khususnya pasa 2 ayat 3 maupun Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, jika dielaborasi lebih jauh peraturan tersebut mengarah pada kemampuan daerah untuk kompetitif. Sedangkan inovasi berdasarkan beberapa studi yang telah dilakukan (Ebner, 2004; Lin, 2007) merupakan bagian integral bagi pencapaian kompetitif.

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

97

Secara praktis, keberhasilan beberapa daerah di Indonesia, seperti Kabupaten Jembrana dalam melaksanakan program inovasi terbukti secara signifikan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Hasil studi yang dilakukan PPKSD FISIP UI dan Yayasan TIFA (2004) dalam kurun waktu 3-4 tahun, Jembrana, dengan inovasi dalam kebijakan kesehatan, dapat mengurangi keluarga miskin sebesar 44 persen (Tahun 2001 19,4 berkurang menjadi hanya 10,9 pada tahun 2003). Prestasi lainya adalah kematian bayi per seribu lahir hidup pada tahun 2001 sebesar 15,25 berkurang menjadi 8,39 atau berkurang 45 persen. Inovasi bidang pendidikan, dapat mengurangi tingkat drop out (do) sekolah dasar pada tahun 2001 menjadi 0,02 atau berkurang 75 persen. Selain itu beberapa daerah telah banyak pula melakukan inovasi program untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Kabupaten Banjarnegara melalui Pembenahan Manajemen Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Banjarnegara. Kabupaten Deliserdang melalui pembentukan LEPP-M3 sebagai upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir. Kabupaten Gianyar melalui Gianyar Sejahtera (Tifa,2004). Kabupaten Sumba Timur melalui pelatihan aparatur pemerintah desa (Apkasi,2003 dalam Tifa 2004). Selain itu, Desember 2007, Kementerian Dalam Negeri memberikan penghargaan tiga daerah paling inovatif (setelah disaring dari 36 daerah – 10 daerah – hingga jadi 3 daerah), yaitu: Kabupaten Sragen merupakan daerah paling inovatif dalam hal manejemen pengelolaan pemerintahan daerah. Kabupaten Jembrana, inovatif dalam pelayanan publik, sedangkan Kabupaten Kutai Timur menjadi daerah paling inovatif dalam pemasaran promosi investasi daerah dan perizinan investasi (Harian Berita Sore, 2007). Selain itu, dampak signifikan bagi dari inovatif tergambar pada peningkatan Indeks Pembangunan Manusia daerah bersangkutan. Makna pentingnya inovasi sebagaimana diungkapkan di atas, menjadikan inovasi bagian integral bagi pembangunan sebuah daerah. Namun dibalik itu semua, tidak semua pemerintah daerah di Indonesia inovatif. Inovasi belum menjadi bagian integral pada aktivitas pemerintahan, terutama pemerintahan lokal di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Maret 2009, The Boston Consulting Group (BCG), the National Association of Manufacturers (NAM), dan The Manufacturing Institute (MI) mempublikasikan Global Innovation Index, yang merupakan ukuran tingkat inovasi suatu negara, mengungkapkan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia tidak seberuntung negara –negara maju. Rata-rata berada dalam rangking menengah ke bawah. Pertanyaan yang dapat diajukan adalah “mengapa pemerintah lokal (daerah), terutama di Indonesia kurang inovatif?” Pertanyaan ini sebagai reaksi makna pentingnya inovasi tersebut bagi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat suatu daerah. Sebagaimana dinyatakan di atas, inovasi memiliki landasan teoritis yang kuat. Didukung secara yuridis di dalam pengembangnnya. Banyak contoh (praktis) daerah-daerah menjadi maju karena inovasi. Pertanyaan inilah yang dicoba elaborasi dalam artikel ini, yang didasarkan pada hasil penelitian yang penulis lakukan.

METODE SEGI TIGA INOVASI Secara teoritis, ada dua faktor dominan di dalam memahami inovasi pemerintahan lokal, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Secara empiris Kim menunjukkan dengan pengujian secara multiple regression analysis, bahwa faktor internal dan eksternal berhubungan secara signifikan serta positip terhadap perkembangan inovasi. Dalam faktor internal, dua komponen sangat berperan di dalam pengembangan inovasi, yaitu

98

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

kepemimpinan (gaya dan visi) dan iklim organisasi (struktur organisasi dan pemberian imbalan). Selman (2004) mengungkapkan: Innovation and leadership are closely related. Leadership always has some focus on bringing about a better future. In this sense, leaders are necessarily innovators. Pada pandangan lain, dalam studi yang dilakukan Gumusluoglu (2009:2) dinyatakan, bahwa “leadership has important effects on creativity at both the individual and organizational levels”. Beberapa studi yang dilakukan, seperti Senge (1990), Yoon (2006); Gumusluoglu (2009); Paulsen et.al (2009); Makri and Scandura (2010), umumnya menunjukkan pentingnya kedudukan pemimpin di dalam mengembangkan inovasi pada organisasi yang dipimpimnya. Berkenaan dengan konsep kepemimpinan dalam inovasi, beberapa kajian memusatkan perhatian akan pentingnya gaya (leadership style) dan visi kepemimpinan (leadeship vision) dalam menumbuhkan kembangkan inovasi. Hansenfeld (2010:495), misalnya menyatakan : “Innovation process require different leadership style”. “Leadership styles have an important impact on innovativenss” (Katrinli, 2009:121). Pernyataan Bossink (2004:211) “The leadership styles and their characteristsics relate to process and product innovations”. Pada pandangan lain Jung, et.al (2003) maupun Zaccaro (2001) menyatakan bahwa gaya kepemimpinan adalah salah satu faktor kunci dalam mempromosikan kinerja inovatif. Sedangkan Daft (2008:434) menyatakan “the leadership style of the top exucutive sets the tone for how effective organization is at acontinuous adaption and innovation”. Sedangkan keterkaitan visi kepemimpinan dengan inovasi dikemukakan oleh Robertson (2002). Sedangkan Hitt et.all (2007:428) dalam menjelaskan kaitan antara visi kepemimpinan dengan inovasi menyatakan: “Effective leadership and shared values promote integration and vision for innovation”. Faktor internal kedua yang sangat erat bagi perkembangan inovasi adalah iklim atau budaya organisasi. Menurut Tushman (2006), budaya organisasi terletak di jantung inovasi. a deeper understanding of how values and norms induce innovative behaviour of individuals and firms is still lacking (Hartmann, 2006) organizational culture can foster motivation to innovate by stressing the importance of innovation and defining the way to behave innovatively. (Hartmann, 2006). Martin (2000) mengungkapkan: “A culture of innovation is seen as essential if local government organisations are to effectively manage and survive in ever-changing environments”. Oleh karenanya, A culture of innovation provides an opportunity for local government to respond to pressing local needs within legislative and financial constraints. Adapun untuk membentuk budaya inovasi di perlukan kepemimpinan yang sangat bagus dalam arti ia mampu berkomunikasi dengan apa yang dia kelola, baik langsung maupun tidak langsung. Gumusluoglu dan İlsev (2009) menyebutkan “Leadership has been suggested to be an important factor affecting innovation. A number of studies have shown that leadership positively nfluences organizational innovation”. Pada bagian mereka mengungkapkan “Innovation is defined as the successful implementation of creative ideas within an organization .It has been suggested that leadership is among the most important factors affecting innovation” Salah satu faktor yang jarang dikaji dalam membangun inovasi pada pemerintah lokal adalah lingkungan politik (supra dan inpra struktur politik), sebagai faktor eksternal. Padahal lingkungan politik merupakan faktor yang sangat berperan di dalam merumuskan maupun di dalam pengimplementasian sebuah kebijakan di dalam pemerintah daerah. UU

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

99

12 tahun 2008, sebagai revisi UU 32 tahun 2004, menunjukkan peran lingkungan politik di dalam kehidupan pemerintah daerah di Indonesia, terutama di dalam memilih kepala daerah (pemimpin daerah). Berkenaan dengan peran pentingnya lingkungan politik ini dikemukakan Doner (2009:2), dengan mengutip pendapat Bates (1995), political leaders or “ruling elites” are thus key to the creation of institutional capacities, whether in the bureaucracy, the private sector, or public–private networks. Pernyataan ini senada dengan pandangan Parker dalam laporan IdeA (2009:19): “essential condition for innovation is that of political leadership and support”. Hal ini dikarenakan, sebagaimana dikemukakan Hambleton (2009:106), politicians can play a powerful role in how particular issues are framed, articulating why they matter, and creating popular support for new approaches. When innovation is needed not only in how services are delivered, but also in the very relationship between citizens, professionals and the state, public service managers need the support and the engagement of politicians as well Dengan demikian, lingkungan politik, di samping memiliki peran sebagai faktor pengaruh di dalam mendesain inovasi di pemerintahan daerah, ia juga menjadi faktor pengungkit di dalam mendesain inovasi. Dengan bahasa lain, lingkungan ekternal banyak memberikan pengaruh yang signifikan bagi pengembangan inovasi suatu organisasi. Berangkat dari tiga komponen di atas, kepemimpinan, iklim organisasi dan lingkungan politik, dapat dikemukakan bahwa inovasi pada pemerintahan lokal sangat dipengaruhi oleh tiga faktor tersebut. Dengan mengadopsi model yang dikembangkan Johannessen (2009)23, inovasi dapat digambarkan dalam segitiga, seperti gambar 1 berikut:

23

100

Johannessen, Jon-Arild (2009), A systemic approach to innovation: the interactive innovation model,Kybernetes, Vol. 38 Nos 1/2, pp. 158-176

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

Gambar 1. Innovation as Interactive Learning: a Systemic Model Gambar 1 di atas menunjukkan bahwa inovasi pemerintahan daerah dipengaruhi oleh tiga faktor secara sistemik, Untuk membuktikan model konseptual di atas, dilakukan penelitian di daerah kabupaten Jembrana. Pilihan daerah didasarkan keberhasilan kabupaten Jembrana sebagai salah satu daerah yang paling inovatif di Indonesia. Analisis sistem dipergunakan dalam kegiatan penelitian ini. Dengan mengikuti alur pemikiran yang dikemukakan Sterman (2000), yaitu (1) Problem Articulation: The Importance of Purpose; (2) Formulating a Dynamic Hypothesis; (3) Formulating a Simulation Model; (4) Testing, dan (4) Policy Design and Evaluation, dilakukan analisis sistem dengan bantuan program Stella.

LPC MODEL: TEMUAN PENELITIAN Simulasi tiga komponen dengan sistem dinamis memberikan petunjuk, kendatipun iklim organisasi tidak langsung memberikan pengaruh pada pertumbuhan inovasi, namun pengabaian terhadap faktor ini akan memberikan pengaruh negatip bagi pertumbuhan inovasi. Berbeda dengan dua faktor lainnya, yaitu kepemimpinan dan lingkungan politik, sangat berperan bagi pertumbuhan inovasi. Pertumbuhan inovasi secara eksponensial mengikuti perkembangan kedua faktor tersebut. Eksponensial positip maupun negatip dipengaruhi secara langsung oleh kedua faktor tersebut. Hal ini digambarkan lebih lanjut pada grafik di bawah ini.

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

101

Gambar 2. Analisis Sistem Dinamis terhadap Inovasi Kepemimpinan yang memberikan nilai positip di dalam perkembangan inovasi sangat dipengaruhi oleh faktor gaya kepemimpinan, visi kepemimpinan yang inovatif dan partai politik pemenang pemilu. Adapun gaya kepemimpinan (leadership style) maupun Visi kepemimpinan (leadership vision) dipengaruhi oleh dukungan politik terhadap kepala daerah dan berpengaruh positip bagi iklim organisasi. Demikian pula dengan iklim organisasi yang memberikan pengaruh bagi pertumbunan inovasi suatu pemerintahan daerah, dipengaruhi oleh faktor imbalan dan struktur organisasi maupun gaya kepemimpian kepala daerah. Dimana masing-masing faktor sangat dipengaruhi oleh partai politik pemenang pemilu. Dengan demikian, faktor supra maupun infra struktur politik, yang merupakan faktor bagi lingkungan politik, merupakan faktor krusial untuk mendesain inovasi suatu pemerintahan daerah. Temuan ini menunjukkan bahwa analisis di dalam mendesain inovasi pemerintahan daerah sangat didukung oleh faktor tersebut. Dengan demikian, temuan dalam penelitian ini memberi petunjuk akan kebenaran kontruksi teoritis yang diajukan dalam penelitian ini. Pertama. Inovasi pemerintahan daerah sangat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal, yang terdiri dari kepemimpinan (visi dan gaya kepemimpinan) dan iklim organisasi (struktur dan pemberian imbalan) serta faktor eksternal, yaitu lingkungan politik (supra dan inpra struktur politik). Penelitian ini memberikan kontribusi di dalam penguatan pandangan teoritis yang dibangun sebelumnya dan memperjelas hipotesis dari Yoon (2006) “leadership is a key factor for the success of innovation”. Hal ini dikarenakan pemimpin adalah aktor sentral yang berperan dalam pengembangan inovasi. Seorang pemimpin yang memiliki visi dan gaya kepemimpinan yang memahami lingkungan dimana ia berada. Visi kepemimpinan seorang pejabat daerah adalah visi yang berangkat dari pemahaman akan potensi daerah yang dilandasi oleh nilai-nilai kemasyarakatan. Tanpa pemahaman hal tersebut, visi terkadang hanya menjadi kebutuhan administratif tanpa perwujudan yang nyata. Namun sebaliknya, pemimpin yang memahami nilai di atas, maka akan memunculkan dorongan untuk mewujudkannya. Keberhasilan pemerintahan daerah Kabupaten Jembrana dalam berinovasi dilandasi oleh visi Bupati Jembrana yang didasari oleh nilai-nilai kemasyaraatan dan nilai potensi daerah yang ada. Oleh karenanya, dalam berinovasi tidak dijumpai inovasi dalam bidang parawisata. Kendatipun jika diperhatikan provinsi Bali selalu mengandalkan bidang parawisata. Namun, inovasi di Jembrana lebih diarahkan pada perbaikan-perbaikan nilai dasar kemasyarakatan. Hal ini disebabkan secara sosial ekonomi masyarakat di Kabupaten Jembrana lebih rendah

102

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

dibanding daerah yang ada di provinsi Bali. Pemahaman akan nilai kemasyarakatan sebagai visi kepemimpinan Bupati Jembrana menjadikan inovasi dalam bidang pendidikan, kesehatan maupun kepemerintahan berhasil dengan baik. Ini sama artinya, inovasi pada pemerintahan daerah lebih banyak berhasil jika pejabat di daerah dapat memahami kebutuhan dan nilai yang ada di masyarakat Faktor kedua yang perlu diperhatikan di dalam mendesain inovasi adalah pemahaman akan iklim organisasi, khususnya dalam varian struktur organisasi dan kebutuhan karyawan yang berada di pemerintahan. Pemahaman kedua varian ini sebenarnya pemahaman akan indikasi vertikal dan horinzontal. Seorang pemimpin di daerah, khususnya dalam kapasitasnya sebagai pejabat di daerah tidak terlepas dari dua kutub arah tersebut. Sebagai seorang pejabat, ia tidak terlepas dalam kaitannya dengan pemerintah pusat. Oleh karenanya perhatian terhadap struktur organisasi sebenarnya refleksi dari kepatutan daerah terhadap pemerintahan pusat. Desentralisasi bukan berarti pemerintah daerah terlepas penuh terhadap pemerintah pusat. Dalam koridor negara kesatuan, desentralisasi masih ternaungi oleh negara kesatuan yang terkoordinir oleh pemerintah di atasnya, baik provinsi maupun pemerintah pusat. Varian kedua yang membawa dampak cukup signifikan bagi iklim organisasi adalah perhatian terhadap karyawan yang ada di lingkungan pemerintahan daerah. Pembenahan mesin birokrasi tanpa memperhatikan nilai-nilai kemanusian karyawan yang ada di lingkungan organisasi tersebut menjadikan karyawan sebagai mesin birokrasi yang kaku. Oleh karenanya perlu perhatian terhadap karyawan dalam bentuk pemberian motivasi yang bersifat instrinsik pada karyawan. Dalam hal ini dapat berwujud pemberian reward bagi karyawan yang inovatif. Perhatian organisasi terhadap mesin birokrasi ini menjadikan karyawan dihargai. Penghargaan dapat menumbuhkan kreativitas. Faktor inilah awal berkembangnya nilainilai inovatif dalam organisasi. Faktor ketiga yang perlu diperhatikan adalah lingkungan politik. Di dasarkan pada uji statistik maupun simulasi terhadap masing-masing faktor, ternyata faktor lingkungan politik memiliki kepekaan yang sangat signifikan bagi pertumbuhan inovasi. Ketidak-seimbangan di dalam kondisi lingkungan politik sangat berpengaruh bagi pertumbuhan inovasi. Dalam bahasa lain, lingkungan politik adalah faktor yang sangat krusial bagi pengembangan nilai-nilai inovasi. Sebagai pengungkit, jika faktor politik berjalan dalam kondisi yang stabil, maka akan memberikan pengaruh positip bagi perkembangan yang cukup pesat bagi inovasi. Namun, jika faktor politik berjalan daam ketidak seimbangan, yaitu dalam arti sebagai disruption factors, maka inovasi yang dicanangkan tidak akan berjalan. Faktor politik inilah yang perlu mendapat perhatian bagi komponen pemerintah daerah. Kemajuan daerah bukan tanggung jawab pemerintah daerah semata. Lingkungan politik (partai politik maupun lembaga legislatif) mempunyai tanggung jawab dan beban moral bagi kemajuannya. Inovasi tidak akan berjalan dalam kondisi lingkungan yang tidak kondusif. Perhatian terhadap faktor inilah sering terbaikan. Hal ini terpampang dari kebijakan yang dilakukan pemerintah. Kebijakan inovasi lebih terarah pada membangun pemerintah daerah inovatif, bukan membangun inovasi pemerintahan daerah. Dua konsep ini memiliki makna yang berbeda. Jika membangun pemerintahan daerah inovatif bermakna perombakan akan struktur, pola, budaya organisasi pemda agar

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

103

mampu menghasilkan sesuatu yang inovatif (ini membutuhkan waktu yang cukup lama), maka membangun inovasi pemerintahan berarti mendesain cara yang dapat diterapkan di pemerintahan daerah dengan tujuan agar dapat diterapkan di pemerintahan daerah. Dalam hal ini, tanpa terjadi perombakan struktur, budaya dan organisasi pemerintahan daerah. Berangkat dari pengertian di atas, penelitian yang dilakukan ini, dengan mempergunakan segitiga inovasi, mengungkapkan sebuah model di dalam membangun inovasi pemerintahan daerah yang disebut dengan LPC Model, yaitu Leadership, Political and Climate Model.Model ini digambarkan sebagai berikut:

Political Environment

Local Government Innovation

Organization al Climate

Leadership

Gambar 3. LPC Model LPC Model di atas merupakan kontruksi hasil temuan lapangan yang didasarkan pada model konseptual yang diajukan di atas (gambar 1). Model pengembangan inovasi bagi pemerintah lokal (daerah) dilihat dari hubungan yang bersifat sistemik dari berbagai faktor, baik internal maupun ekstenal. Khusus pada faktor eksternal, yaitu lingkungan politik, baik supra maupun infra struktur politik, dipandang sebagai faktor yang sangat krusial bagi pengembangan inovasi pada pemerintahan daerah. Jika tingkat kerentanan sistemik inovasi pada lingkungan politik yang tidak stabil cukup tinggi, maka muncul kelambatan dalam pertumbuhan inovasi. Oleh karenanya, ada dua kemungkinan yang dapat dilakukan berkenaan dengan kondisi ini. Pertama, ketika kerentanan inovasi dalam lembaga pemerintah rendah, sedangkan lingkungan politik relatif stabil, maka reformasi kelembagaan di tubuh pemerintah perlu dilakukan. Sebaliknya, ketika iklim inovasi di lembaga pemerintah cukup baik, namun lingkungan politik kurang stabil, maka reformasi politik perlu dilakukan. Dalam hal ini reformasi politik bermakna penataan kelembagaan politik yang memiliki kemampuan menyerap aspirasi dan mampu mengimpelmentasikan harapan publik. Dalam hal ini, perlu pembenahan terhadap UU politik, baik lembaga legislatif maupun partai politik, khususnya berkaitan dengan peran dan kedudukannya terhadap pemerintah daerah, perlu dicerna lebih lanjut. Dan ini tentunya perlu kebesaran dan keberanian untuk merubahnya. Jika tidak, capaian daerah yang inovatif boleh jadi hanya sebatas persyaratan politik demi memenuhi UU pemerintahan semata.

104

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

PENUTUP Inovasi merupakan kosa kata yang menjadi bagian integral bagi pemerintah daerah. Ia dibutuhkan tidak hanya semata sebagai pemenuhan tuntutan paradigma dalam kajiankajian administrasi publik, tetapi telah menjadi tuntutan dalam hidup dan kehidupan bermasyarakat. Berangkat dari paparan di atas, ada tiga komponen yang perlu memperhatikan di dalam membangun inovasi pada pemerintahan daerah di Indonesia. Pertama dibutuhkannya kepala daerah (pimpinan) yang memiliki entrepreneurship visión, yaitu seorang pemimpinan daerah yang mampu membaca nilainilai kemasyarakatan yang ada. Di samping itu, untuk mencapai nilai pertama ini dibutuhkan gaya kepemimpina yang meletakan dirinya dalam berbagai lingkugan. Untuk itu dibutuhkan gaya kepemimpinan situasional. Berkenaan dengan hal ini, ada ada dua perilaku yang perlu diperhatikan seorang pemimpin, yaitu perilaku tugas dan perilaku hubungan. Kedua, iklim organisasi. Kendatipun komponen ini tidak begitu besar pengaruhnya di dalam membangun inovasi, namun satu faktor yang sangat penting untuk diperhatikan, yaitu pemberian imbalan (kompensasi) bagi karyawan yang inovatif. Nilai ini menjadi penting jika dikaitkan dengan motivasi karyawan di dalam menumbuhkan inovasi dalam organisasi. Pemberian imbalan menjadi persyarat bagi pemerintah daerah di dalam memicu inovasinya. Pemberian imbalan kepada karyawan merupakan faktor pendorong muncul ide-ide kreatif dan inovatif. Ketiga, lingkungan politik. Komponen ini merupakan faktor yang sangat krusial di dalam membangun inovasi. Kegagalan di dalam memahami lingkungan politik, menjadikan inovasi yang telah dicanangkan pemerintah daerah tidak akan terwujud. Supra dan infra struktur politik adalah faktor pengungkit bagi terlaksananya inovasi. Kondisi kondusif antara kepala daerah dengan lingkungan politik merupakan pemicu utama di dalam mendesain inovasi. Sebaliknya, kegagalan yang terjadi di pemerintah daerah di dalam inovasinya lebih banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan politik yang tidak kondusif.

DAFTAR PUSTAKA Andreas Hartmann, (2006) "The role of organizational culture in motivating innovative behaviour in construction firms", Construction Innovation: Information, Process, Management, Vol. 6 Iss: 3, pp.159 – 172 Bates, Robert H. 1995. Social Dilemmas and Rational Individuals: An Assessment of the New Institutionalism. In The New Institutional Economics and Third World Development, John Harriss, Janet Hunter and Colin Lewis, eds., 27-48. New York: Routledge. Bossink, Bart A.G, 2004, Effectiveness of innovation leadership styles: a manager’s influence on ecological innovation in construction projects, Construction Innovation; 4: 211–228 CESIS (Centre of Excellence for Science and Innovation Studies), 2007, Innovation Policy Instruments, Electronic Working Paper Series, Swedish Governmental Agency Daft, Richard L., 2008, Organization Theory and Design, South-Western Cengage Learning 2191 Natorp Boulevard, Mason, USA David Osborne, Ted Gaebler, 1993, Reinventing government: how the entrepreneurial spirit is transforming the public sector, Plume Doner, Richard F., Allen Hicken, Bryan K. Ritchie, 2009, Political Challenges of Innovation in the Developing World, Review of Policy Research, Volume 26, Numbers 1–2

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

105

Ebner, Alexander, 2004, Innovation Policies and Locational Competitiveness : Lessons from Singapore, Journal of Technology Innovation 12, 2 Farazmand, Ali, 2004, Sound Governance: Policy and Administrative Innovations, Praeger Publisher, 88 Post Road West, New York Groot, Lucy de, 2007, New Local Government Network Conference, I&DeA: Improvement and Development Agency, 15 November, http://www.idea.gov.uk/idk/core/page.do?pageId=1 Gumusluoglu, Lale, 2009, Transformational Leadership and Organizational Innovation: The Roles of Internal and External Support for Innovation, Journal of Product Innovation Management, Vol. 26, pp. 264-277, 2009 Gumusluoğlu, Lale; Ilsev, Arzu, (May 2009), Transformational Leadership and Organizational Innovation: The Roles of Internal and External Support for Innovation, Journal of Product Innovation Management, Volume 26, Number 3, May 2009 , pp. 264-277(14) Hambleton, Robin, 2009, In Parker, civic leadership and public service innovation more than good ideas: the power of innovation in local government, Idea, http://www.idea.gov.uk/idk/aio/9524940 Hartmann, Andreas, 2006, The role of organizational culture in motivating innovative behaviour in construction firms, Construction Innovation; 6: 159–172 Hasenfeld,Yeheskel, 2010, Human Services as Complex Organizations, Sage Publications Ltd, United Kingsom Hitt, Michael A. R. Duane Ireland,Robert E. Hoskisson, 2007, Strategic management: competitiveness and globalization 7ed, Thomson Higher Education, Mason, USA Johannessen, Jon-Arild (2009), A systemic approach to innovation: the interactive innovation model, Kybernetes, Vol. 38 Nos 1/2, pp. 158-176 Jung, D.I., Chow, C. and Wu, A, 2003, The role of transformational leadership in enhancing organizational innovation: hypotheses and some preliminary findings, Leadership Quarterly, Vol. 14 Nos 4/5, pp. 525-44. Katrinli, Alev, Gulem Atabay, Gonca Gunay, Burcu Guneri, and Ahenk Aktan,2009, Innovativeness: Is It a Function of the Leadership Style and the Value System of Entrepreneur? In Neslihan Aydogan, Innovation Policies, Business Creation and Economic Development, Springer Science, Business Media, LLC, New York Lan, Zhiyong and Rosenbloom, David H,1992, Public Administration in Transition?, Public Administration Review, November/December, Vol. 52 No. 6 Lin, Chieh-Yu, 2007, Factors affecting innovation in logistics technologies for logistics service providers in China, Journal of Technology Management in China, Vol. 2 No.1, pp.22-37 Makri, Marianna; Terri A. Scandura, , February 2010, Exploring the effects of creative CEO leadership on innovation in high-technology firms, The Leadership Quarterly, Volume 21, Issue 1Pages 75-88 Martins, E.C, and Terblance F, 2003, Building Organizational Culture that Stimulates Creativity and Innovation, European Journal of Innovation Management, Volume 6, Number 1, pp. 64-74 Michael Barzelay, 1992, Breaking through bureaucracy: a new vision for managing in government, University of California Press Mulgan, G. & Albury, D, 2003, Innovation in the Public Sector, Working Paper Version 1.9, October, Strategy Unit, UK Cabinet Office Paulsen, Neil; Diana Maldonado; Victor J. Callan and Oluremi Ayoko, 2009, Charismatic leadership, change and innovation in an R&D organization, Journal of Organizational Change Management, Vol. 22 No. 5, pp. 511-523 Pollitt, Christopher, 1993, Managerialism and the public services: the Anglo-American experience, Oxford, Blackwell Publin Reports, 2005, NIFU STEP, Studies in Innovation, Research and Education., NIFU STEP, Hammersborg torg 3, N-0179 Oslo, Norway

106

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

Robertson, Robert and Rob Ball, 2002, Innovation and Improvement in the Delivery of Public Services: The Use of Quality Management Within Local Government in Canada, Public Organization Review: A Global Journal 2: 387–405 Scales Research Reports, 2003, Leadership as a determinant of innovative behaviour, EIM Business and Policy Research, Netherlands Senge, Peter M., 1990, The Fifth Discipline: The Art & Practice of The Learning Organization, Currency Doubleday, New York Shapiro, Stephen M., 2002, 24/7 innovation: a blueprint for surviving and thriving in an age of change, McGraw-Hill, United States of America Sterman, J. 2000. Business Dynamics: Systems Thinking and Modeling for a Complex World., Boston, MA: McGraw-Hill. Yoon, Jong In, 2006, Korean Government Innovation: Strategies and Methodologies for Administrative Innovation, Fifth Meeting of the Committee of Experts on Public Administration, United Nations, New York, 27-31 March Zaccaro, S.J., Rittman, A.L. and Marks, M.A.,2001, Team leadership, Leadership Quarterly, Vol. 12 No. 4, pp. 451-83.

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

107

INOVASI PEMERINTAHAN DAERAH DALAM RANGKA MEMPERCEPAT PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA*

Bambang Supriyono**

PENDAHULUAN Dalam perspektif administrasi publik, pembangunan dapat diartikan sebagai suatu upaya yang dilakukan secara sadar dan melembaga untuk kepentingan pembangunan masyarakat; development is a conciuous and institutionalized attempt at societal development (Riggs (1971). Upaya secara sadar dan melembaga sebagaimana dimaksud dalam pengertian ini adalah upaya yang dilakukan pemerintah melalui berbagai kebijakan pembangunan dalam kerangka pembangunan masyarakat. Beberapa paradigma pembangunan sejak awal kemerdekaan hingga saat ini telah dijadikan acuan di Indonesia, mulai dari pertumbuhan ekonomi (economic growth), pemerataan, pembangunan sumberdaya manusia, hingga paradigma pembangunan partisipatif (participatory development). Implementasi berbagai paradigma tersebut tentu saling berkaitan, tidaklah mungkin mengedepankan paradigma partisipatif lalu mengabaikan pertumbuhan ekonomi, atau menekankan konsep pemerataan dan mengabaikan pembangunan sumberdaya manusia dan pendekatan partisipatif. Penerapan berbagai paradigma pembangunan secara integratif adalah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Upaya yang dilakukan pemerintah melalui berbagai kebijakan pembangunan sebagaimana mengacu pada berbagai paradigma di atas belum membuahkan hasil secara signifikan. Masalah-masalah empiris yang dapat diidentifikasi diantaranya: belum adanya pemerataan pembangunan, terjadinya ketimpangan antara pembangunan di Jawa dan di luar Pulau Jawa, pembangunan yang lebih terpusat di kawasan perkotaan daripada di pedesaan, dan tingginya disparitas antara daerah-daerah maju dengan daerah tertinggal. Mencermati masalah-masalah empiris tersebut dapat dipahami jika dalam era reformasi menetapkan adanya kebijakan desentralisasi sebagai salah satu kebijakan penting dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Tujuannya adalah berupaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat di berbagai daerah melalui pembangunan berbagai bidang di seluruh wilayah Indonesia. Reformasi kebijakan desentralisasi yang telah berlangsung selama lebih dari satu dasawarsa, dimulai sejak berlakunya UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian direvisi dengan berlakuknya UU Nomor 32 tahun 2004, hingga *

**

108

Makalah disajikan dalam Seminar Nasional “Peran Local Government Dalam Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia” yang diselenggarakan Himpunan Mahasiswa Jurusan Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya. Malang, Hotel Agrokusuma, 8-10-2011. Dosen Jurusan Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya, Malang.

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

saat ini belum dapat mewujudkan tujuan pembangunan sebagaimana dikemukakan di atas. Jika dicermati, terdapat persoalan yang bersifat dilematis dalam hal implementasi kebijakan desentralisasi di Indonesia, dilema antara kecenderungan penggunaan pendekatan politik (political approach) dan penggunaan pendekatan manajerial (managerial approach). Ketika kebijakan desentralisasi lebih mengedepankan pendekatan politik yang berorientasi pada nilai-nilai demokrasi ada kecenderungan melemahnya nilai-nilai manajerial, menurunnya nilai-nilai efektivitas dan efisiensi layanan publik dan pembangunan. Desentralisasi politik yang disertai dengan desentralisasi fiskal belum berdampak signifikan terhadap kemandirian pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Anggaran pendapatan yang mestinya lebih banyak dialokasikan untuk pembiayaan pembangunan banyak terserap untuk membiayai proses politik. Patut diapresiasi bahwa proses politik di tingkat pusat dan daerah lebih berjalan secara demokratis dan dinamis kendati dalam beberapa hal justru terjadi praktek-praktek politik yang melemahkan manajemen pemerintahan dan pembangunan. Pada saat yang bersamaan manajemen pembangunan di daerah juga mengalami ineffectivity and inefficiency, banyak ditemukan fenomena masih rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan pada sebagian besar lapisan masyarakat, tingginya angka kemiskinan di daerah-daerah, masih rendahnya indeks pembangunan manusia, dan terbatasnya penyediaan sarana dan prasarana pembangunan di berbagai daerah. Sebaliknya, ketika kebijakan desentralisasi lebih mengedepankan pendekatan manajerial yang berorientasi pada nilai-nilai efektivitas dan efisiensi ada kecenderungan melemahnya nilai-nilai demokratisasi. Sebagai gambaran, ketika kebijakan desentralisasi masih mengacu pada berlakunya UU Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, manajemen pembangunan cenderung lebih efektif dan efisien. Ketika itu banyak program-program pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat dalam skala besar, program transmigrasi, program intensifikasi dan ekstensifikasi bidang pertanian, pembangunan prasarana transportasi, prasarana pengairan, dan sarana/prasarana lainnya. Meskipun demikian proses politik di tingkat pusat hingga di daerah dapat dikatakan jauh dari nilai-nilai demokrasi, penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan cenderung bersifat sentralistis dan mengesampingkan otonomi, kemandirian masyarakat ataupun local self government. Dampaknya terjadi ketimpangan pembangunan antara pusat dan daerah, antara perkotaan dan pedesaan, rendahnya pertumbuhan ekonomi di daerah disertai tingginya angka kemiskinan. Bahkan pemerintahan yang cenderung sentralis memunculkan masalah korupsi, kolusi, dan nepotisme di tingkat pusat yang berdampak pada melemahnya manajemen pembangunan di daerah. Gambaran di atas menunjukkan bahwa penyelenggaraan pemerintahan yang lebih mengedepankan penggunaan pendekatan politik akan melemahkan nilai-nilai manajerial, sebaliknya penggunaan pendekatan manajerial yang berlebihan akan melemahkan proses politik yang demokratis sebagai persyaratan penting untuk menjamin kokohnya suatu sistem pemerintahan. Dengan kata lain penggunaan political approach dan administrative/managerial approach secara seimbang sangat diperlukan dalam penyelanggaraan pemerintahan daerah. Meminjam konsep Smith (1985 : 46-60) diperlukan keseimbangan antara administrative needs and political demands. Tuntutan

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

109

proses politik yang demokratis sangat diperlukan untuk menjamin keinginan, pilihan, dan representasi hak-hak warga; sebaliknya proses administratif/manajerial juga sangat dibutuhkan untuk mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang efektif dan efisien dalam rangka memenuhi dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat lokal. Peningkatan kesejahteraan warga diantaranya bertumpu pada pemenuhan kebutuhan ekonomi, baik ditandai dengan indikator pendapatan perkapita, pendapatan regional, berkembangnya usaha kecil menengah hingga skala besar. Karena itu dapat dipahami bahwa salah satu orientasi penting penggunaan dua pendekatan dalam penyelenggaraan pemerintahan di atas perlu diarahkan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dalam rangka mewujudkan peningkatan kesejahteraan warga/masyarakat lokal. Berbagai perangkat kebijakan di tingkat pusat hingga di daerah telah tersedia guna menjamin terlaksananya kedua pendekatan di atas. Hal ini tercermin dari banyaknya produk perundang-undangan yang dihasilkan baik oleh pemerintahan di tingkat pusat maupun daerah. Persoalan mendasarnya adalah: mengapa produk perundang-undangan tersebut belum dapat diimplementasikan dengan baik (well implemented) untuk mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan di tingkat pusat dan daerah? Untuk menjawab pertanyaan tersebut dalam kajian ini akan dipaparkan mengenai pentingnya pemerintahan yang inovativ dalam rangka mempercepat pembangunan ekonomi guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Berangkat dari kerangka berfikir di atas, inovasi yang diperlukan adalah menyangkut inovasi penyelenggaraan pemerintahan baik ditinjau dari pendekatan politik maupun pendekatan administratif/manajerial.

INOVASI PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH Mengkaji inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu diawali dari memahmi kreasi (creation) dan inovasi (innovation) sebagai dua istilah yang digunakan secara berkaitan. Create adalah cause (something) to exist; make (something new or original); bring to existence. Sedangkan innovate berarti make change; introduce new things atau dengan kata lain bring in novelties or bring changes. Kreasi bermakna munculnya sesuatu yang semula tidak ada menjadi ada, sementara inovasi berarti mengubah sesuatu hal menjadi baru, inti dari inovasi adalah perubahan menuju hal-hal baru (Muluk, 2007). Baik makna kreasi maupun inovasi sangat diperlukan untuk mewujudkan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah, dalam arti diperlukan adanya gagasan-gagasan baru ataupun penyempurnaan sistem yang telah ada untuk meningkatkan kinerja pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Mulgan & Albury (2003) menunjukkan bahwa “Successful innovation is the creation and implementation of new process, products, services, and methods of delivery which result in significant improvements in outcomes efficiency, effectiveness or quality.” Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa keberhasilan dalam inovasi penyelenggaraan pemerintahan daerah ditentukan oleh inovasi produk dan layanan, inovasi proses, ataupun inovasi metode yang dilakukan secara efekif, efisien, dan berkualitas. Menyangkut inovasi proses terdapat pula inovasi system atau inovasi strategis yang mengandung pemahaman cara baru atau yang diperbaharui dalam berinteraksi dengan aktor-aktor baik di dalam ataupun di luar sistem dalam hal tata kelola penyelenggaraan pemerintahan (changes in governance).

110

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

Inovasi penyelenggaraan pemerintahan juga mencakup perubahan dan pembaharuan struktur ataupun kebiasaan yang telah berlangsung secara rutin. Brown (2008) mengemukakan adanya dua konsep inovasi yaitu Expansive Learning Theory (ELT) dan Socio Cultural Theory (SCT). Konsep perluasan pembelajaran mengandung pemahaman bahwa inovasi terjadi ketika pandangan tradisional menyediakan suatu pedoman pelaksanaan suatu pekerjaan tetapi tidak cukup dalam menghadapi tantangan dan situasi yang baru, karenanya diperlukan pengembangan dan praktek yang baru melalui alih teknologi (technology transfer). Bagian penting dari pandangan ini adalah memadukan antara pandangan lama dan baru dalam melaksanakan sesuatu yang diarahkan pada perubahan dan pembaharuan. Sementara SCT berpandangan bahwa proses penciptaan pengetahuan dan pedomannya terarah pada konsepsi inovasi sebagai kolaborasi antara difersifikasi organisasi dan hasil yang diperoleh individu dalam pembelajaran organisasi. Di samping diperlukan alih teknologi dan perubahan sistem, diperlukan pula pembelajaran individu dan organisasi untuk mempercepat transformasi sosial budaya baik di tingkat organisasi maupun di komunitas masyarakat yang lebih luas. Kedua teori ini dalam proses inovasi penyelenggaraan pemerintahan perlu dipadukan agar diperoleh hasil yang optimal, dari perspektif ELT siklus pembelajaran dapat diperluas melalui berbagai aktivitas kolaborasi dua atau lebih komunitas, baik di tingkat nasional, tingkat regional, hingga di tingkat lokal. Sebagaimana dikemukakan Brown (2008 : 9) National governments have develoved much of the responsibility for innovation policies to regions. Consequently, it is possible to compare the implementation of local experiments to transform an industrial and manufacturing region into a knowledge economy. Different types of policies are affected by different contextual conditions and carry with them different possibilities for implementation Mencermati pemahaman tersebut menunjukkan bahwa proses implementasi kebijakan dalam inovasi penyelenggaraan pemerintahan seharusnya mempertimbangkan konteks lokal yang spesifik, sebagaimana terlihat dalam Gambar 1.

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

111

Design of National

Direction of feedback from

Innovation Policy

practitioners to policy

Concept (MACRO)

makers Policy implementation at regional level (MESO)

Direction of communication of

Implementation of

theoretical policy goal

local innovation projects (MICRO)

Source: Brown (2008 : 10-11) Gambar 1. The Transformation of Policy During Implementation Mencermati Gambar 1 dapat dijelaskan bahwa inovasi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan adalah bersifat sistemik, inovasi pemerintahan yang ada di tingkat nasional pada dasarnya saling berkaitan dengan inovasi di tingkat regional ataupun di tingkat lokal. Pemahaman ini terasa semakin penting untuk diimplementasikan di Indonesia sebagai suatu negara yang menganut paham negara kesatuan (unitary state), karena hubungan antara pemerintah pusat dan daerah adalah bersifat coordinate dan sekaligus subordinate. Keberadaan pemerintah daerah adalah merupakan bagian dari pemerintah pusat, sehingga inovasi pemerintahan yang ada di tingkat lokal kendati memiliki kemandirian seharusnya tidak menyimpang dari desain inovasi pemerintahan yang telah ditetapkan di tingkat nasional. Pemerintah pusat memiliki peran dalam hal desain konsep inovasi kebijakan tingkat nasional (makro) yang akan diimplementasikan di tingkat pusat dan daerah. Desain kebijakan inovatif ini perlu dikomunikasikan dengan berbagai tingkatan pemerintahan agar tujuan inovasi dapat dipahami dan diimplementasikan dengan baik. Desain dan strategi inovasi yang diperlukan adalah dalam hal melaksanakan fungsi mengatur (policy formulation) dan mengurus (policy implementation) penyelenggaraan pemerintahan termasuk dalam pemanfaatan teknologi yang dapat diimplementasikan pada semua tingkatan pemerintahan. Desain kebijakan yang telah ditetapkan selanjutnya diimplementasikan di tingkat regional (meso) dan di tingkat lokal (mikro) dalam bentuk program dan kegiatan pengelolaan urusan pemerintahan. Makna inovasi implementasi kebijakan ini adalah berkaitan dengan fungsi pengaturan (policy making) dan fungsi pengurusan (policy executing) di tingkat regional dan di tingkat lokal. Kepala Daerah dan DPRD sebagai pejabat politik yang dipilih melaksanakan fungsi pengaturan, yaitu menetapkan inovasi peraturan daerah (Perda) dan perundang-undangan lainnya sesuai dengan keinginan dan tuntutan kebutuhan masyarakat. Selanjutnya Kepala Daerah beserta Perangkat Daerah (local bureaucracy) sebagai pejabat yang diangkat, melaksanakan inovasi fungsi

112

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

pengurusan (policy implementation) penyelenggaraan pemerintahan secara profesional dengan mengacu pada perundang-undangan yang telah ditetapkan sebelumnya. Hingga saat ini banyak institusi DPRD dan Kepala Daerah yang telah menetapkan regulasi atau kebijakan inovatif dalam upaya meningkatkan kualitas layanan publik dan pembangunan, pengelolaan sumber pendapatan, dan pengelolaan urusan pemerintahan yang bersifat wajib atau pilihan. Prinsip perumusan inovasi kebijakan yang diperlukan di tingkat regional dan lokal adalah prinsip menjungjung tinggi nilai-nilai demokrasi, dalam arti kebijakan yang ditetapkan harus benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Kebijakan yang inovatif dan demokratis dapat dirumuskan dengan baik jika dalam prosesnya melibatkan partisipasi masyarakat dari berbagai lapisan. Dengan demikian keberadaan Kepala Daerah dan DPRD harus benarbenar merepresentasikan tuntutan kebutuhan warga dan mengakomodasikan partisipasi warga, diperlukan prinsip representative democracy dan participatory democracy dalam perumusan kebijakan inovatif di tingkat regional dan di tingkat lokal. Kebijakan inovatif yang telah ditetapkan selanjutnya diimplementasikan oleh Perangkat Daerah (local bureaucracy) dibawah kendali Kepala Daerah dan Sekretaris Daerah. Dalam hal ini diperlukan kinerja berbagai institusi Perangkat Daerah yang inovatif dalam mengelola urusan pemerintahan, pembangunan, dan layanan publik. Birokrasi yang inovatif ditandai dengan adanya kreativitas, ketrampilan, dan kompetensi profesional untuk melakukan perubahan dalam mengelola urusan pemerintahan yang membawa manfaat sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat. Implementasi kebijakan yang inovatif dalam hal ini dapat diwujudkan jika mengedepankan nilai-nilai kreativitas, efektivitas, dan efisiensi atau nilai-nilai manajerial. Efisiensi yang dimaksud termasuk dalam hal pengelolaan dana, pemberian insentif, yang memungkinkan birokrasi untuk bekerja secara profesional dan proporsional. Dalam pandangan Miller (2008 : 11) penyelenggaraan pemerintahan daerah yang inovatif adalah ditandai dengan adanya pergeseran makna local government ke local governance, yang memiliki dua ciri. Pertama, terjadinya pergeseran struktur dan fungsi institusi pemerintahan dalam berbagai tingkatan baik menyangkut tugas dan tanggung jawabnya. Kedua, terjadinya perubahan dalam ciri-ciri pemerintahan, perluasan tanggungjawab dalam badan-badan yang ditetapkan dan kerjasama organisasi untuk jangka panjang dengan pengutamaan kewenangan lokal. Pejabat politik yang dipilih dan perangkat birokrasi yang bekerja secara profesional dan penuh waktu merupakan modal dasar yang kuat dalam membangun kerjasama dengan berbagai aktor, baik untuk pengguna, kepentingan warga, maupun sektor swasta. Pergeseran struktur dan fungsi pemerintahan, perluasan kerjasama dengan berbagai aktor, atau makna local governance dapat diwujudkan jika tercipta pemerintahan berpengetahuan (knowledge governance). Heiman (2009 : 29-30) mengemukakan bahwa satu diantara tantangan utama dalam mewujudkan pemerintahan berpengetahuan adalah menciptakan nilai secara seksama (deliberate value creation), baik menyangkut penemuan masalah (problem-finding) maupun pemecahan masalah (problem-solving). Pertanyaan kunci untuk penemuan masalah adalah bagaimana pimpinan dapat mengidentifikasi, memilih, dan menemukan resolusi yang diharapkan dengan derajat nilai yang signifikan. Sedangkan pertanyaan kunci tentang pemecahan masalah adalah

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

113

bagaimana pemimpin dapat mengelola secara efisien mengenai pemecahan masalah bernilai tinggi sesuai dengan masalah yang diidentifikasi. Kepala Daerah sebagai pemimpin tertinggi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, secara bertahap perlu melakukan perubahan kultural dan struktural karena konsekuensi dari perubahan tersebut akan berdampak pada kualitas local governance and democracy. Perubahan struktural dalam pemerintahan daerah dapat terkait dengan tiga hal (Grindle, 2007 : 4-6). Pertama, perubahan dalam pengelolaan keuangan (fiscally), yakni menyangkut kejelasan menganai kewenangan daerah dalam hal tanggungjawab pengelolaan anggaran, meningkatkan pendapatan (generating revenue), pengeluaran sesuai dengan kebutuhan. Kedua, perubahan politik (politically) yakni menyangkut optimalisasi peran dan fungsi council (DPRD) sebagai pejabat politik yang dipilih atas dasar demokrasi perwakilan dan mayor (Kepala Daerah) yang dipilih berdasarkan demokrasi partisipatif. Keberadaan pejabat politik ini harus benar-benar dapat menjalankan mandat yang diberikan oleh masyarakat setempat. Ketiga, perubahan administrasi pemerintahan (administratively) yakni tanggungjawab bagi local bureaucracy atau perangkat daerah untuk senantiasa meningkatkan kualitas distribusi penyediaan layanan publik dan pembangunan secara profesional. Pemerintahan daerah yang telah melakukan inovasi sebagaimana dikemukakan di atas perlu diukur tingkat keberhasilannya, dalam hal ini dapat digunakan metode perbandingan dan sifat pengukuran kinerja. Metode perbandingan dilakukan dengan cara membandingkan antara keberhasilan dengan kegagalan (success versus failure) menyangkut partisipasi warga dalam penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini dapat dilihat dari kecenderungan adanya hubungan yang simetris antara: dependensi versus otonomi dalam hubungan layanan formal, terpenuhi atau tidak terpenuhi usulan untuk intervensi, ada atau tidak adanya motivasi untuk melakukan perubahan atau intervensi (Kane and Marylyne, 2008 : 84). Sedangkan keberhasilan inovasi berdasar sifat pengukuran kinerja perlu ditekankan pada struktur pekerjaan, kepemimpinan dan insentif yang diberikan secara proporsional dan profesional. Mengacu pada pendapat Klerman (2005 : 349), perlu dihindari pengukuran kinerja yang bersifat kasar (Gross Performance Measure), karena dengan cara ini akan menimbulkan: misidentify best practice,misidentify best workers, incentives to migrate, incentives to chose clients. Karena itu diperlukan pendekatan untuk memperkirakan kinerja bersih (net performance or estimating net/causal effects). Tahapan pendekatan ini meliputi: random assignment, value added, regression adjustment, cohort comparison. Inovasi yang dilakukan oleh berbagai tingkatan memiliki resistensi yang tinggi terhadap hambatan-hambatan yang muncul dalam proses inovasi yang sedang berlangsung. Mengacu pada identifikasi yang dilakukan Mulgan & Albury (2003) terdapat hambatan-hambatan dalam melakukan inovasi penyelenggaraan pemerintahan daerah meliputi : Adanya tekanan dan beban administratif (delivery pressures and administrative burdens). Pada umumnya jajaran birokrasi di tingkat manajer dan operasional memiliki keterbatasan waktu untuk berfikir tentang pekerjaan yang berbeda atau melakukan inovasi mengenai layanan publik yang lebih efektif. Hal ini perlu dilakukan secara terus

114

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

menerus dalam organisasi, penyediaan layanan dan melaporkannya ke manajemen di tingkat atasnya, lembaga-lembaga, dan inspektorat. Anggaran jangka pendek dan perencanaan ke depan (short-term budgets and planning horizons). Ketidakmampuan untuk berfikir di bawah tekanan dari hari ke hari memperburuk penganggaran jangka pendek dan perencanaan jangka panjang. Kurangnya ganjaran dan insentif inovasi (poor rewards and incentives to innovate). Upaya penerapan nilai-nilai privat ke sektor publik dalam hal ini mengalami hambatan. Tingginya ketentuan yang telah berlangsung lama menyebabkan kegagalan inovasi, termasuk dalam hal memberikan ganjaran untuk mewujudkan keberhasilan inovasi. Lebih lanjut hal ini berkaitan dengan sistem manajemen sumberdaya, sebagai contoh : kompetensi inti untuk rekrutmen, pengembangan dan perencanaan kinerja yang tidak menekankan pada nilai-nilai inovasi. Budaya menghadapi resiko (culture of risk aversion). Dalam sektor publik, kewajiban untuk menyediakan layanan yang akseptebel merupakan kunci keberhasilan layanan, mengelola kontinuitas, memperhitungkan pembayar pajak sesuai kewenangan lokal dan parlemen. Pusat perhatian utamanya adalah akuntabilitas, standard dan kontinyuitas untuk menghadapi resiko sebagai bagian dari kerangka inovasi. Rendahnya ketrampilan dalam menghadapi resiko dan manajemen perubahan (poor skills in active risk or change management). Tiga kondisi yang diperlukan untuk keberhasilan inovasi, yakni : peluang, motivasi, dan ketrampilan. Selagi peluang dan motivasi dapat dihadirkan, biasanya terkait dengan kurangnya ketrampilan dalam perubahan dan manajemen resiko. Relatif langka untuk memenuhi ketrampilan yang diharapkan dapat menjembatani proses inovasi. Keseganan untuk mengakhiri program-program atau organisasi yang tidak berhasil (reluctance to close down failing programes or organizations). Walaupun nilainilai sektor privat dibutuhkan dalam inovasi sektor publik, pada kenyataannya organisasi sektor publik jarang melakukan inovasi. Hal yang paradoksal, dalam pelayanan publik memerlukan standarisasi kualitas untuk program-program baru, sementara inovasi dihadapkan pada masalah-masalah yang tidak terkendali walaupun ketekunan melalui layanan baru atau proses yang dihasilkan memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Ketersediaan teknologi tetapi menghadapi kendala budaya dan penataan kelembagaan (technologies available but constraining cultural or organizational arrangements). Munculnya inovasi dalam kontek teknologi dan faktor organisasi berkaitan dengan perlunya inovasi yang sistematis dengan dukungan budaya organisasi, sistem, metode dan proses manajemen. Dalam inovasi sektor publik telah terhalang sebab resistensi atau kegagalan Penelitian empiris menunjukkan tingginya variasi mengenai cara menanggulangi hambatan inovasi, dalam hal ini terdapat tiga pendekatan menyangkut tingkatan dan cara (classes of tactical), yakni meliputi : 1. Persuasi (persuasion), dengan cara menunjukkan keuntungan suatu inovasi, kemapanan melaksanakan kegiatan, dan melakukan sosialisasi secara optimal. 2. Akomodatif (accommodation), menyangkut konsultasi dengan lembaga legislasi untuk memahami inovasi dalam kerangka governance, pelatihan untuk penyamaan

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

115

pemahaman, hilangnya kompensasi, dan menjamin pelaksanaan program sesuai dengan budaya setempat. 3. Pendekatan lainnya (others). Kategori ini meliputi keragaman tanggapan, seperti : ketersediaan sumberdaya, dukungan masalah logistik, adanya upaya secara berkesinambungan, dukungan politik, kejelasan visi utamanya mengangkut pentingnya inovasi, modifikasi teknologi, perubahan regulasi, tersedianya program-program partisipasi, dan dukungan pekerja. Diperlukan pula perubahan tanggungjawab pimpinan dalam implementasi berbagai program inovasi.

INOVASI PEMERINTAHAN DALAM RANGKA PERCEPATAN PEMBANGUNAN EKONOMI Konsep pembangunan dalam arti pembangunan masyarakat (societal development) sebagaimana dikemukakan dalam paparan awal dapat juga dipahami dari konsep administrasi pembangunan. Semula administrasi pembangunan dimaknai sebagai upaya terorganisir untuk melaksanakan program dan kegiatan guna mencapai tujuan pembangunan. Salah satu tujuan mendasar yang ingin diwujudkan di negara sedang berkembang adalah peningkatan pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendapatan, dan kesejahteraan masyarakat di seluruh wilayah negara yang bersangkutan. Hal yang perlu disadari, ide dasar pembangunan terletak pada kemampuan human societies yang berkembang untuk membentuk lingkungan fisik, aktivitas pemenuhan kebutuhan ekonomi, maupun budayanya. Dengan ide dasar pembangunan yang demikian, inovasi pemerintahan untuk mengubah lingkungan fisik, aktivitas ekonomi, dan budaya masyarakat perlu ditempatkan dalam suatu variabel tersendiri. Variabel lain yang tidak kalah penting adalah peningkatan kemampuan mengurus pemerintahan secara simultan dalam pelaksanaan pembangunan. Variabel yang kedua ini menempatkan konsep administrasi pembangunan tidak hanya mengacu pada upaya pemerintah melaksanakan inovasi program dan kegiatan yang dirancang untuk mengubah lingkungan fisik, manusia, pemenuhan kebutuhan ekonomi dan budayanya (administration of development), tapi juga pada usaha memperbesar kapasitas pemerintah secara inovatif untuk terlibat dalam program tersebut (development of administration). Peningkatan kemampuan kapasitas pemerintah secara simultan pada kenyataannya tidak mudah dilakukan. Banyak faktor berpengaruh yang menyebabkan tersendatnya upaya peningkatan kemampuan pemerintah. Faktor tersebut ada yang bersumber dari institusi pemerintahan itu sendiri, keragaman masalah sosial ekonomi dan budaya masyarakat, hingga masalah yang berkaitan dengan aspek kewilayahan. Dalam kerangka pembangunan administrasi dan administrasi pembangunan, terdapat faktor penentu yang perlu dipahami jika menginginkan pembangunan administrasi yang inovatif, memiliki relevansi dan mendapatkan dukungan dari lingkungannya. Faktor penentu tersebut adalah pemahaman tentang kontek administrasi pembangunan (context of development administration) dan kondisi lingkungan yang dapat menimbulkan masalah bagi administrasi pembangunan (problems in the administration of development). Faktor lainnya yang juga perlu mendapat perhatian adalah dimensi spasial (spatial dimension) dalam administrasi pembangunan.

116

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

Kontek administrasi pembangunan mencakup : kontek politik, kontek ekonomi, dan kontek organisasi sosial. Dalam kontek politik di suatu negara ataupun di suatu daerah dapat terjadi adanya kondisi lemahnya birokrasi sehingga memicu spoil system yang berakibat kurang mendukung pengembangan birokrasi. Kondisi lainnya adalah adanya birokrasi yang dominan sehingga para birokrat hanya berjuang mencapai kekuasaan dan berakibat dikorbankannya nilai-nilai administrasi untuk kepentingan politik. Untuk itu diperlukan pemahaman mengenai keseimbangan antara institusi birokrasi dengan institusi ekstra birokrasi (constitutive systems) dengan cara memisahkan antara faktor politik dan administrasi dalam pelaksanaan program pembangunan yang inovatif. Dalam kontek ekonomi yang perlu dipahami adalah berkaitan dengan pembangunan administrasi. Dapat terjadi bahwa pengembangan birokrasi dan proliferasi badan khusus pemerintah baik di pusat maupun di daerah membutuhkan biaya yang sangat besar. Di lain pihak dengan keterbatasan dana menyebabkan pagu yang rendah untuk usaha tersebut, sehingga pilihan aktivitas yang tersedia dalam pelaksanaan program-program pembangunan juga menjadi terbatas. Dalam kontek organisasi adalah menyangkut keterkaitan antara organisasi formal dengan organisasi sosial. Efektifitas organisasi formal berperan penting dan dapat meningkatkan kemampuan masyarakat untuk merubah lingkungannya. Hal yang tidak kalah penting adalah memahami keberadaan organisasi sebagai suatu sistem sosial yang dapat menunjang pelaksanaan program pembangunan. Mengenai pentingnya memahami kondisi lingkungan dalam administrasi pembangunan adalah mencakup : masalah lingkungan fisik (problems in the physical environment), masalah lingkungan manusia (problems in the human environment), dan masalah lingkungan budaya (problems in the cultural environment). Memahami masalah lingkungan fisik diperlukan kemampuan administrasi dalam rangka mengatasi masalah lingkungan agar menjadi faktor pendukung keberhasilan pembangunan sebagai suatu sistem, bukan kontek sistem sosial yang memberikan parameter dalam rangka mengubah lingkungan. Lingkungan fisik dan ketersediaan sumberdaya perlu dikelola dengan baik agar berdampak pada berkembangnya aktivitas ekonomi guna mewujudkan peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Memahami masalah lingkungan manusia didasarkan pada pengertian bahwa manusia dapat membentuk kemampuan suatu sistem sosial, sebaliknya karakteristik manusia juga dapat diubah oleh sistem sosial. Dengan pengertian ini, untuk kepentingan analisis dapat dipahami adanya lingkungan manusia dalam beberapa pengertian yang berpengaruh terhadap administrasi pembangunan. Beberapa pengertian tersebut adalah meliputi : pengertian demografi, biologi, psikologi, dan kesempatan/kualifikasi. Mengenai pemahaman terhadap masalah lingkungan budaya ditempatkan dalam kerangka sistem sosial, artinya sistem sosial secara terus menerus selalu mempengaruhi dan dipengaruhi oleh budaya. Sistem sosial yang lebih maju adalah sistem yang lebih mampu melakukan transformasi lingkungan budaya sesuai dengan tuntutannya dan tidak terhalangi oleh karakteristik lingkungan budayanya. Berdasarkan pemahaman tersebut, dalam konteks pembangunan administrasi yang dibutuhkan adalah informasi mengenai berbagai persoalan yang timbul karena perubahan budaya dan perbaikan program administrasi untuk mengatasi perubahan budaya tersebut.

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

117

Faktor lainnya yang juga perlu mendapat perhatian agar inovasi pemerintahan mendapatkan dukungan dari lingkungannya adalah dimensi spasial (spatial dimension). Secara umum, pembangunan dapat dipahami sebagai pembangunan masyarakat (societal development) atau pembangunan negara-bangsa (nation-states). Salah satu dimensi penting yang perlu diperhatikan dalam pembangunan negara-bangsa adalah dimensi spasial (spatial dimension). Terlebih untuk suatu negara yang memiliki wilayah luas dan masyarakatnya beragam, perhatian terhadap dimensi spasial semakin diperlukan untuk mewujudkan efektifitas pencapaian tujuan pembangunan. Pentingnya dimensi spasial ini juga menjadi perhatian penting dari administrasi pembangunan. Sebagaimana dikemukakan Heaphey (1971) : Government, economic development, and nation-building are closely interwoven spatialy, none being quite the cause of the others, yet all three being inextricably bound together. Ungkapan di atas menunjukkan bahwa konteks administrasi pembangunan dalam pembangunan negara-bangsa sangat terkait dengan dimensi spatial, keterkaitan tersebut dalam bentuk hubungan sebab-akibat dan terjadi secara bersama-sama. Pembangunan ekonomi yang berlangsung di berbagai daerah terjadi karena adanya kewenangan politik dan administrasi untuk mengimplementasikan kebijakan ekonomi yang dilokalisir secara geografis. Dimensi spasial juga diperlukan dalam pembangunan politik untuk menentukan batas-batas ukuran agar pengambilan keputusan benar-benar demokratis. Budaya masyarakat dalam spasial yang berbeda-beda dapat dijadikan dasar bagi pemerintah untuk merumuskan kebijakan pembangunan ekonomi dan sosial, sebaliknya pemerintah perlu membangun suatu budaya nasional yang menjadi the visual world bagi masyarakat negara-bangsa. Dimensi spasial juga diperlukan untuk mempromosikan partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah melalui kebijakan desentralisasi. Sistem desentralisasi dalam pembangunan dikatakan berhasil apabila terjadi penggabungan nilai (value integration) dan profesionalisme (professionalism), dengan tidak mengabaikan aspek sentralisasi untuk kepentingan pembangunan negara bangsa (centralization and the need for nation-building). Karakteristik faktor-faktor yang mempengaruhi pembangunan administrasi dapat berbeda antar daerah, sehingga upaya melakukan inovasi pemerintahan untuk mendapatkan dukungan dari lingkungan yang dilakukan oleh suatu daerah juga akan berbeda dengan yang dilakukan oleh daerah lainnya. Demikian pula tidak ada jaminan bahwa pembangunan administrasi yang berhasil diterapkan di suatu daerah akan berhasil diterapkan pada daerah lainnya. Tepat kiranya bahwa menamakan pembangunan administrasi sebagai a subject matter in search of a discipline dari administrasi publik, penamaan tersebut didasarkan pada beberapa pertimbangan kepentingan (set of pragmatic concerns.) Pemahaman yang demikian tentunya juga berlaku dalam pembangunan kapasitas administrasi publik. Pembangunan struktur dan fungsi pemerintahan untuk menunjang pelaksanaan program pembangunan dapat berbeda antar negara, antar daerah, bahkan antar jenis program yang berbeda. Terdapat kesimpulan dari Siffin (1972) bahwa pembangunan institusi adalah sebagai teori (institution building as theory) dan bukan teori pembangunan institusi (institution building theory). Kesimpulan ini dapat dimaknai bahwa konsep pembangunan termasuk pembangunan ekonomi yang berhasil diterapkan di suatu daerah belum tentu akan berhasil pula jika diterapkan di daerah lain, pemahaman aspek lokalitas sangat diperlukan dalam inovasi pembangunan.

118

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

Inovasi pemerintahan daerah untuk daerah yang ciri-ciri kesukuan dan budaya lokalnya menonjol diperlukan pembangunan struktur dan fungsi institusi pemerintahan yang lebih ramping dan sekaligus memanfaatkan berfungsinya struktur dan fungsi institusi lokal. Sedangkan untuk daerah yang memiliki perbedaan pelapisan sosial, politik, dan ekonomi lebih menonjol diperlukan pembangunan struktur pemerintahan yang dapat meningkatkan efektivitas administrasi dan pembangunan ekonomi (Supriyono, 2010). Pembangunan struktur birokrasi yang tambun dan lebih berorientasi pada kepentingan internal agar para birokrat tidak kehilangan jabatan harus dihindari. Struktur birokrasi yang dibangun atas dasar karakteristik masyarakatnya akan menjadikan birokrasi tersebut lebih responsif dalam melayani masyarakat yang bersangkutan. Dalam kerangka penyelenggaraan pemerintahan yang melibatkan birokrasi pusat ataupun daerah, nilainilai yang ingin dicapai melalui pembangunan struktur dan fungsi institusi ini bukan hanya nilai produktivitas, efisiensi, dan sentralisasi, melainkan mencakup pula nilai partisipasi, otonomi dan desentralisasi. Indikator keberhasilan struktur birokrasi dalam menjalankan fungsinya diukur dari: kemampuan birokrasi meningkatkan efisiensi dan produktivitas, menjalankan prinsip-prinsip manajemen rasional, menjunjung tinggi nilainilai etika dan disiplin kerja, profesionalisme, meritokrasi, impersonalitas, dan kemampuannya dalam mengembangkan budaya korporasi (corporate cultural). Mengacu pada pendapat Julie & Rosenbloom (2003 : 3-6), diperlukan beberapa persyaratan agar menjamin terwujudnya birokrasi pemerintahan yang merepresentasikan pemenuhan kebutuhan public dan pembangunan. Persyaratan yang dimaksud adalah perlunya perhatian terhadap representasi pasif (passive representativity) artinya tidak hanya menciptakan kinerja institusi berdasar tupoksi semata tetapi perlu memperhatikan karakteristik unit institusi, ataupun pihak-pihak yang terkait. Di samping itu, diperlukan perhatian terhadap representasi aktif (active representativity) artinya lebih menekankan pada responsibilitas dalam pelaksanaan pekerjaan, nilai-nilai kesepakatan diantara unit institusi ataupun antar birokrat. Birokrasi yang representatif tersebut dapat terwujud apabila kinerja institusi pemerintahan tidak semata-mata mendasarkan pada impersonalitas tetapi melihat kemampuan dan latar belakang birokrat secara mendalam. Persyaratan yang tidak kalah pentingnya adalah perlunya menerapkan nilai-nilai institusi privat dan penegakan nilai-nilai normatif yang mencerminkan representasi institusi pemerintahan (representative bureaucracy). Inovasi pemerintahan untuk percepatan pembangunan juga dapat diwujudkan jika terdapat kemandirian dalam pengelolaan kewenangan. Dalam hal ini terdapat beberapa prinsip yang harus dipenuhi. Pertama, stigler principle: pengambilan keputusan harus terjadi pada tingkatan terendah pemerintahan yang konsisten dengan tujuan efisiensi alokasi sumberdaya. Ukuran optimal yurisdiksi bervariasi sesuai dengan skala ekonomi dan keuntungan biaya spillovers. Kedua, principle of fiscal equivalency: keselarasan batasan politik dengan kemanfaatan atau keuntungan yang diperoleh, untuk itu diperlukan kejelasan yurisdiksi untuk setiap jenis layanan publik. Ketiga, correspondence principle: kejelasan yurisdiksi yang berhubungan dengan kewenangan pusat dan daerah menyangkut penyediaan setiap barang publik untuk semua lapisan masyarakat secara memuaskan. Keempat, decentralization theorem: setiap pelayanan publik harus disediakan dengan batasan yurisdiksi yang jelas melalui mekanisme kontrol yang bersifat terbatas, melembagakan keuntungan dan biaya layanan. Kelima,

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

119

subsidiarity principle: belanja dan fungsi regulasi harus berada pada tingkatan pemerintahan terendah meskipun demikian untuk daerah yang tidak mampu perlu bantuan secara proporsional yang dikoordinasikan oleh pemerintah pusat. Perluasan jaringan antar aktor juga sangat diperlukan dalam inovasi pemerintahan dan pembangunan. Inovasi pemerintahan yang dapat dilakukan, untuk daerah yang ciriciri kesukuan dan budaya lokalnya menonjol diperlukan pengelolaan urusan pemerintahan dan pembangunan yang lebih menekankan peran sektor pemerintah dan komunitas masyarakat setempat. Sedangkan untuk daerah yang memiliki perbedaan pelapisan sosial, politik, dan ekonomi lebih menonjol diperlukan arah kebijakan pengelolaan urusan pemerintahan yang lebih menekankan peran pemerintah dan sektor swasta. Dalam lingkup administrasi publik, mengacu pada pemetaan kajian Kickert dan Stilman (1999 : 29-33) diperlukan keseimbangan antara implementasi konsep pluralitas (pluralist) dengan konsep dominasi negara (state centrists). Konsep pluralitas dapat diimplementasikan dengan baik jika didukung dengan pengurangan dominasi negara (statelessness) melalui kebijakan desentralisasi yang komprehensif, sedangkan konsep state centrists dapat diterapkan jika didukung pemahaman tentang kompleksitas masyarakat dan meningkatnya intervensi negara secara positif untuk kemakmuran rakyat. Terdapat empat proposisi yang dapat menjelaskan mengapa pemerintah daerah perlu melakukan inovasi dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat (Grindle, 2007 : 10-12). Pertama, political competitions: dinamika kompetisi politik lokal adalah inti dari pendekatan yang menjelaskan variasi kinerja pemerintahan daerah secara demokratis. Kedua, state entrepreneurship: terpusat pada aktivitas institusi pemerintahan daerah dalam hal kewenangan mengembangkan ide-ide inovatif, dan membuat pilihan strategis tentang bagaimana nilai tambah dari sebuah kebijakan. Ketiga, public sector modernization: pemberian insentif tambahan untuk pejabat publik yang telah melakukan restrukturisasi institusi, privatisasi layanan atau contracting out, dan inovasi teknologi untuk mengembangkan kapasitas sektor publik. Keempat, civil society activism: meningkatkan derajat partisipasi dan akuntabilitas, kelompok sosial dalam komunitas lokal yang diarahkan pada penyediaan layanan publik yang berkualitas termasuk melalui partisipasi dalam proses kebijakan. Mencermati keempat proposisi tersebut dapat dipahami bahwa keterlibatan komunitas masyarakat ataupun sektor swasta dalam inovasi penyelenggaraan pemerintahan memerlukan dukungan proses politik yang demokratis, wawasan entrepreneurial penyelenggara pemerintahan, modernisasi dalam pengelolaan sektor publik, dan peningkatan derajat partisipasi masyarakat.

PENUTUP Inovasi pemerintahan daerah selama ini telah dilakukan di Indonesia secara terus menerus, hal ini ditandai dengan adanya perubahan kebijakan desentralisasi yang telah dilakukan di beberapa era pemerintahan. Di era orde baru transformasi penyelenggaraan pemerintahan daerah diimplementasikan dengan mengedepankan nilai-nilai manajerial, sebaliknya di era reformasi inovasi pemerintahan daerah dilakukan dengan mengedepankan nilai-nilai demokrasi. Pengabaian salah satu nilai berakibat pada tersendatnya proses inovasi pemerintahan dalam upaya peningkatan kualitas layanan publik dan pembangunan sosial ekonomi masyarakat.

120

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

Mencermati hal tersebut diperlukan kajian ulang mengenai konsep inovasi pemerintahan daerah yang memungkinkan untuk mewujudkan keseimbangan antara penerapan nilai-nilai demokrasi dan nilai-nilai manajerial guna mempercepat pencapaian tujuan pembangunan. Konsep yang dimaksud adalah inovasi pemerintahan sistemik yang didalamnya menyangkut saling keterkaitan antara pemerintah pusat dan daerah dalam melakukan inovasi ke arah perubahan yang bersifat transformatif. Pemerintah pusat perlu merancang kebijakan inovasi yang berbasis penemuan masalah (problem-finding) maupun pemecahan masalah (problem-solving) dengan dukungan implementasi di daerah yang berbasis pada kearifan lokal.

DAFTAR PUSTAKA Brown, Helen. 2008. Knowledge and Innovation, A Comparative Study of the USA, the UK,and Japan. Routledge Taylor & Francis Group. Madison Ave, New York. Eckardt, Sebastian and Anwar Shah. 2006. “Local Government Organization and Finance: Indonesia.” in Anwar Shah (ed). Local Governance in Developing Countries.The World Bank. Washington DC. Grindle, Merilee S. 2007. Going Local, Decentralization, Democratization, and the Promise of Local Governance. Princeton University Press. New Jersey. Heaphey, James J. (ed.). 1971. Spatial Dimensions of Development Administration. Durham, North Carolina : Duke University Press. Heiman, Bruce; Jackson Nickerson, and Todd Zenger. 2009. “Governing Knowledge Creation: a problem-finding and problem-solving perspective” in Nicolai J Foss and Snejina Michailova (ed). Konwledge Governance, Process and Perspective. Oxford University Press. New York John & Albury. 2003. Strategic and Organization Innovation. Routledge Taylor & Francis Group. Madison Ave, New York. Kane, Lester T and Marylyne R Poweller.2008. Citizenship in the 21st Century. Nova Science Publishers. New York. Kickert, Walter JM and Richard D Stilman. 1999. The Modern State and its Study. Edward Elgar. Cheltenham, UK. Klerman, Jacob Alex. 2005. “Measuring Performance” in Robert Klitgaard & Paul C Light (ed). High-Performance Government, Structure,Leadership, Incentives. Pardee Rand Graduate School. Pitsburg. Miller, William; Malcom Dickson and Gerry Stoker. 2008. Models of Local Governance,Public Opinion and Political Theory in Britain. Palgrave, Macmillan, England. Muluk, Khairul. 2007. Knowledge Management, Inovasi Pemerintahan Daerah. Bayu Media. Jakarta. Riggs, Fred W. 1971. “The Context of Development Administration”, dalam Mulgan, Fred W. Riggs (ed). Frontiers of Development Administration. Durham : Duke University Press. Siffin, William J. 1972. “Institution Building As Vision and Venture”dalam Joseph W Eaton. Institution Building and Development, From Concepts to Application. Baverly Hills, London : Sage Publications. Supriyono, Bambang. 2010. Sistem Pemerintahan Daerah Berbasis Masyarakat Multikultural. Pidato Pengukuhan Guru Besar. Fakultas Ilmu Administrasi. Universitas Brawijaya. Malang.

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

121

PROFIL PENULIS Prof.Dr.Bambang Supriyono,MS Prof.Dr.Bambang Supriyono,MS merupakan salah satu profesor di bidang pemerintahan daerah pada Jurusan Administrasi Publik Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya. Menamatkan S1 Administrasi Negara di Unibraw (1984), S2 Sosiologi di Universitas Padjadjaran (1991) dan S3 di bidang Pembangunan Institusi Pemerintahan Daerah di UI (2007). Sekarang menjabat sebagai Pembantu Dekan I bidang Akademik di Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya.

Prof.Dr.Abdul Hakim,M.Si Prof.Dr.Abdul Hakim,M.Si, merupakan profesor di bidang Sosiologi Birokrasi pada Jurusan Administrasi Publik Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya. Menamatkan S1 Administrasi Negara di Unibraw (1984), S2 Sosiologi di Universitas Padjadjaran (1993) dan S3 di bidang Sosial di Universitas Padjadjaran (2007). Beberapa karya ilmiah yang pernah diterbitkan beliau adalah Sistem Informasi Manajemen Sektor Publik (FIA, Buku Ajar),Pengantar Sosiologi (Surya Pena Gemilang, 1999, Buku Ajar), Kapita Selekta Metodologi Penelitian untuk Ilmu-ilmu Sosial (Surya Pena Gemilang, 2006, Buku Ajar), Statistika Sosial (Citra Media, 1997), Dinamika Sosial Ekonomi Masyarakat Perdesaan (Bayu Media, 2008).Sekarang menjabat sebagai Staf ahli PR III Universitas Brawijaya serta Ketua UJM Jurusan Ilmu Administrasi Publik Universitas Brawijaya.

Prof.Dr.Abd.Yuli Andi Gani,MS Prof.Dr.Abd.Yuli Andi Gani,MS merupakan profesor di bidang Kepemimpinan pada Jurusan Administrasi Publik Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya.

Dr. Tjahjanulin Domai, MS. Dr. Tjahjanulin Domai, MS. merupakan salah satu pengajar di Jurusan Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya. Menamatkan S1 Administrasi Negara di Unibraw (1979), S2 Administrasi Negara, FISIPOL UGM (1987 dan S3 Administrasi Negara di Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya. Sekarang menjabat sebagai ketua Laboratorium Pemerintahan serta Ketua Pengelola Dokumentasi, Informasi dan Keluhan di Universitas Brawijaya

122

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

Dr.M.R.Khairul Muluk,S.Sos,M.Si Dr.M.R.Khairul Muluk,S.Sos,M.Si merupakan salah satu pengajar di Jurusan Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya. Menamatkan S1 Jurusan Administrasi Negara Spesialisasi Pemerintahan Umum, Universitas Brawijaya (1994), S2 Program Pascasarjana, Program Studi Administrasi Niaga Kekhususan Pengembangan Sumber Daya Manusia, Universitas Brawijaya, (1999; cumlaude) dan Program S3 Ilmu Administrasi di Universitas Indonesia, (2006; cumlaude). Beberapa karya ilmiah yang pernah diterbitkan beliau adalah Peta Konsep Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah (Surabaya: ITS Press, 2009); Knowledge Management: Kunci Sukses Inovasi Pemerintahan Daerah (Malang: Bayu Media, 2008); Menggugat Partisipasi Publik dalam Pemerintahan Daerah: Sebuah Kajian dengan Pendekatan Berpikir Sistem (Malang: Bayumedia & LPD FIA Unibraw, 2007) dan Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah (Malang: Bayumedia, 2006). Sekarang menjabat sebagai Ketua Jurusan Ilmu Administrasi Publik , Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya, Ketua Departemen Pengembangan Profesi Administrasi Publik, Pengurus Pusat Asosiasi Sarjana & Praktisi Administrasi Indonesia (ASPA Indonesia/ dh PERSADI), Ketua Departemen Pengembangan Profesi Administrasi Negara/Publik, Pengurus Pusat Indonesian Association for Public Administration (IAPA), Ketua Umum Pengurus Pusat Lembaga Sertifikasi Profesi Administrasi Negara/Publik Indonesia, dan Asesor Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi

Dr.Hermawan, SIP,M.Si. Dr.Hermawan, SIP,M.Si. merupakan salah satu pengajar di Jurusan Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya. Menamatkan S1 Bidang Ilmu Hubungan Internasional di UGM (1998), S2 dan S3 Administrasi Publik di Unibraw (2002 dan 2008). Sekarang menjabat sebagai Ketua Program Studi Perencanaan Pembangunan di Jurusan Jurusan Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya.

Dr. Irwan Noor,MS, Dr. Irwan Noor,MS, merupakan salah satu pengajar di Jurusan Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya. Menamatkan S1 Administrasi Publik di Universitas Brawijaya (1984), S2 Ilmu Politik di UI (1990) dan S3 Administrasi Publik di Unibraw (2010). Sekarang menjabat sebagai Ketua Program Studi Ilmu Perpustakaan Jurusan Administrasi Publik, Fakultasi Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya.

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

123

Dr. Choirul Saleh,M.Si Dr. Choirul Saleh,M.Si merupakan salah satu pengajar di Jurusan Administrasi Publik Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya. Menamatkan S1 Administrasi Negara di Unibraw (1986), S2 Sosiologi di UGM (1995) dan S3 Administrasi Publik (2010). Sekarang sebagai koordinator Jurnal Ilmu Administrasi Publik Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya.

Dr.Siti Rochmah,M.Si Dr.Siti Rochmah,M.Si adalah salah satu pengajar di Jurusan Administrasi Publik Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya dengan bidang keahlian Kebijakan Publik. Menamatkan S1 Sarjana Pendidikan dengan bidang Ilmu Pendidikan Bahasa Inggris di IKIP Malang pada tahun 1983, S2 Magister Sains dengan Bidang Ilmu Sosial di Universitas Padjadjaran (1995) dan S3 Administrasi Publik di Unibraw (2007). Sekarang menjabat sebagai Ketua Program Studi Ilmu Perpustakaan Jurusan Administrasi Publik, Fakultasi Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya. Sekarang menjabat sebagai Ketua Laboratorium Bahasa Inggris FIA Universitas Brawijaya.

Drs.Abdullah Said,M.Si Drs.Abdullah Said,M.Si adalah salah satu pengajar di Jurusan Administrasi Publik Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya dengan bidang keahlian Kebijakan Publik. Sekarang menjadi Anggota RCCP (Research Center for Conflict and Policy).

Trisnawati,S.Sos,MAP Trisnawati,S.Sos,MAP adalah salah satu pengajar di Jurusan Administrasi Publik Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya dengan bidang keahlian Kebijakan Publik. Menamatkan S1 S1 Administrasi Negara di Unibraw pada tahun 2002, S2 Magister Administrasi Publik di Universitas Brawijaya (2005).

124

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

Smile Life

When life gives you a hundred reasons to cry, show life that you have a thousand reasons to smile

Get in touch

© Copyright 2015 - 2024 AZPDF.TIPS - All rights reserved.